Rekanan Chevron Divonis Bersalah, Jaksa Banding
Berita

Rekanan Chevron Divonis Bersalah, Jaksa Banding

Majelis hakim dianggap keliru karena memotong ketentuan Pasal 40 PP No 18 Tahun 1999.

NOV
Bacaan 2 Menit
Rekanan Chevron Divonis Bersalah, Jaksa Banding
Hukumonline

Pupus sudah harapan terdakwa korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) Ricksy Prematuri untuk bebas dari jerat hukum. Selasa malam (7/5), majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang dipimpin Sudharmawatiningsih menghukum Ricksy dengan pidana penjara selama lima tahun dan denda Rp200 juta subsidair enam bulan kurungan.

Majelis juga menghukum PT Green Planet Indonesia (GPI) membayar uang pengganti AS$3,089 juta. Apabila GPI tidak membayar uang pengganti satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Majelis menganggap semua unsur dalam dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 KUHP telah terpenuhi, sehingga pembelaan terdakwa dikesampingkan.

Sudharmawatiningsih menguraikan, pada 1992, PT CPI yang beroperasi di wilayah Dumai, Duri, Bengkalis, Minas, Siak, dan Rumbai menandatangani amandemen Product Sharing Contract (PSC) atas kontrak tahun 1971 antara Perusahaan Gas Bumi Negara dengan PT Caltex Pacific Indonesia dengan masa kontrak selama 20 tahun.

Lalu, PT Caltex yang telah berubah nama menjadi PT Chevron Pacific Indonesia menandatangani PSC dengan BP Migas dengan masa berlaku sejak 9 Agustus 2001 sampai 8 Agustus 2021. PT CPI dapat melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak, dimana negara mendapat bagian keuntungan sebesar lima persen dan PT CPI sebesar 15 persen.

Pada 2006, PT CPI dan PT Green Planet Indonesia (GPI) menandatangani kontrak pelaksanaan dasar-dasar pengoperasian, perawatan, dan pengelolaan untuk fasilitas bioremediasi tanah terkontaminasi Minyak (Soil Bioremediasi Facility-SBF) di beberapa lokasi Sumatera Light North (SLN) dan Sumatera Light South (SLS).

Kontrak senilai AS$639,105 ribu itu ditandangani Direktur PT GPI Ricksy dan Manager Asset Support SLS PT CPI Sudjono Adimulyo. Kontrak berlaku satu tahun sejak 12 Februari 2006 sampai 5 Februari 2007 untuk daerah operasi SLN di SBF Pematang, Libo, dan Mutiara, serta untuk daerah operasi SLS di SBF Kota Batak.

Kemudian, PT CPI dan PT GPI mengamandemen kontrak terhitung 1 Januari 2007-5 Mei 2007 dengan menambah nilai kontrak sebesar AS$108,342 ribu. Kontrak kedua perusahaan diperpanjang mulai 4 Juli 2007-3 Januari 2008 dengan nilai AS$89,979 ribu untuk daerah operasi SLN di SBF Pematang.

Untuk daerah operasi SLN di SBF Mutiara, PT CPI dan PT GPI memperpanjang kontrak dengan nilai AS$222,24 ribu yang berlaku mulai 22 Oktober 2007-21 April 2008. Pada 2008, kedua perusahaan membuat kontrak lagi untuk daerah operasi SLN di SBF Pematang, Mutiara dan Libo dengan nilai kontrak sebesar AS$1,689 juta.

Pada 2011, PT CPI dan PT GPI mengamandemen kontrak dengan penambahan AS$160 ribu. Kontrak Bridging untuk daerah operasi SLN di SBF Pematang, Mutiara dan Libo dengan nilai kontrak AS$608,579 ribu dibuat kedua perusahaan untuk jangka waktu enam bulan, mulai 25 Agustus 2011-24 Februari 2012.

Sudharmawatiningsih mengatakan, lingkup pekerjaan PT GPI diantaranya memisahkan tanah terkontaminasi yang memiliki Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) 3000-10000 mg/kg dari lokasi SBF, melakukan pemeriksaan berkala, serta mengambil sampel tanah dan mengirimkan ke perusahaan (CPI) untuk melakukan pengecekan.

Selanjutnya, saat akhir masa kontrak, PT GPI harus menyediakan pelatihan untuk wakil perusahaan agar PT CPI dapat melakukan review. Dengan fakta-fakta tersebut, majelis berpendapat pekerjaan PT GPI adalah pekerjaan pengolahan limbah tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis dengan metode bioremediasi.

Namun, berdasarkan Pasal 3 Kepmen LH No 128 Tahun 2003, untuk melakukan pengolahan limbah minyak dengan bioremediasi harus memiliki izin dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Persyaratan izin ini juga mengacu pada Pasal 40 ayat (1) huruf a PP No 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Beracun dan Berbahaya dan Pasal 59 ayat (4) UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Karena PT GPI tidak memiliki izin untuk melakukan pekerjaan bioremediasi dari KLH sesuai Pasal 3 Kepmen No 128 Tahun 2003, perbuatan terdakwa selaku direktur PT GPI melakukan kontrak kerja dengan PT CPI untuk bioremediasi adalah perbuatan melawan hukum karena melanggar PP No 18 Tahun 1999,” ujar Sudharmawatiningsih.

Selain tidak memiliki izin dari KLH, PT GPI tidak pernah melakukan analisis limbah sebelum melakukan kegiatan pengolahan tanah terkontaminasi minyak bumi sesuai Kepmen LH No 128 Tahun 2003. PT GPI tidak pernah melakukan pengujian, termasuk kandungan logam berat sebagaimana diatur dalam Kepmen LH.

Hakim anggota Alexander Marwata melanjutkan, PT GPI hanya melakukan pengambilan sampel tanah, lalu membawanya untuk diuji di laboratorium PT CPI. Pengujian dilakukan terhadap TPH, tapi tidak menguji jenis, jumlah, dan sifat dari bakteri pendegradasi yang terkandung dalam tanah, sehingga proses bioremediasi mustahil berhasil.

Kepmen LH No 128 Tahun 2003 mempersyaratkan konsentrasi maksimum TPH awal sebelum pengolahan biologis tidak lebih dari 15 persen. Nyatanya, berdasarkan hasil pengujian sampel tanah yang dilakukan tim ahli bioremediasi, diketahui TPH sama dengan nol persen atau dengan kata lain tidak pernah terkontaminasi minyak.

Menurut Alexander, sesuai penghitungan BPKP, perbuatan Ricksy merugikan negara sebesar AS$3,089 juta. PT CPI telah membayarkan kepada PT GPI sebesar AS$3,089 juta, padahal kontrak yang dijalankan untuk pekerjaan bioremediasi tidak sah. Hal ini tergambar dalam laporan kwartal keempat Kementerian Keuangan.

Selaku Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) menggunakan sistem bagi hasil dengan BP Migas. Pekerjaan bioremediasi yang awalnya dibiayai PT CPI dimasukkan dalam cost recovery, sehingga berdampak pada pengurangan pendapatan negara. Terlebih lagi, setelah sekian lama BP Migas juga tidak mengoreksi cost recovery tersebut.

Dengan demikian, majelis berpendapat semua unsur telah terbukti, termasuk kerugian negara. “Karena kontrak (dengan PT GPI) sudah selesai, maka telah terjadi kerugian negara karena tidak sesuai peruntukkan yang dimaksudkan untuk pengolahan limbah dengan cara bioremediasi,” tutur hakim anggota Antonius Widjantono.

Dissenting opinion
Putusan bersalah Ricksy tidak bulat. Dalam permusyawarahan majelis, hakim anggota Sofialdi memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion. Ricksy dinilai tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primair maupun subsidair.

Sofialdi berpendapat, pekerjaan dan kontrak bioremediasi yang dilakukan PT GPI tidak melawan hukum karena dilakukan sesuai Kepmen LH No 128 Tahun 2003. Dia sepakat dengan keterangan saksi dari KLH yang menyatakan PT GPI tidak wajib memiliki izin, melainkan PT CPI yang wajib memiliki izin sebagai penghasil limbah.

Atas putusan majelis, penuntut umum Fitri Zulfahmi langsung menyatakan banding. Putusan majelis sangat jauh dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut Ricksy dengan pidana selama 12 tahun penjara. Sementara, Ricksy masih pikir-pikir mengajukan banding. Dia menilai putusan majelis tidak sesuai fakta persidangan.

Sedari awal, PT GPI memang bukan perusahaan pengolah limbah, melainkan hanya operator. Sebagai kontraktor sipil yang mengikuti proses tender, PT GPI tidak pernah dipersyaratkan harus memiliki izin pengolahan limbah. “Saksi dari KLH dalam persidangan juga telah mengatakan izin diwajibkan untuk pemilik limbah,” kata Ricksy.

Selain itu, tidak ada satupun ahli, selain Edison Effendi yang menyatakan PT GPI melanggar Kepmen LH No 128 Tahun 2003. Ricksy menjelaskan, Edison merupakan salah satu peserta tender PT CPI. Sedangkan ahli bioremediasi Ricksy tidak sempat dihadirkan ke persidangan karena majelis tidak memberikan kesempatan.

Pengacara Ricksy, Najib A Gisymar menambahkan, majelis telah melakukan kekeliruan karena memotong ketentuan Pasal 40 PP No 18 Tahun 1999. Sesuai Pasal 40 ayat (1) huruf a, perusahaan memang harus memiliki izin. Namun, dalam Pasal 40 ayat (4) persyaratan izin ditujukan bagi pemiliki lokasi, dalam hal ini PT CPI.

“Logika yang dipakai sangat tumpul. Bagaimana majelis dapat memotong Pasal 40 ayat (1), sedangkan Pasal 40 ayat (4) tidak dikaitkan. Jika dikaitkan, maka rentetannya pada UU No 32 Tahun 2009. Kalau tidak punya izin, seharusnya sanksi administrasi denda. Kalau ternyata timbul korban baru pidananya muncul,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait