Regulasi dan Institusi Jadi Hambatan Utama Pertumbuhan Ekonomi
Berita

Regulasi dan Institusi Jadi Hambatan Utama Pertumbuhan Ekonomi

Masalah regulasi dan institusi belum cukup mendukung ekspor dan investasi sehingga perlu segera dibereskan.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengemukakan tingkat pertumbuhan ekonomi bisa maksimal bila semua pihak melakukan segala sesuatunya secara 100 persen. Masalah regulasi dan institusi diyakini sebagai penghambat tumbuhnya perekonomian.

 

“Untuk melihat apa penyebab lambatnya pertumbuhan tersebut kami melakukan yang namanya diagnosa pertumbuhan, dan ternyata faktor pertama dalam ekonomi Indonesia yang menghambat pertumbuhan adalah masalah regulasi dan institusi,” kata Bambang, seperti dilansir situs Setkab, Selasa (9/7).

 

Institusi, menurut Menteri PPN/Kepala Bappenas itu, artinya birokrasi pemerintahan masih dianggap belum cukup andal untuk bisa memudahkan investasi maupun melancarkan di sektor perdagangan.

 

Sedangkan di regulasi hambatan utamanya adalah masih banyaknya regulasi atau implementasi regulasi yang menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi. Untuk ekspor, misalnya. Bambang mencontohkan ternyata administrasi dan kepabeanan untuk urusan ekspor di Indonesia memakan waktu rata-rata 4,5 hari yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga. Ia mencontohkan Singapura cuma setengah hari, maupun Vietnam, Thailand yang sekitar dua hari.

 

Demikian juga untuk investasi. Bambang memaparkan untuk memulai bisnis dari ease of doing business terlihat misalkan untuk memulai investasi di Indonesia diperlukan rata-rata masih sekitar 19 hari. Itu masih jauh di atas negara-negara tetangga yang jumlah hari untuk memulai investasinya lebih rendah dari pada Indonesia.

 

Selain itu, lanjut Bambang, ternyata biaya untuk mulai investasi di Indonesia pun lebih tinggi dibandingkan biaya memulai investasi di negara-negara tetangga. Sebagai salah satu solusi pemerintah harus fokus kepada penataan regulasi, khususnya regulasi yang dianggap bisa menghambat investasi maupun perdagangan, baik ekspor maupun impor.

 

“Bahwa ternyata lebih lama dan lebih mahal itu saja membuktikan dari segi daya saing pun Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan dari negara tetangga. Jadi kuncinya kepada penataan kembali regulasi dan implementasi dari regulasi itu sendiri di lapangan,” kata Bambang.

 

Menurut Bambang, tugas kabinet baru ke depan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara optimal ke 5,4% dari 5,3% adalah membereskan masalah regulasi dan institusi yang dianggap belum cukup mendukung ekspor dan ivestasi. Menurutnya, hal itu sangat penting karena menjadi faktor yang paling menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

 

“Tadi poinnya itu sehingga Presiden mengulangi lagi apa instruksi yang sebenarnya sudah disampaikan berkali-kali pada beberapa kementerian,” kata Bambang.

 

Seperti diketahui, beragam kondisi regulasi seperti hiper regulasi, disharmonisasi, multi interpretasi jelas berbanding lurus dengan munculnya ketidakpastian hukum. Selama memerintah sejak Oktober 2014 hingga kini, pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah berkali-kali mengeluarkan paket kebijakan deregulasi. Pemerintah mencabut dan mendorong pemerintah daerah untuk mencabut peraturan-peraturan yang menghambat kemudahan berusaha.

 

(Baca: Menata Regulasi: Antara Ego Sektoral dan Tumpang Tindih Peraturan)

 

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly mengatakan Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, telah menetapkan lima dimensi yang dipakai untuk menata regulasi nasional. Pemerintah terus melakukan ikhtiar untuk merespons perubahan yang terjadi. Salah satu yang harus dilakukan adalah mempermudah iklim berusaha dengan menata regulasi.

 

(Baca: Perlu Dipahami! Pemerintah Tetapkan 5 Dimensi Penataan Regulasi Nasional)

 

Adapun dimensi pertama adalah ketepatan jenis peraturan perundang-undangan. Dimensi ini sebenarnya sejalan dengan asas dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Asas kesesuaian jenis antara jenis, hierarki dan materi muatan mengandung arti bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memerhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Jangan sampai peraturan daerah (Perda) mengatur materi muatan Undang-Undang apalagi jika sampai menegasikan materi muatan Undang-Undang. Materi muatan Peraturan Menteri (Permen) juga tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP).

 

Dimensi kedua adalah potensi disharmoni peraturan. Para perancang peraturan perundang-undangan perlu memperhatikan potensi disharmoni draf yang disiapkan dengan peraturan yang lebih tinggi. Indikator yang dipakai untuk mengukur dimensi ini adalah kewenangan, hak, kewajiban, perlindungan hukum, dan penegakan hukum. Para pembentuk peraturan perlu mempertanyakan lebih dahulu: apakah lembaga tertentu berwenang perbuatan yang akan diatur? Apakah organisasi pemerintahan daerah punya hak untuk menetapkan dan menarik retribusi tertentu dari pelaku usaha?

 

Dimensi ketiga adalah kejelasan rumusan. Ini juga sejalan dengan asas dalam UU No.12 Tahun 2011. Asas kejelasan rumusan mengandung arti setiap peraturn harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaan. Prakteknya, istilah yang dipakai dan maksud antara dua undang-undang bisa berbeda.

 

Dimensi keempat adalah penilaian kesesuaian norma dan ketepatan asas. Asas pembentukan ini meliputi pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, Kenusantaraan, Bhineka Tunggal Ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Ini juga merupakan asas yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

 

Terakhir, dimensi kelima, adalah efektivitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Para pembentuk peraturan perlu memikirkan sejak awal apakah peraturan tersebut bisa dijalankan di lapangan, apakah sumber daya manusia pelaksananya tersedia dan mencukupi, apakah sesuai dengan kultur, dan apakah bisa memberikan pelayanan yang maksimal.

 

Berkaitan dengan penataan regulasi, pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan ada tiga poin penting yang perlu diperhatikan: penguatan pembentukan, revitalisasi evaluasi, dan penataan database peraturan. Menurut dia, selama ini Pemerintah masih fokus pada penataan peraturan yang tumpah tindih. Meski begitu, upaya ini patut diapresiasi.

 

Tapi Bivitri memberi catatan, meskipun penataan itu penting untuk kemudahan berinvestasi yang menjadi target Presiden Jokowi, banyak juga problem lain yang harus dipikirkan oleh pemerintah.  “Problemnya sangat banyak dan yang terpenting adalah soal HAM,” kata Bivitri beberapa waktu lalu.

 

Tags:

Berita Terkait