Regulasi Pertambangan Belum Untungkan Investor
Berita

Regulasi Pertambangan Belum Untungkan Investor

Saling tumpang tindih.

ADY
Bacaan 2 Menit
Regulasi Pertambangan Belum Untungkan Investor
Hukumonline

Beberapa praktisi berpendapat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertambangan masih memberatkan investor. Pasalnya, antara satu peraturan dengan lainnya saling tumpang tindih dan beberapa lainnya bahkan seolah berjalan sendiri-sendiri.

Legal director and corporate secretary PT Vale Indonesia, Ratih D Amri menuturkan, dalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah membatasi waktu dan tempat yang digunakan untuk kegiatan penambangan. Menurutnya, industri tambang itu membutuhkan tempat yang sangat luas karena butuh lahan untuk menaruh tanah yang digali.

Kemudian, perusahaan tambang yang sahamnya milik asing (PMA), Ratih mengatakan mengacu peraturan perundang-undangan pertambangan yang ada saat ini saham tersebut harus dilepas (divestasi) sampai tahun kesepuluh kepada pihak nasional sebesar 51 persen. Padahal, investasi pada industri pertambangan itu membutuhkan modal yang tinggi (padat modal). Dengan besaran divestasi itu Ratih memperkirakan para investor akan berpikir ulang untuk berbisnis di Indonesia. “Dari segi bisnis menjadi tidak menarik,” katanya dalam seminar di gedung FHUI Depok, Kamis (9/5).

Mengingat sebelumnya penyelenggaraan kegiatan penambangan menggunakan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kontrak Karya, namun sejak berlakunya UU Minerba kedua perjanjian itu harus disesuaikan dengan ketentuan yang ada dengan jangka waktu setahun sejak UU itu diterbitkan. Persoalannya sampai saat ini Ratih melihat masih banyak proses renegoisasi yang belum tuntas pembahasannya antara pemerintah dan perusahaan tambang.

Jika dibandingkan dengan mekanisme penyelenggaraan pertambangan saat ini yang menggunakan izin usaha pertambangan (IUP) dengan yang berlaku sebelumnya yaitu memakai Kontrak Karya, Ratih berpendapat para investor lebih tertarik dengan mekanisme lama. Pasalnya, lewat Kontrak Karya posisi pemodal dan pemerintah setara dan para pihak tidak boleh mengubah segala ketentuan dalam Kontrak Karya sampai masa berlakunya habis. Namun, lewat mekanisme IUP, kondisi tersebut tidak berlaku lagi karena investor hanya boleh mengikuti regulasi yang sudah ditentukan pemerintah.

Persoalan yang memberatkan investor menurut Ratih tak berhenti di seputar ketentuan yang terdapat dalam UU Minerba saja, tapi peraturan terkait lainnya seperti UU Kehutanan dan Pertanahan. Misalnya, sebuah perusahaan tambang sudah menempuh prosedur yang diamanatkan UU Minerba dengan baik sehingga punya izin. Tapi, dengan mengantongi izin tersebut bukan berarti perusahaan tambang bisa langsung melaksanakan kegiatan di kawasan yang diberi izin karena harus melewati prosedur lain. Seperti ketentuan yang termaktub dalam UU Kehutanan dalam hal penggunaan kawasan hutan.

Sekalipun prosedur yang ada dalam UU Kehutanan sudah dilalui dengan benar, lagi-lagi bukan jaminan untuk perusahaan tambang bisa melaksanakan kegiatannya karena ketika di dalam kawasan hutan, di atas lahan yang akan digunakan untuk pertambangan terdapat kelompok masyarakat maka ada proses lanjutan yang wajib diselesaikan terkait hak masyarakat tersebut. Seperti membeli lahan mereka dengan mekanisme yang tertuang dalam UU Pertanahan. Menurut Ratih itulah yang membedakan antara UU Minerba dan peraturan sebelumnya. “Jadi tidak ada lagi one stop shopping,” tukasnya.

Pada kesempatan yang sama Presiden Direktur PT Reswara Minergi Hartama, Harry Aswar, menjelaskan untuk membangun industri tambang lebih sulit ketimbang industri sektor lainnya. Pasalnya, barang tambang adalah produk yang tak dapat diperbaharui sehingga saat kegiatan itu berakhir maka wajib dilakukan konservasi dan memakan biaya besar. Menurutnya, biaya yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana yang diatur dalam regulasi yang berlaku saat ini sangat membebani indsutri tambang. Oleh karenanya ia mengusulkan agar peraturan tersebut direvisi.

Menurut Harry, perbaikan peraturan itu perlu dilakukan karena industri tambang membutuhkan modal yang sangat besar. Misalnya, harga termurah untuk membangun sebuah perusahaan tambang batubara membutuhkan Rp300 miliar. Selain itu, untuk membangun satu perusahaan tambang sampai beroperasi membutuhkan waktu yang tidak sedikit, membutuhkan waktu minimal tiga tahun. Begitu pula dengan BEP, membutuhkan puluhan tahun untuk balik modal.

Hambatan lainnya, Harry melanjutkan, industri tambang di bangun pada tempat terpencil, di tengah hutan sehingga mobilitas tidak dapat berlangsung cepat. Hal serupa juga terjadi dalam hal pengolahan barang tambang, sulit dan membutuhkan kehati-hatian. Misalnya, untuk memisahkan nikel dengan material lain yang menempel, dibutuhkan asam sulfat murni yang diberi tekanan. Asam sulfat tergolong zat kimia berbahaya jika terlepas ke udara, namun untuk industri tambang zat itu sangat ekonomis. Oleh karenanya butuh peralatan dan pengelolaan yang baik agar pengerjaannya tak merusak lingkungan.

Harry juga menemukan ada peraturan yang tidak berkesesuaian antara satu dan lainnya, sehingga memberatkan industri tambang. Misalnya, soal royalti yang dibayar perusahaan tambang seperti yang tercantum dalam peraturan Kehutanan lebih besar ketimbang peraturan terkait pertambangan.

Dengan bermacam kesulitan yang dihadapi industri tambang itu Harry mengatakan pihak bank kurang berminat untuk memberi pinjaman ke pelaku usaha sektor tersebut. Pasalnya, resikonya besar dan peraturan yang ada dianggap kurang mendukung. Atas dasar itu Harry berharap agar pemerintah dan DPR membenahi peraturan terkait pertambangan demi mendorong tumbuhnya industri tambang. “Perlu dibenahi,” tuturnya.

Senada, Managing Director Jhonlin Group Coal Mining Concessions Group Companies, Ary Bastari, mengatakan pembenahan peraturan sektor pertambangan perlu mencakup penentuan izin lokasi tambang. Misalnya, sebuah perusahaan sudah mendapat izin di Kabupaten dan seiring berjalannya waktu terjadi pemekaran yang mengakibatkan izin tersebut berada di atas dua kabupaten. Ary mengatakan kasus tersebut terjadi dan belum ada penyelesaiannya sampai sekarang.

Lalu, ada pula menyangkut peruntukan izin penggunaan lahan. Contohnya, sebuah perusahaan mengantongi izin di sebuah wilayah, tapi ketika hendak melakukan kegiatan di lokasi yang bersangkutan ternyata kawasan hutan lindung, sehingga penambangan tak boleh dilakukan. Sedangkan untuk mengubah kawasan hutan lindung menjadi pertambangan menurut Ary mekanismenya rumit karena prosesnya bersinggungan bukan hanya dengan struktur pemerintah tapi juga DPR. “Inilah kenyataannya, semrawut,”ucapnya.

Tags:

Berita Terkait