Rencana Kenaikan Tarif Ojol Berisiko Bebankan Konsumen
Berita

Rencana Kenaikan Tarif Ojol Berisiko Bebankan Konsumen

Kemenhub diingatkan tidak hanya mempertimbangkan kepentingan pengemudi ojol, tetapi perlu memerhatikan kepentingan pelayanan bagi konsumen, khususnya dari aspek keamanan berkendara.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Kementerian Perhubungan berencana kembali menaikkan tarif ojek online (ojol) dalam waktu dekat. Rencana tersebut dilakukan setelah ada pertemuan dari para pihak termasuk aplikator sebelumnya. Kenaikan tarif ini menimbulkan penolakan dari masyarakat sebagai konsumen karena semakin membebankan biaya transportasi.

 

Salah satu penolakan kenaikan tarif tersebut disampaikan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyatakan pemerintah seharusnya tidak menaikkan lagi tarif tersebut karena baru saja telah ada kenaikan signifikan pada September 2019.

 

Besaran kenaikan kenaikan tersebut yakni Rp 2.500/km untuk batas atas, dan Rp 2.000/km untuk batas bawah, dan tarif minimal Rp 8.000-10.000 untuk jarak minimal. Formulasi tarif tersebut sudah mencerminkan tarif yang sebenarnya, sesuai dengan biaya pokok, plus margin profit yang wajar.

 

Kemudian, dia juga menjelaskan jika saat ini pengemudi merasa pendapatannya rendah hal ini karena banyaknya tarif promo yang diberikan oleh pihak ketiga seperti  perusahaan pembayaran digital. Meski promo tersebut tidak dilarang, tetapi Tulus mengatakan tidak dapat melewati ketentuan tarif batas bawah. 

 

“Hal ini (promo) yang seharusnya diintervensi Kemenhub, bukan melulu kenaikan tarif,” jelas Tulus, Jumat (24/1).

 

Terkait pelayanan setelah kenaikan September 2019, Tulus juga mengatakan belum pernah ada peninjauan kembali dari pemerintah terhadap pelayanan ojol. Menurutnya, kondisi ini menandakan Kemenhub hanya mempertimbangkan kepentingan pengemudi ojol saja untuk kenaikan tarif, tetapi tidak memerhatikan kepentingan pelayanan bagi konsumen, khususnya dari aspek keamanan berkendara.

 

“Padahal ojol sebagai ranmor (kendaraan bermotor) roda dua sangat rawan dari sisi safety. Dari sisi yang lain, perilaku driver ojol juga tidak ada bedanya dengan perilaku ojek pangkalan, yang suka ngetem sembarangan, sehingga memicu kemacetan,” jelas Tulus.

 

(Baca: 10 Keluhan Konsumen Terkait Transportasi Online)

 

Selain itu, terkait dengan komponen tarif, dalam waktu 3 bulan itu pasca-kenaikan, belum ada dinamika eksternal yang secara signifikan berpengaruh terhadap biaya operasional ojol. Harga BBM juga tidak naik, kurs rupiah stabil.

 

“Alasan iuran BPJS Kesehatan naik juga tidak relevan, sebab pihak aplikator tidak menanggung BPJS Kesehatan pada drivernya, karena hanya dianggap sebagai mitra. Jadi, tidak ada alasan kuat untuk menaikkan tarif ojol dalam waktu dekat. Pendapatan drivel ojol juga dipengaruhi oleh kebijakan aplikator yang jor-joran merekrut member baru, tanpa mempertimbangkan supply and demand yang ada. Kenapa Kemenhub tidak bisa mengatur hal yang demikian,” jelasnya.

 

Dengan demikian, YLKI meminta sebaiknya Kemenhub tidak terlalu fokus dengan masalah ojol tetapi mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum masal, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta.

 

Pengemudi ojek daring (online) mengeluhkan soal pemotongan pajak yang dilakukan operator tanpa melampirkan bukti dan meminta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Ketua Umum Gaspool Lampung Miftahul Huda ditemui di sela pertemuan dengan Kementerian Perhubungan di Jakarta, Jumat, mengaku pihaknya memaklumi soal adanya pemotongan pajak sesuai aturan, yakni untuk pengemudi dengan penghasilan di atas Rp4,5 juta per bulan. "Tapi yang kita pertanyakan itu tidak ada bukti setorannya dan kami tidak dimintai NPWP," katanya seperti dikutip dari Antara.

 

Dengan kondisi itu, Miftah mengkhawatirkan jika potongan pajak justru disetor atas nama perusahaan, bukan atas nama pengemudi. Miftah juga mempertanyakan potongan pajak yang dilakukan hanya oleh operator Grab, sementara Gojek belum melakukan hal serupa. "Ya, ini baru untuk Grab, untuk Gojek belum," katanya.

 

Direktur Angkutan Jalan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Ahmad Yani menuturkan pembahasan bersama pengemudi ojek online itu memang membahas soal setoran pajak. "Soal pajak sudah clear bahwa setiap pengemudi yang punya penghasilan dengan batas tertentu, ada tiga kriteria itu akan kena pajak. Kalau penghasilannya dalam sebulan lebih dari Rp4,5 juta maka dia jadi wajib pajak," katanya.

 

Soal masalah bukti setoran hingga kartu NPWP, Yani mengatakan bahwa potongan pajak tetap dikenakan jika melewati batas penghasilan itu. "Setelah driver kena pajak nanti akan ada tanda bukti dari aplikator, sekian persen dari pendapatan yang didapat dari (aplikator) Grab. Jadi sudah jelas apa yang ditarik, siapa yang narik dan besarannya berapa, tadi sudah disampaikan," katanya.

 

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan dalam waktu dua minggu ke depan akan ada penyesuaian tarif dari transportasi on line (ojek online). "Mungkin akan kita lihat dalam dua minggu ke depan, ya kalau mau adil ya sekitar satu bulan," kata Menteri Perhubungan usai inspeksi jalur kereta Jakarta-Serang, beberapa waktu lalu.

 

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi, mengatakan ada beberapa faktor dalam penghitungan tarif transportasi online. Salah satu faktor yang menyebabkan kemungkinan kenaikan harga adalah adanya hitungan asuransi yaitu BPJS Kesehatan.

 

"Sebelumnya sudah ditinjau juga dalam aturan, dan mungkin juga kenaikan dianggap wajar, ya sudah tidak apa-apa, kita bicarakan," katanya.

 

Tags:

Berita Terkait