Reda Manthovani: Terinspirasi Film Law and Order, Ingin Benahi Kejari Jakbar
Berita

Reda Manthovani: Terinspirasi Film Law and Order, Ingin Benahi Kejari Jakbar

Memulai langkah dengan menerapkan keterbukaan informasi, menguatkan penanganan perkara pencucian uang, hingga memperjuangkan integrasi sistem hukum acara pidana.

KAR
Bacaan 2 Menit
Kepala Kejari Jakbar, Reda Manthovani. Foto: RES
Kepala Kejari Jakbar, Reda Manthovani. Foto: RES
Di era keterbukaan ini, masih saja banyak pejabat negara yang belum berani membuka informasi publik di institusinya. Namun, berbeda dengan Reda Manthovani, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. Dengan gamblang, ia membeberkan laporan harta kekayannya dan jajarannya melalui website Kejari Jakbar. Tak hanya itu, ia juga banyak berbicara melalui media bahwa institusinya kekurangan anggaran.

Padahal, menurut Reda selama ini rekan-rekannya di kejaksaan tak ada yang berani mengungkap soal minimnya anggaran yang ada. Sebab, mereka takut dianggap tidak mampu bekerja dengan anggaran terbatas. Di sisi lain, Reda menilai pemenuhan anggaran yang sesuai kebutuhan merupakan solusi agar institusi kejaksaan bisa menjadi lebih akuntabel.

“Kejaksaan perlunya anggaran yang bersifat at cost. Kalau anggaran sesuai kebutuhan, minimal penanganan perkara menjadi lebih jelas. Bayangkan, sekarang ini anggaran untuk sidang kita hanya dibiayai untuk tiga kali. Padahal, faktanya sidang bisa sampai tujuh kali atau lebih,” tutur Reda kepada hukumonline di kantornya, Selasa (13/1).

Reda mengaku, dirinya memang memiliki cita-cita besar bisa membawa angin perubahan sekecil apapun bagi kejaksaan. Sebab, sejak masih duduk di bangku SMA Reda memang sudah membayangkan bahwa hidupnya ia jalani sebagai seorang jaksa. Film Law and Order, demikian kuat menginspirasi dirinya untuk menjadi aparat penegak hukum yang berbakti bagi negara.

“Sejak SMA selalu nonton film Law and Order. Dari film itu, saya melihat sosok seorang jaksa itu gagah dalam mengungkap suatu kejaksaan. Akhirnya,saya masuk ke fakultas hukum untuk mencapai cita-cita saya,” kisah Reda.

Kekuatan pikirannya untuk menjadi jaksa yang baik, kemudian mengantarkannya untuk menempuh pendidikan master di Faculte de l’Universite d’Aix, Marseille III France pada tahun 2001 lalu. Sebab, ia ingin memperdalam kajian mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU). Keinginan itu muncul setelah dirinya menyadari bahwa negara sebesar Indonesia membutuhkan perangkat hukum dalam menangani perkara TPPU.

Selama studi Reda pun banyak melakukan penelitian bagaimana penanganan TPPU di seluruh negara-negara Eropa. Ia kemudian menjadi sangat memahami teknik pencucian uang. Mulai dari placement bagaimana penempatan uangnya, layering dengan melakukan pemindahan, hingga integration agar terlihat seolah-olah halal. Itu ada di dalam Pasal 2 UU TPPU. Tak heran, saat kembali ke tanah air, Reda ditunjuk menjadi salah satu anggota tim perumus rancangan undang-undang tentang TPPU.

“Sekarang penanganan TPPU di Indonesia sudah cukup maju. Para penyelidik dan penyidik sudah memahami bahwa penyelematan uang negara itu penting. Sebab, kalau cuma tersangka saja yang akhirnya dihukum tidak balik modal. Biaya kita untuk menangani perkara saja sudah berapa juta,” papar Reda.

Kini, saat menjabat sebagai Kajari Jakbar Reda juga menaruh perhatian khusus terhadap TPPU. Ia mengaku, selalu memberikan pengarahan kepada jajarannya bahwa jika ada kasus-kasus yang berkiatan dengan uang kita harus telusuri kemana uang itu perginya. Sebab, Reda menilai TPPU merupakan darah bagi tindak kejahatan yang terorganisir. Jika darah itu dihentikan, maka kejahatan lainpun akan tercegah. Sementara itu, jika darahnya dibiarkan terus mengalir, kejahatan teroganisir akan semakin merajalela.

Oleh karena itu, dalam perkara penipuan atau penggelapan, jaksa di bawah pimpinannya berusaha tahu apakah ada indikasi TPPU. Memang, dalam kasus pidana umum semacam itu jaksa bukan penyidik. Akhirnya, menurut Reda, pihaknya memberikan petunjuk kepada penyidik agar melakukan penesuluran lebih lanjut.

Di sisi lain, Reda menambahkan, bahwa tidak selalu kasus yang berkaitan dengan uang bisa merujuk pada TPPU. Biasanya, ia hanya mencurigai kasus-kasus yang melibatkan uang sangat banyak. Dalam melakukan penelusuran, Reda mengaku pihaknya membutuhkan waktu minimal tiga bulan. Karenanya, ia merasa lebih leluasa jika tersangka tidak ditahan. Sebab, dirinya tidak terikat oleh batasan waktu penahanan.

“Tapi kasus yang kita tangani langsung di Kejari Jakbar selama saya menjabat disini masih sederhana, jadi misalnya tindak pidana korupsi tidak perlu kita gunakan pasal TPPU pun sudah  terlacak,” kata pria yang menjabat sebagai Kajari Jakbar sejak bulan Juli 2015 lalu.

Selain itu menaruh perhatian terhadap TPPU, Reda juga cermat mengamati sistem hukum acara pidana di Indonesia. Menurutnya, ada hal krusial yang harus dibenahi agar sistem hukum Indonesia menjadi lebih baik. Ia menilai, hubungan antara penyidik dan penuntut umum selamai ini, masing-masing seolah-olah terpisah. Padahal, menurut Reda penyidik dan penuntut umum harus lebih erat. Sebab, penuntut umum lah nantinya yang akan berhadapan dengan pengadilan.

Ia menyebut, di negara lain seperti Perancis dan Hongkong, penyelidikan dan penyidikan juga terpisah dari penuntutan. Hanya saja, di sana penyidik harus koordinasi dengan penuntut umum. Selain itu, penilaian untuk naik pangkat harus berdasarkan rekomendasi dari penuntut umum, meskipun memang bukan atasannya.

“Draft revisi KUHAP memang sudah terintegrasi seperti itu. Tapi perlu perjuangan, sebab pastinya akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi pihak-pihak yang sudah nyaman sebelumnya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait