Remisi untuk Koruptor, Jokowi Diminta Tak Asal Menyetujui
Berita

Remisi untuk Koruptor, Jokowi Diminta Tak Asal Menyetujui

Jangan terulang kejadian seperti Perpres uang muka mobil pejabat.

RIA
Bacaan 2 Menit
(Dari Kiri ke Kanan) Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar, Aktivis ICW Lola Esther dan Dosen FH Trisakti Abdul Fickar Hadjar saat diskusi di kantor ICW, Jakarta, Senin (6/4). Foto: RIA
(Dari Kiri ke Kanan) Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar, Aktivis ICW Lola Esther dan Dosen FH Trisakti Abdul Fickar Hadjar saat diskusi di kantor ICW, Jakarta, Senin (6/4). Foto: RIA

Sejumlah aktivis anti korupsi meminta agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneliti dengan seksama wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Esther mengatakan Jokowi jangan serta merta menerima dan mengesahkan rancangan peraturan-peraturan yang disampaikan oleh jajaran menteri dibawahnya tanpa membaca dan mempelajari, terutama yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi.

“Jangan sampai terulang lagi kejadian seperti Perpres mengenai uang muka mobil pejabat,” ujar Lola dalam diskusi bertajuk ‘Remisi untuk Koruptor: Tetap Diperketat atau Dilonggarkan?’ yang diadakan di kantor iCW, Jakarta, Senin (6/4)

Sebagai informasi, pro kontra wacana revisi PP No.99 Tahun 2012 awalnya dilontarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona Laoly. Salah satunya adalah merevisi sebagian aturan remisi terhadap koruptor. Padahal, PP 99/2012 ini dianggap oleh sebagian kalangan memiliki komitmen pemberantasan korupsi dengan pemberian efek jera berupa pengetatan syarat-syarat penerimaan remisi bagi narapidana korupsi, menurut sebagian pihak kontra.

Lola menjelaskan, dengan diaturnya pengetatan remisi bagi narapidana korupsi, bersama dengan pelaku pelanggaran HAM, terorisme, narkotika, kejahatan transnasional, dan kejahatan terhadap keamanan negara dalam PP 99/2012, menunjukkan bahwa kejahatan-kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan luar biasa. “Kita tidak bisa menyamakan korupsi dan lima kejahatan yang telah diatur ini dengan kejahatan lainnya,” sebutnya.

Lebih lanjut, Lola juga mengingatkan kembali, bagi sebagian orang yang menyebutkan bahwa pengetatan pemberian remisi ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan(UU Pemasyarakatan), Mahkamah Agung telah menyatakan bahwa PP 99/2012 ini tidak bertentangan dengan undang-undang.

“Pada tahun 2013, kalau tidak salah, MA itu sudah mengeluarkan putusan terkait Judicial Review atas PP 99 Tahun 2012. Jadi PP ini sudah dimintakan Judicial Review, yang waktu itu pihaknya adalah Regino dkk dengan Kuasa Hukum Yusril Ihza Mahendra. Di situ MA menyatakan PP 99/2012 ini tidak bertentangan dengan UU Pemasyarakatan,” tutur Lola.

Dalam putusan dengan nomor register perkara 51 P/HUM/2013majelis hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut:

“Pembinaan yang berbeda terhadap narapidana, merupakan konsekuensi logis adanya perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana.”

Lola menilai wacana revisi PP 99/2012 sebagai upaya pelonggaran bagi para koruptor.”Hingga sekarang hal ini memang masih menjadi wacana. Namun, belum terlihat intensi dari menkumham secara khusus untuk menghentikan wacana revisi,” lanjutnya.

“Kalau benar nanti revisi dilakukan, ini berarti langkah mundur dari keberpihakan pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi,” sebut Lola.

Dahnil Anzar, Ketua Pemuda Muhammadiyah, menganalogikan pemerintah yang ingin melakukan pelonggaran pengetatan remisi bagi koruptor ini sebagai bandit. Perspektif yang dibangun pemerintah adalah perspektif pelaku, perspektifnya para koruptor, ucap Dahnil.

“Saya sampai buat kesimpulan, dengan perspektif yang diambil pemerintah ini, perspektif koruptor, memang kita sudah seperti dipimpin para bandit. Karena hanya bandit yang ingin membebaskan bandit. Tidak mungkin orang baik ingin membebaskan bandit,” tegas Dahnil pada kesempatan yang sama.

Padahal ia berharap pemerintah bisa membangun perspektif dari sisi korban. Jutaan anak miskin dan kelaparan karena korupsi. Begitu pula banyak hak-hak kita sebagai warga negara dirampas karena korupsi, sambungnya. 

Lebih jauh, Dahnil menyebutkan, saat ini masyarakat Indonesia sudah tidak lagi berada dalam agenda memberantas korupsi. “Kita sudah masuk agenda memberantas pemberantas korupsi,” ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, pengajar Hukum Pidana asal Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengutarakan, bila konsep ideal pengetatan remisi bagi menkumham adalah melalui putusan pengadilan karena hal tersebut memasuki wilayah penghukuman, maka menkumham harus memiliki fokus untuk mengusahakan percepatan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Pasal 10 KUHP yang berlaku saat ini sudah dimuat jenis-jenis pidana pokok dan pidana tambahan. Salah satu pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 10 huruf b adalah pencabutan hak-hak tertentu.

“Selama ini kan yang diatur, hak-hak tertentu itu di dalam Pasal 35 ada hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, dan lainnya. Nah dalam rancangan KUHP baru masukan hak atas remisi. Biar hakim dalam putusannya bisa memutus untuk mencabut hak remisi. Biar ada kekuatan yudisialnya juga kalau itu ideal yang dimaksudkan,” tutur Fickar.

Tags:

Berita Terkait