Relativitas Peraturan dalam Hukum
Kolom

Relativitas Peraturan dalam Hukum

Agar hukum senantiasa aktual mengakomodir setiap peristiwa hukum, perlu ada re-posisi ulang relasi suatu peraturan dengan hukum.

Bacaan 5 Menit
Wahyu Sudrajat. Foto: Istimewa
Wahyu Sudrajat. Foto: Istimewa

Pada awal masa pandemi kita disuguhkan cerita-cerita yang menggelitik nalar. Seorang suami marah kepada petugas yang melakukan razia terkait PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) ketika ditegur dan diminta petugas untuk tidak duduk berdampingan dengan istrinya saat mengendarai mobil. Alasan petugas memberikan teguran karena sesuai peraturan pada masa PSBB antar penumpang kendaraan harus jaga jarak. Terlepas dari sikap arogan sang suami terhadap petugas, memang menjadi aturan yang absurd ketika orang yang setiap hari hidup satu rumah bahkan satu ranjang, ketika dalam kendaraan pribadinya sendiri harus jaga jarak.

Cerita lain, seorang pengendara mobil pribadi protes kepada petugas Satpol PP kerena dikenakan denda ketika ada razia terkait PSBB. Hal ini gara-gara yang bersangkutan menurunkan maskernya saat berkendara sendiri meskipun tanpa ada orang lain yang bersamanya. Alasan sang pemrotes cukup rasional. Meskipun saat di luar rumah ada peraturan untuk wajib menggunakan masker, tetapi masker digunakan untuk mencegah penularan virus dari seorang kepada orang orang lain atau sebaliknya. Tanpa orang lain dalam kendaraan pribadinya, penularan dari atau kepada orang lain mustahil terjadi.

Bagi orang yang sekian lama sudah dicekoki oleh pandangan bahwa suatu peraturan identik dengan hukum, menyikapi cerita di atas mungkin akan akan berkata: “Itulah hukum, karena peraturan adalah hukum, maka ia harus ditegakkan”. Pada titik ini menjadi wajar ketika timbul pertanyaan terkenal yang digaungkan oleh begawan hukum Satjipto Rahardjo. Apakah hukum itu untuk manusia atau justru manusia itu ada untuk hukum?

Kelemahan Peraturan

Hukum sebagai peraturan sepertinya masih menjadi pedoman utama dalam penegakan hukum kita. Padahal dalam maknanya sebagai peraturan, hukum sudah sejak lama dikenali kelemahannya. Adagium hukum belanda menyatakan “Het Recht Hink Achter De Feiten Aan”. Kurang lebih maknanya: hukum (undang-undang) itu selalu tertinggal dari peristiwa yang diaturnya. Seperti dalam dua peristiwa di atas, hukum menjadi aturan yang “menggelikan” ketika dihadapkan pada suatu keadaan yang coba diaturnya. Hukum sebagai aturan tampak kaku dan gagap, sementara peristiwa yang diaturnya begitu dinamis.

Oleh karena itu, agar hukum senantiasa aktual mengakomodir setiap peristiwa hukum, perlu ada re-posisi ulang relasi suatu peraturan dengan hukum. Suatu peraturan apapun stratanya harus didudukkan “hanya” sebagai alat dari hukum untuk menjelmakan dirinya dalam kerja mengharmonisasikan lalu lintas berbagai kepentingan dala kehidupan, bukan sebagai hukum itu sendiri. Kesadaran bahwa suatu peraturan hanyalah alat akan mengantar pada pemahaman ketika suatu peraturan tidak mampu mengakomodir suatu keadaan, bukan peraturan itu yang dipaksakan untuk tegak tetapi justru ia yang harus dikesampingkan.

Dalam Khasanah hukum Islam terdapat kaidah ushul fiqh yang dapat diserap menjadi asas dalam hukum positif kita. Kaidah itu berbunyi “Al-hukmu Yaduuru Ma'a Al-'‘illati Wujudan wa 'Adaman”. Artinya hukum itu berputar-putar di atas sebabnya (illat), bila sebabnya ada, maka hukumnya ada dan sebaliknya ketika sebabnya hilang, maka hilang juga hukumnya. Artinya, suatu aturan diakui otoritasnya ketika sebab yang menjadi alasan keberadaannya juga ada, tetapi ketika sebabnya tidak ada, maka hilang pula kekuatan otoritas dari aturan itu.

Klaim peraturan sebagai standar kebenaran dan bahkan sebagai representasi keadilan dalam kehidupan sosial menjadi tidak mutlak ketika aturan hanya sebagai alat di dalam hukum. Ia dapat merepresentasikan hukum hanya ketika ia mampu mengharmonisasikan lalu lintas berbagai kepentingan. Ketika dalam keadaan sebaliknya, maka aturan itu bukan penjelmaan hukum melainkan sekadar penjelmaan dari kekuasaan.

Dalam wujudnya yang demikian, hukum dalam maknanya sebagai suatu peraturan seperti undang-undang hanyalah merupakan suatu produk politik (Mahfud MD: 1993). Sebagai produk politik kelahirannya tidak selalu menggambarkan adanya harmonisasi berbagai kepentingan. Ia hanya sekadar kompromi kekuasaan atau ketika konfigurasi kekuasaan suatu negara itu ada dalam keadaan hampir otoriter, ia menjadi representasi absolutisme dari kekuasaan an sich.

Hukum sebagai peraturan hanya mungkin dapat diterapkan secara mutlak dalam aturan mengenai pelanggaran lalu lintas. Sebab hukum dalam hal itu ada dalam wujudnya yang paling primitif di mana setiap pelanggar dengan sendirinya dipandang bersalah. Masifnya jumlah pelanggaran tidak memungkinkan petugas kepolisian menelaah faktor kesalahan satu per satu walaupun asas hukum universal mengajarkan tiada pidana tanpa kesalahan (gen straf zonder schuld). Namun demikian untuk perkara sesederhana pelanggaran lalu lintas pun katup pengaman itu tetap dimungkinkan ada. Dalam situasi tertentu petugas kepolisian dibekali diskresi untuk mengesampingkan pelanggaran. Bahkan dalam praktik di negara seperti Amerika Serikat, hakim dapat mengampuni kesalahan dari pelanggar (rechterlijk pardon) tanpa perlu menjatuhkan pidana.

Polemik Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE) yang mencuat beberapa waktu lalu karena dipandang berdampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat dan politik, sesungguhnya dapat diselesaikan dengan melakukan reposisi relasi antara peraturan dan hukum sebagaimana telah dijelaskan di atas. Ketika beberapa waktu lalu pemerintah menegaskan tidak akan mencabut UU ITE dengan alasan UU tersebut masih sangat dibutuhkan untuk mengatur dunia digital yang kian berkembang, maka pemutakhiran pemahaman jajaran penegak hukum mengenai relasi peraturan dengan hukum itu merupakan cara paling ampuh untuk mengantisipasi timbulnya efek samping penerapan UU ITE tersebut.

Pemahaman reposisi yang demikian dapat mendorong kerja penegak hukum menjadi lebih manusiawi. Petugas kepolisian dapat memaksimalkan diskresinya dalam menghadapi persoalan-persoalan di lapangan yang ditimbulkan dari benturan antara suatu peraturan dengan dinamisnya peristiwa. Ketika petugas kepolisian mampu mendudukan suatu peraturan dalam posisi yang tepat, maka kepolisian akan lebih mampu membebaskan diri dari tarikan untuk masuk ke dalam konflik antar individu yang seharusnya menjadi ranah hukum perdata. Bahkan lebih jauh lagi dapat membebaskan diri dari tuduhan menjadi kepanjangan tangan dari kekuasaan politik.

Demikian juga dengan hakim. Dalam konstitusi, kekuasaaan kehakiman yang diemban para hakim memiliki tugas menegakkan hukum dan keadilan. Ketika hakim sudah mendudukkan suatu peraturan hanya sebagai alat dari hukum, hakim akan terhindar dari posisi hanya sekadar sebagai corong atau mulut undang-undang (la bouche de la loi). Hakim dapat menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat secara maksimal tanpa harus terkungkung pada sempitnya kata-kata suatu peraturan.

Putusan hakim dengan mengesampingkan suatu peraturan dalam keadan tertentu (contra legem) seharusnya tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Sebaliknya hal itu sepanjang didukung oleh argumen yang mumpuni harus harus dipandang sebagai bagian dari aktivisme kehakiman (judicial activism). Suatu upaya profesional untuk benar-benar memahami hukum dalam tataran falsafah kebangsaan, bukan dalam sudut pandang tempurung bernama peraturan. Karena dengan jalan seperti itu harapan lahirnya putusan-putusan progresif melalui penemuan-penemuan hukum (rechtvinding) para hakim yang memenuhi rasa keadilan masyarakat dapat terbuka lebar.

Bahkan pemahaman yang demikian tentang hukum harus pula disebarkan di dunia akademik. Aliran legisme yang meyakini bahwa hukum hanya terdapat dalam peraturan perundang-undangan harus digusur dari pendidikan hukum kita. Sudah saatnya kampus hukum di Indonesia tidak lagi melahirkan sarjana-sarjana aturan, tetapi sarjana-sarjana hukum berkualitas yang akan membawa arah hukum negeri ini menuju hukum yang penuh nuansa keadilan.

*)Wahyu Sudrajat, Hakim Yustisial pada Mahkamah Agung & Pengajar Praktik Peradilan pada FH – UII, Yogyakarta.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait