Reaksi Lawyer Asal Sumut atas Peristiwa Kapal Tenggelam di Danau Toba
Utama

Reaksi Lawyer Asal Sumut atas Peristiwa Kapal Tenggelam di Danau Toba

Ada tiga pihak berpotensi digugat dalam peristiwa tersebut.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kecelakaan transportasi laut. HGW
Ilustrasi kecelakaan transportasi laut. HGW

Tragedi tenggelamnya Kapal Motor (KM) Sinar Bangun di Danau Toba Sumatera Utara (Sumut), tak hanya meninggalkan luka yang membekas bagi korban dan keluarga korban. Para praktisi hukum turut menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya peristiwa nahas tersebut. Advokat Thomas Tampubolon salah satunya. Thomas yang merupakan pengacara itu bahkan mengaku pernah beberapa kali melakukan perjalanan berlayar dengan kapal di Danau Toba.

 

Berdasarkan pengalamannya, Thomas mengaku alat-alat keselamatan penumpang memang tidak memadai, kelayakan kapal tidak diketahui karena tidak adanya pemeriksaan dari otoritas. Selanjutnya, pemantauan dari pemerintah yang sangat lemah juga membuat oknum pemilik kapal bisa mencuri kesempatan untuk meraup untung berlimpah dengan mengangkut penumpang melebihi kapasitas muatan kapal.

 

“Kalau kapalnya sudah jelas enggak aman harusnya pemberangkatannya ditolak. Di situ jelas bahwa penumpang dimasukin overload, terus itu kapal layak tidak untuk angkut motor? Sementara kan dia berangkat dari pelabuhan, walaupun pelabuhannya kecil tetap saja dikelola oleh pemerintah daerah. Seharusnya, ada pengelolaan ketat oleh pemerintah,” ujar Thomas saat dimintai keterangan oleh hukumonline, Jumat, (22/6).

 

Ditambah lagi, kata Thomas, sikap masyarakat juga permisif soal mengutamakan keselamatan. Misalnya saja, kata Thomas, masyarakat yang menganggap bahwa kalau kapal tenggelam di danau Toba berarti sudah nasib, sehingga tidak ada tekad untuk merubah dan mencegah agar kejadian serupa tak lagi terulang.

 

Bahkan, ungkap Thomas, kejadian seperti ini sebetulnya sudah beberapa kali terjadi. Pernah juga dulu, kata Thomas, ada turis penyelam yang juga ikut bantu menyelamatkan korban. Padahal kalau dipikir-pikir, sambung Thomas, danau itu kan tingkat kedalamannya tinggi sekali, untuk itu kita memang tidak bisa lengah soal aspek keselamatan itu.

 

(Baca Juga: Jerat Pidana bagi Nakhoda ‘Maut’)

 

Thomas menilai ini salah satu bentuk kelalaian dinas perhubungan setempat dalam mengawasi muatan kapal. Namun tidak hanya Dinas Perhubungan, sambung Thomas, pemerintah seharusnya juga turut menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Pasalnya, kata Thomas, ada juga daerah-daerah seperti Danau Silalahi yang tiba-tiba muncul angin puting beliung dan ombaknya bisa setinggi 2 meter.

 

“Jika ada kerja sama ini, mereka akan tahu, ini akan berhembus angin sehingga kapal-kapal bisa disarankan untuk tidak berlayar,” usul Thomas.

 

Lebih parahnya lagi, menurut pengakuan Thomas, identitas para penumpang yang naik kapal juga tidak tercatat lantaran pemungutan pembayaran (ongkos kapal) dilakukan setelah semua penumpang menaiki kapal sehingga betul-betul identitas penumpang tidak diketahui.

 

“Karena orang ambil ongkosnya itu di dalam kapal, masuk dulu semua penumpang baru ditagihin ongkosnya. Jadi memang tidak ketahuan identitasnya,” ujar Thomas.

 

Hal sama dialami juga oleh lawyer keturunan Batak lainnya, yakni David Tobing. Kepada hukumonline, Jum’at, (22/6),David yang dikenal sebagai lawyer perlindungan konsumen ini mengaku memang tidak ada pencatatan identitas yang jelas saat ia naik kapal feri di daerah Danau Toba.

 

“Kita hanya beli tiket, masalah kita namanya siapa tidak ditanya,” aku David.

 

Inilah yang menurut David harus dibenahi oleh para stakeholder. David justru menyayangkan ketika kawasan Danau Toba ditargetkan untuk menjadi destinasi pariwisata di Indonesia, namun infrastruktur dan keamanan pelayaran sangat memprihatinkan. Bahkan infrastruktur yang digembar-gemborkan adalah Bandara Silangit, sementara infrastruktur yang tak kalah penting dan dibutuhkan wisatawan untuk ke Danau Toba jelas membutuhkan kapal yang layak dengan fasilitas keamanan yang lengkap.

 

(Baca Juga: Hindari Kecelakaan, Pahami Standar Keselamatan Penyeberangan Angkutan Laut)

 

Hal lain yang tak kalah penting untuk diperhatikan pemerintah adalah soal tidak adanya pabrik kapal di kawasan sekitar Danau Toba. Menurut David, hal ini menjadi penting karena kapasitas kapal di Danau Toba itu sangat terbatas dan itu semua juga kapal rakitan. Itu menjadi lumrah mengingat letak Danau Toba yang terdapat di tengah-tengah daratan, sehingga tidak memungkinkan didatangkannya kapal besar dari pabrik daerah lain kecuali lewat jalur darat.

 

“Karena untuk bawa besi yang panjang-panjang ke danau toba juga susah, harus lewatin bukit-bukit dulu. Logikanya kan gitu, misalnya kita mau datangkan kapal dari Jerman, bagaimana caranya itu? Jadi ini juga salah satu kendala, seharusnya ada pabrik kapal di sana yang betul-betul terakreditasi,” ungkap David.

 

Upaya Hukum yang Bisa Dilakukan Korban

David menyebut ada 3 pihak yang bisa digugat dan dimintai pertanggungjawaban dalam kasus ini, yakni pihak Pengelola Pelabuhan, Dinas Perhubungan setempat dan pihak perusahaan atau pemilik kapal. Ia tidak berpikir bahwa ini murni hanya kesalahan pelaku usaha semata, melainkan ada juga unsur kesalahan dari pihak pengelola pelabuhan yang berada di bawah pengawasan dinas perhubungan kabupaten setempat.

 

“Karena tidak mungkin kapal yang tidak berizin bisa bersandar atau berangkat dari pelabuhan tersebut. Jikapun kapalnya berizin, tentunya harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan, harus dilihat juga itu kapal untuk angkut orang atau barang? Kenyataannya kan itu kapal angkut motor juga,” tukas David.

 

David menyebut 3 pihak tersebut bisa digugat korban melalui gugatan class action yang bisa dilakukan sekaligus terhadap ketiga pihak tersebut. untuk pelaku usaha bisa digugat dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum Biasa (PMH), sedangkan untuk regulator (pengelola pelabuhan dan dishub setempat) bisa digugat dengan gugatan PMH oleh penguasa.

 

Logika sederhananya, papar David, telah terjadi kelalaian pengawasan yang sangat jelas oleh penguasa dalam kasus ini. Misalnya saja jika memang kapal tidak ada izinnya atau izinnya kedaluarsa atau kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan seharusnya tidak diperbolehkan untuk diberangkatkan, dan itu harus ada sidak atau pengawasan secara berkala.

 

“Pengawasan mendadak dan berkala ini harus dilakukan, terlebih lagi saat musim libur,” ujar David.

 

Namun David sangat menyesali hingga saat ini sulit sekali kepolisian menjebloskan dan menetapkan status tersangka. Padahal, kata David, sudah pasti pemilik kapal yang salah, nakhkoda kapal juga salah. Padahal dalam UU Pelayaran juga sudah jelas ditetapkan siapa saja yang bertanggungjawab jika terjadi kecelakaan.

 

Sepakat dengan David, Thomas Tampubolon berpendapat keluarga korban bisa menuntut baik secara perorangan atau bisa juga melalui gugatan class action. Dalam hal pengajuan gugatan class action tersebut justru yang dikejar tidak semata-mata ganti kerugian, tapi diharapkan ada pembelajaran ke depan agar pemerintah dan stakeholder terkait tidak lagi abai soal keamanan ini.

 

Sekadar informasi, Thomas bersama beberapa kelompok kecil-kecilan pengacara Ale-ale golf berniat menggalang gerakan donasi pelampung. Gerakan ini perlu, kata Thomas, khususnya bagi orang Batak yang tetap menginginkan kampungnya sebagai destinasi wisata namun tetap menjunjung tinggi keselamatan pelayaran.

 

Tags:

Berita Terkait