Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia
Kolom

Reformulasi Keberadaan Peradilan Militer di Indonesia

​​​​​​​Merevisi UU Peradilan Militer, mulai memberikan  kewenangan kepada TNI untuk melakukan penyidikan khusus terhadap prajurit TNI yang melanggar dugaan tindak pidana umum, hingga membentuk jabatan baru Jaksa Agung Muda militer di bawah Jaksa Agung untuk diberi tugas melakukan penuntutan terhadap prajurit yang diduga melakukan tindak pidana di peradilan umum.

Bacaan 2 Menit

 

Sementara dominasi militer dalam memegang kekuasaan politik masa lalu menjadi beban psikologis tersendiri, ketika prajurit TNI diproses di peradilan umum. Terlebih lagi, diproses oleh penyidik Polri. Notabene, Polri dahulu berada di dalam struktur kelembagaanya di bawah TNI. Pada praktinya, tindakan mengklasifikasikan pelanggaran militer dan pelanggaran tindak pidana umum dapat dimaknai berbeda.

 

Yakni, adaya upaya menundukkan posisi militer di bawah kekuatan sipil. Nah langkah tersebit sudah barang tentu berpotensi menimbulkan gejolak keamanan dan politik di berbagai wilayah Indonesia. Padahal sedianya hal tersebut lumrah terjadi berbagai negara berkembang, di kala kekuatan militer mendominasi tataran kehidupan sosial politik kenegaraan. Ujungnya, pihak militer cenderung resistensi untuk mengikuti sistem hukum baru yang dibentuk oleh kekuatan sipil sebagaimana terjadi dan berlaku di negara-negara maju.

 

Resistensi dimaksud cenderung berdasarkan atas pengaturan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Ayat (2) menyebutkan, “Peradilan militer setara dengan peradilan umum yang berada di bawah Mahkamah Agung RI”.  Tak hanya itu, berlakunya pula Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang hingga kini  tetap berlaku. Bahkan  belum ada perubahan terhadap UU tersebut. Oleh karena itu, tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI dilaksanakan di peradilan militer.

 

Wacana tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jendral Sabrar Fadhilah memerlukan kajian khusus. Bahkan pendalaman dengan disertai dasar hukum yang jelas. Namun  demikian, tuntutan reformasi terhadap Peradilan Militer tak dapat terbendung. Sebab hal tersebut sudah diamanahkan TAP MPR RI No.VII/2000. Bahkan pula  diperkuat oleh TAP MPR No.I/2003. Khususnya, Pasal 4 ayat (6) dan (7) yang mengamanahkan TAP MPR VII/2000 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. 

 

Secara filosofi, reformasi terhadap Peradilan Militer memang diperlukan. Sebab yuridiksi peradilan tidak melihat tindak pidana berdasarkan subyek pelaku.  Namun  berdasarkan delik atau kejahatan yang dilakukan. Oleh karena itulah  tidak pidana umum yang dilakukan anggota TNI seharusnya masuk dalam lingkungan peradilan pidana umum, dan bukan lagi menjadi ranah peradilan militer.

 

Sebab itulah peradilan militer semestinya berkutat pada tindak pidana yang berhubungan dengan military affair. Seperti desersi, spionase dan kejahatan perang lainnya. Namun negara Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi menuju masyarakat madani, sebaiknya perlu berfikir lebih lanjut dalam mereformulasi peradilan militer secara mutlak.

 

Sebab itulah diperlukan jalan tengah agar dapat mengkompromikan, setidaknya menyesuaikan dengan situasi, kondisi di Indonesia, tanpa melanggar amanah TAP MPR RI No.VII/2000 dan Pasal 65 UU No.34/2000.  Terlebih, kompromi dan adaptasi dalam sistem hukum Indonesia bukanlah hal yang baru. Oleh karena itulah  sistem hukum Indonesia saat ini pun dibangun dari proses penemuan, pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem hukum antara Eropa Kontinental, Hukum Adat, Hukum Agama khususnya Hukum Syariah Islam, dan sistem hukum Anglo-Saxon.

Tags:

Berita Terkait