Reformasi Lapas, Momentum Perbaiki Pelayanan Warga Binaan
Berita

Reformasi Lapas, Momentum Perbaiki Pelayanan Warga Binaan

Berdasarkan data per Juni 2017, setidaknya jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 153.312 orang. Ironisnya, kapasitas yang dapat ditampung hanyalah 122.114 narapidana. Secara keseluruhan Lapas di berbagai wilayah Indonesia mengalami kelebihan penghuni mencapai 84 persen.

Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES
Persoalan meluapnya penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) tanpa diimbangi dengan ruangan memadai mengakibatkan kerapnya terjadi kerusuhan di berbagai lapas. Ironisnya di saat kurangnya ruangan akibatnya terus bertambahnya penghuni lapas, belakangan ditemui ruangan bagi penghuni Lapas dengan fasilitas mewah di Lapas Cipinang beberapa waktu lalu. Hal tersebut membuat berang bagi sebagian kalangan.

Reformasi di bidang perbaikan pelayanan bagi warga binaan di lapas menjadi keharusan. Tak saja persoalan ruangan, sistem pengamanan pun mesti diperbaiki. Begitu pula dengan mekanisme penempatan warga binaan dalam ruangan. Tak boleh adanya perlakuan khusus terhadap narapidana sebagai warga binaan. Dengan kata lain setiap narapidana sebagai narapidana mesti mendapat perlakuan yang sama, khususnya fasilitas dan pelayanan di dalam lapas.

(Baca juga: Haruskah Napi Membayar Biaya Selama di Lapas?)

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai, sistem pemasyarakatan yang dibangun merujuk UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Yakni mengatur persamaan perlakuan dan pelayanan terhadap warga binaan di dalam lapas. Nah, proses pembinaan dalam pemasyarakatan bertujuan dalam rangka membentuk  warga binaan supaya menyadari kesalahannya. Termasuk tidak lagi mengulangi tindak pidana yang dilakukannya.

“Bagaimana mungkin proses pembinaan tersebut dapat terlaksana jika tindakan koruptif para petugas lapas dan narapidana masih terus dilakukan,” ujarnya melalui keterangan tertulis beberapa waktu lalu di Jakarta.

Selain persoalan koruptif yang dilakukan oknum yang mencari keuntungan, terdapat situasi khusus yang menyuburkan praktik komodifikasi koruptif tersebut. Menurutnya, situasi khusus dimaksud yakni over crowding yang acapkali menjadi biang masalah utama dalam bidang lapas di Indonesia. Setidaknya hal tersebut merujuk terhadap berbagai temuan dari berbagai studi ICJR dan berbagai lembaga lainnya. Temuan tersebut menunjukan pola yang seragam.

Berdasarkan data per Juni 2017, kata Maidina, setidaknya jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 153.312 orang. Ironisnya, kapasitas yang dapat ditampung hanyalah 122.114 narapidana. Itu artinya, secara keseluruhan Lapas di berbagai wilayah Indonesia mengalami kelebihan  penghuni mencapai 84 persen. Menjadi miris ketika Lapas Cipinang dihuni oleh 2926 narapidana dan tahanan. Padahal, kata Maidina, kapasitasnya hanya diperuntukan bagi 880 narapidana.

“Kelebihan penghuni pada lapas-lapas di Indonesia menimbulkan dampak langsung bagi praktik komodifikasi lapas,” ujarnya.

(Baca juga: Menkumham Diminta Tak Libatkan TNI Jaga Lapas)

Kelebihan kapasitas di lapas memang berrdampak terhadap tidak terakomodirnya pelayanan dan fasilitas yang memadai terhadap warga binaan. Sebaliknya, kondisi layak hanya dapat terjadi ketika lapas menampung penghuni sesuai kapasitas warga binaan. “Bagaimana mungkin kelayakan dapat diperoleh disaat kelebihan muatan mencapai 332% hampir 3 kali lipat dari kondisi normal,” ujarnya.

Lebih lanjut Maidina berpendapat kelebihan kapasitas berdampak pula terhadap layanan standar minimum bagi lapas. Sebab pelayanan pun menurun ke tingkat yang kian mengkhawatirkan. Misalnya layanan dasar berupa penyediaan air minum, makanan, komunikasi, ruang tidur dan kesehatan. Negara pun mengalami kesulitan pembiayaan terhadap operasional lapas dalam memenuhi standar minimum.

Terhadap persoalan itulah menjadikan penyediaan fasilitas tertentu menjadi komoditas subur bagi oknum petugas lapas yang koruptif. Sedangkan bagi narapidana yang memiliki kemampuan finansial dapat ‘menyuap’ oknum petugas agar mendapatkan fasilitas yang lebih memadai. Bahkan, cenderung mewah.

(Baca juga: Pengadaan Lapas Jadi Bagian PR Kemenkumham)

ICJR, kata Maidina, mendorong agar pemerintah bersama dengan DPR bekerja keras dalam melakukan reformasi terhadap lapas. Yakni dengan aturan dan kebijakan yang tegas agar dapat mereformasi lapas. Misalnya dengan menindak tegas oknum-oknum yang menyalahi aturan. Kemudian, kebijakan pemidanaan yang dihasilkan mesti rasional antara di atas kertas dengan praktik di lapangan.

“Jangan hanya melulu mendorong ketentuan pidana yang selalu menjebloskan pelaku tindak pidana ke dalam penjara yang saat ini sudah penuh sesak,” ujarnya.

Anggota Komisi III Didik Mukrianto sebelumnya mengatakan keberadaan sel mewah di lapas sudah telah menjadi rahasia umum. Artinya, masyarakat sudah mengetahui pola yang terjadi di dalam lapas. Permasalahan tersebut memang harusnya menjadi evaluasi mendalam bagi pemerintah. Khususnya Kemenkumham dan Dirjen Pemasyarakatan. Sebab, lapas adalah hak setiap narapidana yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama. Sehingga ada persamaan fasilitas terhadap narapidana diberikan tanpa terkecuali.

“Saya minta kepada seluruh aparat Kemenkumham untuk betul-betul mengevaluasi dan mencari apakah memang hal tersebut penyimpangan atau kesalahan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait