Rayakan HUT ke-43, APHTN-HAN Ingatkan Urgensi Isu Ketatanegaraan Desa
Terbaru

Rayakan HUT ke-43, APHTN-HAN Ingatkan Urgensi Isu Ketatanegaraan Desa

Indonesia dibangun dari kumpulan komunitas adat yang memutuskan bersatu membangun negara. Eksistensi komunitas adat ini masih nyata di desa.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 3 Menit
Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono saat memberi pengantar diskusi soal hak masyarakat hukum adat dalam rangkaian acara perayaan APHTN-HAN ke-43, Kamis (2/3/2023). Foto: NEE
Sekretaris Jenderal APHTN-HAN Bayu Dwi Anggono saat memberi pengantar diskusi soal hak masyarakat hukum adat dalam rangkaian acara perayaan APHTN-HAN ke-43, Kamis (2/3/2023). Foto: NEE

Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) merayakan usia ke-43 hari ini, Jum’at (3/3/2023) dengan rangkaian diskusi soal hak masyarakat hukum adat. Topik ini tergolong tidak biasa karena isu utama hukum tata negara biasanya berkaitan dengan fenomena makro di Ibukota. Bahkan, rombongan anggota serta pengurus APHTN-HAN sengaja jauh berkunjung ke Desa Adat Osing Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

“Ramai riuh perdebatan ketatanegaraan di gemerlap ibukota tidak lantas melupakan keyakinan, aspirasi, dinamika yang tumbuh secara alamiah di komunitas-komunitas lokal dengan segala kesederhanan, kesahajaan, dan kegigihannya,” kata Bayu Dwi Anggono, Sekretaris Jenderal APHTN-HAN dalam sambutan di diskusi kemarin sore.

Baca Juga:

Diskusi ini membahas advokasi hak-hak masyarakat adat melalui pendekatan hukum tata negara. Peraturan daerah, undang-undang otonomi daerah, hingga konstitusi menjadi intrumen hukum yang menjadi bahan perdebatan ilmiah dalam diskusi itu.

Bayu menjelaskan APHTN-HAN perlu meningkatkan peran serta dalam kehidupan masyarakat. Peran serta itu harus juga meliputi dukungan pemikiran untuk solusi masalah masyarakat adat. “Kami perlu juga melihat lagi isu hukum tata negara secara mikro, tidak hanya makro di tingkat lembaga-lembaga negara,” kata Bayu kepada Hukumonline.

Hukumonline.com

Para anggota APHTN-HAN saat berfoto bersama.

Perayaan HUT ke-43 APHTN-HAN ini bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (FH UNEJ). Oleh karena itu, pemilihan objek kunjungan untuk fokus diskusi memilih Desa Adat Osing Kemiren yang sudah didampingi FH UNEJ sejak 2001. Guru Besar Hukum Adat UNEJ, Dominikus Rato tercatat telah banyak melaksanakan penelitian dan pendampingan hukum selama 22 Tahun di desa ini.

Dominikus diundang khusus sebagai narasumber pemantik diskusi di kalangan anggota APHTN-HAN. Terjadi dialog intensif antara Dominikus sebagai pakar hukum adat dengan para koleganya para pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara.

“Kita perlu mengubah paradigma pendekatan hukum terhadap masyarakat adat di dalam organisasi negara. Hal itu diperlukan agar bisa terjadi harmoni,” kata Dominikus kepada Hukumonline.

Ia mengingatkan banyak teori dan konsep hukum tata negara yang ada kurang mengakomodasi kenyataan khas masyarakat adat di Indonesia. Oleh karena itu, pakar hukum tata negara dan pakar hukum adat seharusnya sering berdiskusi saling memperkaya sudut pandang. Apalagi eksistensi Indonesia sebagai negara modern berasal dari kumpulan komunitas adat yang memutuskan bersatu membangun negara. Eksistensinya pun masih terpelihara di desa-desa.

Pendapat Dominikus ini tampak relevan dengan kenyataan bahwa Mr.Soepomo yang dikenal sebagai Bapak Konstitusi Republik Indonesia adalah pakar hukum adat. Ia orang Indonesia pertama yang menjabat Guru Besar Hukum Adat pada Rechtshooge School. Ia pula yang menjadi arsitek penting dalam perancangan UUD 1945.

Kiprah APHTN-HAN

Merujuk catatan dalam laman resmi APHTN-HAN, organisasi ini didirikan pada tahun 1980. Eksistensinya diresmikan kembali pada tanggal 3 Maret 2016 di Jakarta. Hingga saat ini sudah ada sekurangnya 29 Pengurus Daerah Provinsi dengan jumlah ribuan anggota.

Para profesor bidang HTN-HAN silih berganti memimpin APHTN-HAN dimulai dari Sri Soemantri dari Universitas Padjadjaran, Ismail Suny, Jimly Asshiddiqie, Abdul Bari Azed masing-masing dari Universitas Indonesia, Mahfud MD dari Universitas Islam Indonesia, dan kini dipimpin M. Guntur Hamzah dari Universitas Hasanuddin.

Tujuan APHTN-HAN antara lain memberikan sumbangan pemikiran untuk merespon situasi dan kondisi penyelenggaraan ketatanegaraan. “Kita berkepentingan agar ketentuan dalam konstitusi yaitu UUD 1945 dapat terimplementasikan dengan baik, salah satunya adalah hak atas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat beserta hak tradisionalnya,” kata Bayu kepara para anggota APHTN-HAN yang hadir dalam diskusi. Tentu saja akomodasi hak-hak adat sepanjang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tags:

Berita Terkait