Reformasi Polri Perlu Dilanjutkan
Berita

Reformasi Polri Perlu Dilanjutkan

Untuk mendorong terwujudnya Polri yang profesional.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ray Rangkuti (tengah). Foto: RES
Ray Rangkuti (tengah). Foto: RES
Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Dekrit Rakyat mendesak agar reformasi Polri terus berlanjut agar profesionalisme aparat Polri terwujud sepenuhnya. Reformasi Polri tak hanya berupa pemisahan Polri dari TNI, tetapi juga melakukan berbagai upaya agar Polri semakin profesional.

"Polri jadi institusi tersendiri (terpisah dengan TNI) agar dia profesional dalam melindungi dan mengayomi masyarakat serta menegakan hukum," kata Direktur  Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, di Jakarta, Senin (16/3).

Harapan reformasi itu belum terwujud. Laporan-laporan Komnas HAM dan lembaga sipil pemerhati HAM menunjukkan tindakan kekerasan dalam penanganan perkara masih banyak. Polisi sangat sering dilaporkan masyarakat ke lembaga-lembaga pengaduan, terutama Komnas HAM. "Itu membuktikan Polri belum jadi institusi sipil yang profesional. Untuk itu kami menuntut reformasi Polri dilanjutkan," ujarnya.

Sekretaris Dewan Nasional Setara Institute, Benny Susetyo, mengatakan reformasi Polri penting untuk mengubah paradigma. Polisi harus ditempatkan sebagaimana mestinya yakni sebagai pelayan publik. Untuk itu perlu role model yang bisa dijadikan acuan Polri ke depan. Role model itu sudah dibangun tokoh kepolisian, Hoegeng Imam Santoso saat ia memposisikan Polisi bukan sebagai alat kekuasaan baik oleh penguasa atau pemilik modal, tapi pengayom, pelindung dan penegak hukum. "Jadi, polisi yang profesional itu menjaga jarak dengan kekuasaan (politik) dan pemilik modal, sehingga berintegritas," tukas Benny.

Selain itu pengawasan terhadap Polri harus diperkuat. Salah satu caranya, menempatkan Polri di bawah Kementerian. Jika Polri berada di bawah Presiden seperti sekarang maka pengawasan lemah mengingat Presiden mengurusi banyak hal sekaligus.

Sekretaris Eksekutif Bidang Diakonia PGI, Jeirry Sumampow, menjelaskan ketika reformasi masyarakat sipil menyoroti tentara karena mereka membungkam suara kritis masyarakat. Sekarang, itu malah dilakukan polisi. Hal tersebut dapat dilihat dari kriminalisasi yang dilakukan polisi terhadap aktivis anti korupsi. Menurutnya, itu menunjukan reformasi Polri yang berjalan selama ini gagal.

Jeirry mencatat reformasi Polri bergulir dua kali yakni 1999 dan periode 2011-2014. Dalam proses reformasi itu Polri memperkuat internal mereka dengan menerbitkan regulasi dan meningkatkan kualitas SDM. Ironisnya, semua proses itu gagal karena ulah sebagian elit Polri yang koruptif.

Sebagaimana Benny, Jeirry berpendapat tidak signifikannya reformasi Polri karena lemahnya pengawasan oleh Presiden. Sebab, Presiden menangani banyak hal dan pengawas eksternal seperti Kompolnas tidak maksimal. Oleh karenanya, Polri perlu diposisikan di bawah Kementerian. "Saya usulkan polisi di bawah kementerian agar ada yang mengawasi secara internal proses didalam," usulnya.

Koordinator KontraS, Haris Azhar, mengingatkan ada tiga fungsi polisi yang disebut dalam UU No. 2 Tahun 2002 yaitu pelayanan, menjaga keamanan publik, dan penegakan hukum. Ironisnya, pengawasan terhadap Polri dalam menjalankan ketiga fungsi ini masih lemah. “Penting agar Polri mau membuka diri dan mau dikontrol serta menindaklanjuti kontrol tersebut,” paparnya.
Tags:

Berita Terkait