Relevankah Protokol Arbitrase-Mediasi-Arbitrase Buatan Singapura Diterapkan di Indonesia?
Utama

Relevankah Protokol Arbitrase-Mediasi-Arbitrase Buatan Singapura Diterapkan di Indonesia?

Protokol arb-med-arb merupakan protokol kombinasi penyelesaian sengketa mediasi dan arbitrase yang dicetuskan melalui kerjasama antara SIAC dan SIMC di Singapura pada tahun 2004.

CR-25
Bacaan 2 Menit
Mediator tersertifikasi di Singapura dan Shanghai yang juga merupakan Direktur Pusat SIMC, Hazel Thang. Foto: HOL
Mediator tersertifikasi di Singapura dan Shanghai yang juga merupakan Direktur Pusat SIMC, Hazel Thang. Foto: HOL

Ketidak-rahasiaan proses berperkara di pengadilan, perselisihan yang berbuntut permusuhan antar para pihak yang berperkara, proses penyelesaian sengketa memakan waktu yang panjang hingga mengeluarkan biaya yang sangat besar menjadi alasan banyak stakeholder memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur mediasi.

 

Permasalahannya adalah ketika salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dituangkan dalam akta perdamaian mediasi, jelas dapat berujung pada gugat-menggugat berupa perkara wanprestasi di pengadilan. Sehingga perkara yang tadinya sangat dijaga kerahasiaannya dalam proses mediasi tentu dapat menjadi konsumsi publik ketika berujung pada penyelesaian perkara di Pengadilan.

 

Setelah mengamati berbagai permasalahan yang terlahir dari penerapan konsep mediasi dan arbitrase, Singapura melalui kerjasama antara Singapore International Arbitration Centre (SIAC) dan Singapore International Mediation Centre (SIMC) melahirkan protokol penyelesaian sengketa dengan mengkombinasikan konsep mediasi dan arbitrase tersebut menjadi protokol arbitrase-mediasi-arbitrase atau dikenal juga dengan arb-med-arb protokol.

 

Mediator tersertifikasi di Singapura dan Shanghai yang juga merupakan direktur pusat SIMC, Hazel Thang, memaparkan sistem dan prosedur bekerjanya protokol arb-med-arb tersebut di Singapura melalui workshop bertajuk “Arb-Med-Arb Protocol: Managing Risks and Costs When a Cross Border Dispute Occurs”, Selasa (27/3).

 

Hazel menjelaskan, pelaksanaan protokol arb-med-arb ini dimulai dengan proses penyelesaian perkara dalam bentuk arbitrase di SIAC, kemudian proses arbitrase tersebut ditahan terlebih dahulu untuk mendapatkan kesepakatan damai melalui Mediasi di SIMC. Keputusan akhir yang didapatkan melalui mediasi tersebut, jelas Hazel, akan menimbulkan 2 hasil. Pertama, kesepakatan perdamaian para pihak. Kedua, berupa ketidak-sepakatan para pihak.

 

Dalam hal terjadi kesepakatan, kata Hazel, tidak ada jaminan bahwa pelanggaran terhadap hasil mediasi tersebut dilakukan dengan mudahnya oleh para pihak, mengingat kesepakatan perdamaian yang dihasilkan dalam mediasi tidak dituangkan dalam sebuah keputusan yang final dan mengikat. Untuk itulah dalam protokol arb-med-arb, setiap kesepakatan yang diperoleh melalui mediasi akan diteruskan pada proses arbitrase di SIAC, sehingga hasil kesepakatan damai pada mediasi akan dikukuhkan dalam bentuk keputusan majelis arbitrase.

 

Lantas bagaimana jika dalam proses mediasi tersebut tidak dihasilkan suatu kesepakatan damai? Melalui protokol arb-med-arb ini, maka proses persidangan arbitrase yang sebelumnya di tahan untuk melakukan mediasi akan dilanjutkan kembali untuk menyelesaikan perselisihan antar para pihak yang bersengketa.

 

“Jadi yang membedakan antara arb-med-arb dengan mediasi-arbitrase (med-arb) adalah apapun hasil dari mediasi itu, baik berupa tercapainya kesepakatan damai atau tidak, maka akan tetap diteruskan kembali pada persidangan arbitrase yang telah dimulai sebelum terselenggaranya proses mediasi,” jelas Hazel.

 

(Baca Juga: MA Berencana Susun Perma tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase)

 

Senior Advisor Pusat Mediasi Nasional (PMN), Raymond Lee, mengungkapkan ada dua benefit menerapkan pola arb-med-arb seperti Singapura ini. Pertama, para pihak yang bersengketa diberikan fleksibilitas dengan memulai proses dengan arbitrase, namun tetap diupayakan perdamaian dengan pola mediasi. Jika tercapai kesepakatan, mereka bisa berhenti pada proses mediasi tersebut dan mendapatkan keputusan arbitrase yang mengikat. Sedangkan jika para pihak hanya menempuh jalur mediasi biasa, mereka hanya mendapatkan kontrak perjanjian.

 

“Dalam mediasi biasa, mereka hanya mendapatkan kontrak yang binding, tapi masih sebagai kontrak, bukan sebagai arbitral award,” jelas Raymond kepada hukumonline.

 

Kedua, sekalipun mediasi yang dilakukan pada skema arb-med-arb ini tidak berhasil atau tidak mencapai kesepakatan, maka para pihak masih dapat tetap melanjutkan penyelesaian melalui arbitrase. Mekanisme seperti ini dipandang Raymond lebih efektif jika ingin menghemat biaya.

 

Salah satu peserta workshop yang merupakan corporate lawyer pada MKK law firm, Bobby Manurung mengakui bahwa produk arb-med-arb seperti yang dipaparkan Hazel memang belum pernah diterapkan di Indonesia. Kalau di Indonesia, jelas Bobby, jika proses yang dilakukan adalah mediasi maka hasil produknya jelas berbentuk kesepakatan biasa, bukan dalam bentuk putusan. Sedangkan dalam arb-med-arb produk mediasi-nya jelas dalam bentuk putusan arbitrase yang bisa langsung dieksekusi di pengadilan.

 

“Saya pernah beberapa kali ikut seminar di BANI, memang ada beberapa diskusi mengenai arb-med-arb ini. Cuma produknya itu yang sampai sekarang kita masih agak awam,” ujar Bobby kepada hukumonline.

 

(Baca Juga: Ketua MA: Kami Dukung Arbitrase untuk Mengurangi Tumpukan Perkara)

 

Bobby-pun menyayangkan produk mediasi di Indonesia masih hanya sebagai kesepakatan biasa, berbeda dengan Singapura yang hasil akhir kesepakatan mediasinya bisa langsung dikukuhkan sebagai arbitral award.

 

“Permasalahannya, bagaimana jika salah satu pihak ingkar di kemudian hari?” ungkap Bobby. Tentu saja dispute tersebut akan berujung di pengadilan, mengingat memang belum ada produk seperti putusan arbitrase atau putusan pengadilan yang bisa memaksa para pihak untuk mematuhi itu dan bisa langsung di-enforce.

 

Pernah diterapkan di Indonesia?

Direktur Eksekutif Pusat Mediasi Nasional (PMN), Fahmi Shahab, mengungkapkan bahwa protokol arb-med-arb ini memang tergolong baru dikenal di Indonesia. Namun Fahmi menyatakan bahwa kemungkinan arb-med-arb tersebut sudah pernah diterapkan di BANI sekalipun konsepnya berbeda dengan protokol arb-med-arb versi Singapura. BANI dalam presentasi mereka menyampaikan, kata Fahmi, bahwa hampir 60% award atau keputusan yang diberikan BANI adalah berdasarkan kesepakatan.

 

Berdasarkan pengamatan Fahmi, para pihak mendaftar melalui arbitrase di BANI. Namun sebelum proses arbitrase atau sebelum keluarnya putusan arbitrase, maka para pihak di mediasi-kan terlebih dahulu. Setelah sepakat maka para pihak biasanya menginginkan agar kesepakatan tersebut dikukuhkan menjadi sebuah arbitral award.

 

“Artinya mereka sudah menggunakan,” jelas Fahmi kepada hukumonline.

 

Namun demikian, Fahmi mengakui proses arb-med-arb yang dilakukan BANI sangat berbeda dengan protokol arb-med-arb keluaran Singapura. Salah satu hal yang membedakan versi BANI dan SIAC-SIMC terletak pada mediator dan arbiternya.

 

Lebih lanjut dijelaskan Fahmi, untuk SIAC-SIMC, mereka memisahkan tugas untuk melakukan Mediasi dengan Arbitrase. Dalam hal ini, SIAC dan SIMC memiliki MoU untuk melakukan kolaborasi, sehingga jika ada kasus arbitrase yang masuk ke SIAC dan mau dilakukan mediasi maka proses mediasi akan diserahkan pada SIMC.

 

Lain halnya dengan praktik di BANI, Fahmi mengamati bahwa mediator yang melakukan tugasnya pada mediasi biasanya juga merupakan arbiter yang akan mengadili kasus tersebut. Sementara, kata Fahmi, kebanyakan pihak lebih memilih orang yang menjadi mediator bukan pemutus. Hal ini penting untuk memastikan terwujudnya proses yang baik dan meyakinkan para pihak, sehingga jika ia berbicara apapun selama proses mediasi, seharusnya tidak didengar oleh pemutusnya (arbiter).

 

Fahmi tak menampik memang ada perkara mediasi tertentu yang minta dikukuhkan di pengadilan. Persoalnnya kemudian, kata Fahmi, ketika hasil mediasi dikukuhkan di pengadilan, maka keberlakukan putusan hasil mediasi tersebut akan dipersamakan dengan putusan-putusan pengadilan lainnya, yakni bisa menjadi domain public.

 

“itu salah satu yang mungkin menjadi hal yang tidak enak buat para pihak, karena kesepakatan mediasi-nya menjadi domain public,” pungkas Fahmi.

 

Tags:

Berita Terkait