Relaksasi KPR Berisiko Tingkatkan Kredit Macet
Berita

Relaksasi KPR Berisiko Tingkatkan Kredit Macet

Karena relaksasi LTV tersebut akan menyebabkan biaya cicilan rumah semakin membesar. Bank diminta tidak memberi pembiayaan kepada debitur nakal.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Foto: www.jpmi.or.id
Foto: www.jpmi.or.id

Bank Indonesia (BI) berencana mengeluarkan kebijakan baru berupa relaksasi loan to value (LTV) pembelian rumah pertama yang akan diumumkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Jumat (29/6/2018). Dalam relaksasi tersebut, BI berencana merelaksasi LTV pembelian rumah pertama menjadi 0 persen uang muka (down payment).

 

Kebijakan tersebut dinilai menjadi stimulus menggenjot konsumsi masyarakat di tengah suku bunga tinggi saat ini. Namun, di sisi lain, relaksasi LTV tersebut dinilai berpotensi meningkatkan kredit macet atau non performing loan (NPL). Hal ini dikatakan Ekonom Permata Bank, Josua Pardede.

 

Josua Pardede menilai peningkatan NPL terjadi karena relaksasi LTV tersebut akan menyebabkan biaya cicilan rumah semakin membesar. Sehingga, dia khawatir banyak debitur yang kesulitan memenuhi tanggung jawabnya dalam membayar cicilan rumah tersebut.

 

“Wacana pelonggaran LTV ini memiliki risiko peningkatan NPL. Ini perlu ada ketentuan tambahan buat bank-bank yang NPL KPR-nya relatif besar agar tidak dapat memanfaatkan relakasasi LTV ini,” kata Josua saat dihubungi Hukumonline, Selasa (26/6/2018). Baca juga: Regulasi-regulasi yang Disiapkan Bank Indonesia Menyambut Tahun 2018

 

Josua mengimbau kepada dunia perbankan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan kredit kepemilikan rumah (KPR). Menurutnya, perbankan harus memperhatikan lebih detail terhadap profil debitur yang ingin mengajukan KPR. 

 

“Bank harus memperhatikan kualitas calon debiturnya apakah bagus atau tidak. Misalnya, apakah calon debiturnya memiliki penghasilan tetap, aset, hingga tabungan di bank. Sekalipun LTV dilonggarkan, ada syarat khusus yang harus dipenuhi,” ujar Josua mengingatkan.

 

Tak hanya itu, relaksasi LTV pembelian rumah memiliki risiko terhadap perbankan. Josua menilai saat ini sumber pendanaan perbankan berasal dari deposito jangka pendek. Sehingga, apabila penyaluran pendanaannya pada KPR semakin besar, maka dikhawatirkan akan terjadi ketidaksesuaian antara sumber pendanaan dan pembiayaan.

 

“KPR ini sifatnya pembiayaan jangka panjang, sedangkan sumber pendanaan perbankan saat ini besar di deposito yang bersifat jangka pendek. Jika tidak dikelola dengan baik maka risiko mismatch-nya sangat besar terhadap perbankan. Apalagi bagi bank-bank yang tidak memiliki pengalaman mengelola KPR,” lanjutnya.

 

Dia menambahkan pengelolaan KPR yang tidak baik dikhawatirkan berpotensi menjadi krisis perbankan. Josua mencontohkan krisis global 2008 muncul akibat tingginya kredit bermasalah pada sektor properti di Amerika Serikat yang berpengaruh sistemik terhadap industri keuangan global.

 

Hal senada juga diutarakan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara. Meski berdampak positif terhadap konsumsi masyarakat, dia menilai ada risiko peningkatan NPL properti berpotensi terjadi. Bhima mengimbau kepada lembaga pengawas perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara ketat mengawasi kondisi perbankan untuk menghindari terjadinya krisis.

 

“Pengawasan di bank yang mendapatkan fasilitas LTV harus diawasi terus oleh OJK. Fasilitas ini jangan diberikan kepada debitur yang nakal, OJK juga harus melihat sisi kecukupan modal banknya,” pinta Bhima.

 

Meski demikian, Bhima berharap relaksasi LTV pembelian rumah tersebut berdampak positif terhadap perekonomian saat ini. Menurutnya, di tengah tingginya suku bunga saat ini perlu ada kebijakan yang dapat mendorong konsumsi masyarakat.

 

“Peningkatan KPR ini diharapkan berdampak positif terhadap 170 produk turunannya. Kondisi saat ini kebijakan relaksasi LTV cukup positif. Namun, apabila perekonomian sudah pulih kembali, maka aturannya perlu disesuaikan kembali agar tidak terjadi bubble,” kata Bhima.

 

Wacana pelonggaran LTV sebenarnya sudah muncul sejak awal 2018. Relaksasi LTV properti terakhir kali dikeluarkan BI pada pada 2016 melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/16/PBI/2016 tentang Rasio Loan to Value untuk Kredit Properti, Rasio Financing to Value untuk Pembiayaan Properti, dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.

 

Secara umum dalam aturan tersebut, uang muka KPR kepemilikan rumah pertama di bank konvensional sebesar 15 persen. Sementara, uang muka di bank syariah sebesar 10 persen. Sedangkan untuk rumah kedua sebesar 20 persen untuk rumah bertipe di atas 70 meter persegi. Dan 15 persen jika rumahnya bertipe di bawah 21 hingga tipe 70 meter persegi. Untuk rumah ketiga, DP ditetapkan 25 persen untuk rumah di atas tipe 70 meter persegi dan 20 persen untuk rumah di bawah tipe 21 hingga tipe 70 meter persegi.

Tags:

Berita Terkait