Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018
Kolom

Refleksi Penegakan Hukum Indonesia 2018

​​​​​​​Pembangunan semesta tidaklah cukup tanpa adanya pembangunan hukum.

Bacaan 2 Menit
Frans H Winarta. Foto: Istimewa
Frans H Winarta. Foto: Istimewa

Saat ini negara Indonesia telah berkembang menjadi salah satu negara yang  sedang berproses di segala bidang, khususnya di bidang hukum. Sudah genap 20 tahun lamanya semenjak hukum di Indonesia tidak takluk lagi kepada penguasa. Sebagai negara hukum (rechtsstaat)[1] yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia[2], hukum harus menjadi panglima di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinaungi oleh konstitusi negara UUD 1945 dan dasar negara Pancasila.

 

Di masa pemerintahan yang sekarang, Presiden Joko Widodo dalam program Nawa Cita tegas menyatakan untuk ”menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya”. Namun yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, “Apakah nawa cita tersebut sudah benar-benar terwujud? Apakah hukum saat ini telah benar-benar menjadi panglima? Apakah negara ini sudah benar-benar bebas korupsi? Apakah sudah ada peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta jaminan keadilan bagi setiap orang terutama para pencari keadilan (justitiabelen)?”

 

Perlu digarisbawahi bahwa pembangunan ekonomi, politik, dan sosial (pembangunan semesta/di segala bidang) tidaklah cukup tanpa adanya pembangunan hukum yang berkelanjutan. Selama lebih dari empat dekade hukum telah diabaikan, dan akibatnya, penegakan hukum sekarang ini sulit dilaksanakan karena lembaga-lembaga hukum sudah sedemikian rusak.

 

Padahal setiap warga negara Indonesia memiliki harapan tersendiri terkait penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu. Pada tataran konsep dan teori,[3] penegakan hukum yang memberikan perlindungan bagi setiap individu merupakan hal ideal dan sifatnya wajib untuk dilaksanakan, namun pada tataran penerapan, hukum belum cukup melindungi masyarakat pencari keadilan (justitiabelen), terutama yang berkaitan dengan keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasinya.[4]

 

Ada dua isu penting di negara ini terkait penegakan hukum yang menjadi sorotan banyak pihak, yaitu: isu pelanggaran HAM dan isu KKN, suap, dan grafitasi. Hingga saat ini, telah banyak kasus pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia, seperti: peristiwa Tanjung Priok, Semanggi, Talangsari, Trisakti, tragedi Mei, kasus penutupan gereja (HKPB Philadelphia, GKI Yasmin, dll), kasus Ahmadiyah[5], penyerangan Lapas Cebongan, terorisme di berbagai tempat, dan yang terakhir peristiwa pembunuhan para pekerja jalan dan jembatan di Papua.

 

Di lain sisi, praktik suap, kolusi, dan kompromi yang merajalela di negeri ini melibatkan banyak sekali pejabat pemerintah yang rakus. Meski telah bebas dari pemerintahan yang korup selama puluhan tahun dan berganti era menjadi era reformasi, namun Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“KKN”), suap, dan gratifikasi masih tetap lancar dilakukan oleh pihak-pihak yang sungguh ingin merugikan keuangan negara. Amat mengerikan melihat rentetan kasus KKN, suap, dan gratifikasi yang bergulir di negeri ini.

 

Contoh di tahun 2004, kasus BLBI telah membebani APBN triliunan rupiah. Pada tahun 2012 terdapat dua kasus besar yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat yaitu kasus skandal Bank Century dan kasus Hambalang. Tahun 2014, ada kasus korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Tahun 2015 KPK menemukan kasus suap terkait pemulusan proyek pembangkit listrik di Sulawesi Selatan. Di lain sisi ada kasus korupsi dana bantuan sosial serta kasus penyelewengan dana di Kementerian ESDM. Di tahun 2017, ada kasus korupsi E-KTP yang melibatkan banyak pejabat negara. Di tahun 2018, Gubernur Jambi ditangkap karena menerima gratifikasi dengan total uang senilai Rp 41 milyar, Bupati Kutai Kartanegara divonis 10 tahun penjara karena menerima uang gratifikasi sebesar Rp110 milyar, OTT Bupati Cianjur, serta beberapa kasus gratifikasi lainnya. Keadaan tersebut memperlihatkan tidak adanya kemauan politik dari seluruh pihak untuk mengubah negara ke arah yang lebih baik.

 

Pembangunan Hukum di Indonesia

Memang benar kondisi penegakan hukum di Indonesia secara umum dapat diibaratkan sebagai benang kusut yang disebabkan judicial corruption yang telah membudaya dan pola berpikir aparat penegak hukum terkait hak asasi manusia yang harus dilepaskan dari kultur lama.

 

Di bidang hak asasi manusia, sayangnya, sebagian masyarakat Indonesia telah berubah dari masyarakat majemuk yang memiliki rasa sosial yang tinggi menjadi manusia Indonesia yang memiliki degradasi nilai-nilai kemanusiaan yang mencemaskan. Hal ini diperlihatkan dengan aksi intoleransi, kekerasan, anarkisme, perlawanan terhadap petugas atau sebaliknya, saling serang antar golongan, dan lain-lain.[6]

 

Hal tersebut dapat terjadi karena penegakan hukum tak berjalan sesuai dengan harapan sehingga masyarakat melakukan upaya penegakan hukum dengan cara mereka sendiri melalui bentuk-bentuk pengadilan massa yang berujung pada tindakan-tindakan pelanggaran HAM. Bahkan di lain sisi, sejarah menceritakan ada juga penegak hukum yang seharusnya melindungi hak asasi manusia warganya, malah berbuat sebaliknya.

 

Penegakan hukum yang seharusnya adalah suatu proses dilakukannya upaya penerapan norma-norma hukum secara nyata agar hukum dapat berfungsi dan ditegakkan sebagai pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, baik oleh masing-masing warga negara maupun aparat penegak hukum yang mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan undang-undang (Satjipto Raharjo, 2005). Hal ini sesuai dengan adagium yang dikemukakan oleh Cicero, yaitu “ubi societas ibi ius”, yang berarti “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Masyarakat tidak mungkin hidup tanpa hukum, karena norma-norma hukum itulah yang mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat.

 

Penegakan hukum yang berkualitas tidak akan terwujud jika tindak pidana korupsi dan pelanggaran HAM masih marak.[7] Yang menyebabkan demikian salah satunya adalah budaya hukum di Indonesia masih jauh dari apa yang seharusnya dicita-citakan para pendiri bangsa mengenai negara hukum (rechtsstaat). Menurut Lawrence M. Friedman budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum di Indonesia saat ini adalah sebagai hasil dari sistem hukum yang tidak efektif, sehingga masyarakat menganggap hukum dipatuhi karena takut oleh penegak hukum, bukan karena kesadaran diri sendiri.

 

Lebih lanjut, asas praduga tak bersalah (presumption of innosence) merupakan syarat utama dan mutlak dalam rangka menegakkan hukum. Hal ini harus diterapkan sejalan dengan persidangan yang berjalan jujur, adil dan tidak memihak yang merupakan implementasi jelas dari due process of law.[8]

 

Pada akhirnya, secara umum, penegakan hukum di Indonesia pada tahun 2018 masih belum jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Masih banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia serta belum ada jaminan penyelesaian beberapa persoalan hukum tertentu akibat kurang tegasnya pengamalan asas persamaan di hadapan hukum bagi masing-masing warga negara Indonesia.

 

Ke depannya, untuk dapat mewujudkan penegakan hukum secara efektif, perlu diperhatikan sebagai berikut:

  1. Terkait struktur hukum: Reformasi internal lembaga penegak hukum harus dilakukan secara konsisten, profesional, dan berkelanjutan. Upaya pembenahan institusi hukum dari mafia peradilan mutlak dilaksanakan segera. Penegak hukum bersama-sama dengan hakim dan advokat harus dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, sehingga mengakibatkan kepercayaan publik meningkat.
  2. Terkait substansi hukum: Penyusunan dan pembentukan undang-undang dan perkembangan hukum kebiasaan harus serasi dengan kebutuhan masyarakat, harus objektif dan tidak mendiksriminiasi. Sistem hukum yang baik akan memaksa aparat penegak hukum untuk bekerja dengan jujur, efektif, dan efisien yang pada akhirnya akan mencerminkan penegakan hukum yang berkualitas pula. Kinerja aparat penegak hukum yang baik akan menjadi teladan bagi masyarakat.
  3. Terkait budaya hukum: kesadaran publik terhadap hukum (termasuk di dalamnya sikap anti-korupsi dan pelajaran budi pekerti) harus ditingkatkan, bahkan harus diajarkan sejak dini di dalam lingkup keluarga, termasuk bagaimana seorang warga negara memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang harus dijalankan. Dari sisi pemerintah harus ada tindakan yang dapat menciptakan masyarakat yang taat (tunduk) terhadap hukum dan hormat kepada hukum (law abiding-society) bukan karena takut kepada penegak hukum tapi karena kesadaran diri sendiri. Contohnya dapat berupa sosialisasi atau penyuluhan-penyuluhan hukum  terkait ketertiban, disiplin, ketentraman, kepastian hukum, toleransi, menolak keserakahan, dan sebagainya, yang dapat membuat masyarakat lebih aware terhadap hukum.  Pemerintah janganlah hanya fokus terhadap pembentukan undang-undang, tapi melupakan perbaikan budaya hukum masyarakatnya. Dalam jangka panjang sistem pendidikan bisa disesuaikan atau ditambahkan pendekatan yang lebih menanamkan kedisiplinan di dalam kehidupan sehari-hari. Dimulai dari hal dasar seperti mematuhi rambu lalu lintas, membuang sampah pada tempatnya, menyeberang di zebra cross atau jembatan penyeberangan, memelihara lingkungan hidup, hingga hal yang lebih besar seperti tidak KKN[9] dan selalu menghormati HAM orang lain.

 

Pada akhirnya, jika penegakan hukum baik, maka dengan sendirinya keadilan, kepastian hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan pemenuhan hak asasi masing-masing individu (termasuk hak untuk hidup/right to life, hak milik/right to property, dan hak atas kemerdekaan/right to liberty) dapat dicapai. Hal ini yang harus dicapai oleh pemerintahan Jokowi sebagai implementasi dari Nawa Cita.

 

*)Prof. DR. Frans H. Winarta, S.H., M.H. adalah Advokat Senior.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

[1]   Ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat).

[2]    Moh. Yamin di awal proses pembentukan NKRI, mengharapkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang menghargai HAM.

[3]    Setiap orang diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law), itulah salah satu cita-cita dari hak asasi manusia sesuai dengan yang disebutkan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

[4]    Sebagai contoh, secara teori, hukum menjamin hak setiap individu untuk didampingi oleh advokat (right to counsel – Pasal 56 [1] KUHAP; Pasal 14  [3] ICCPR), namun dalam praktiknya, hak individu tersebut sering kali disabotase.

[5]    Para pendiri Republik Indonesia pun menginginkan urusan negara dan urusan agama dipisah, yang dicanangkan sebagai “separation between church and state” (scheiding van kerk en staat) oleh Bung Hatta. Kedua hal tersebut tidak boleh dicampuradukan.

[6]    Menurut World Report 2018 yang dilakukan oleh Human Rights Watch, di bulan September, Kejaksaan Agung RI mengumumkan bahwa mereka telah membatalkan pemberitahuan lowongan pekerjaan yang tidak hanya melarang pelamar lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), tetapi juga menyatakan bahwa homoseksualitas adalah "penyakit mental.

[7]     Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa berhasil atau tidaknya penegakan hukum bergantung kepada tiga unsur sistem hukum yaitu: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.

[8]   Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil, dan dalam konsep due process of law, sebenarnya terdapat konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).

[9]  W. Keeler (Shame and Stage Fright in Java, 1983) dalam penelitiannya berkata bahwa anak-anak di Jawa dan Bali (ada kecenderungan di seluruh tanah air) dididik untuk bermoral malu,

Tags:

Berita Terkait