Ratifikasi Haze “Redam” Tuntutan Negara Tetangga Terkait Kabut Asap
Berita

Ratifikasi Haze “Redam” Tuntutan Negara Tetangga Terkait Kabut Asap

Namun Indonesia tidak bisa menolak bantuan dari negara tetangga dalam menangani masalah asap.

FAT/RFQ/KAR
Bacaan 2 Menit
Kebakaran Hutan. Foto: change.org
Kebakaran Hutan. Foto: change.org

[Versi Bahasa Inggris]

Kabut asap yang merebak ke sejumlah penjuru akibat kebakaran hutan dan lahan di beberapa wilayah di Pulau Kalimantan dan Sumatera terus terjadi. Hampir sekitar satu bulan, bencana ini terus melanda sejumlah wilayah Indonesia. Tak tanggung-tanggung, bencana asap tersebut hingga sampai ke negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Kejadian ini membuat Indonesia berpotensi rentan dengan gugatan dari negara tetangga akibat bencana asap itu. Kerugian dari bencana asap ini tak hanya dari sisi kesehatan saja, seperti Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Tapi juga dari sisi ekonomi dan bisnis hingga pendidikan karena banyak sekolah diliburkan. Bahkan, sejumlah penerbangan di dalam negeri sampai di-pending akibat bencana ini.

Kerugian materiil dan imaterial ini semakin menambah potensi gugatan dari negara tetangga semakin besar. Untuk di dalam negeri sendiri, rencana gugatan tengah dipersiapkan dan dikumpulkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) hingga sekelompok advokat.

Namun, Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana menilai, potensi gugatan dari negara tetangga tersebut akibat bencana asap bisa ‘diredam’ lantaran Indonesia telah meratifikasi Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution).

Ratifikasi tersebut dilakukan pada September 2014 lalu. Kemudian, ratifikasi ini menjadi UU No. 26 Tahun 2014. Persetujuan ini mengharuskan Indonesia melakukan serangkaian aktivitas untuk mencegah dan menanggulangi pembakaran. Indonesia juga harus memperkuat basis regulasi, termasuk penegakan hukumnya.

“Dengan demikian, maka negara ASEAN yang terkena asap dari Indonesia tidak bisa menuntut,” kata Hikmahanto kepada hukumonline, beberapa waktu lalu.

Di sisi lain, lanjut Hikmahanto, Indonesia juga tak boleh menolak bantuan yang diberikan oleh negara tetangga dalam menangani masalah asap. Menurutnya, Indonesia harus membuka diri, karena masalah asap tersebut menjadi persoalan lintas batas negara yang wajib diperhatikan secara bersama-sama.

Hikmahanto tak menampik, bencana asap ini bukanlah pertama kali terjadi. Beberapa tahun sebelumnya, muncul wacana negara tetangga akan menggugat Indonesia karena asap. Hal itu dikarenakan Indonesia belum meratifikasi perjanjian penanggulangan asap tersebut.

“Pada kasus-kasus sebelumnya, ketika kita belum meratifikasi perjanjian penanggulangan asap ini sering muncul wacana negara tetangga untuk menggugat. Bisa saja mereka menempuh jalur arbitrase internasional. Tapi, hal-hal semacam itu bisa memicu ketegangan jika tidak ada penanganan dari pemerintah Indonesia,” tutur Hikmahanto.

Anggota Komisi IV DPR Firman Subagyo mengatakan, jika terdapat uluran tangan dari negara tetangga yang ingin membantu Indonesia dalam menangani bencana asap, janganlah ditolak. Hal ini penting agar persoalan ini tak berlarut-larut sehingga merugikan banyak masyarakat.

“Oleh karena itu saya terus terang bukan tidak memberikan apresiasi kepada BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), tapi BPNPB selalu mengatakan bisa mengatasi, seharusnya kalau ada uluran tangan dari negara-negara tetangga diterima saja, diajak bicara,” kata Firman.

Apalagi, lanjut Firman, jika bencana asap tersebut sampai ke negara tetangga. Menurutnya, aktivitas negara dan masyarakatnya akan terganggu akibat bencana itu. “Jangan diabaikan seperti ini. Ini bahaya sekali, mereka pasti agak terusik,” ujar politisi dari Partai Golkar ini.

Ke depan, Indonesia wajib memiliki alasan kuat dan serius dalam melakukan pemadaman dan menangani masalah asap. Hal ini penting sebagai bentuk langkah dari Indonesia dalam menghadapi potensi gugatan dari negara tetangga. Sejalan dengan itu, pemerintah bersama DPR wajib mengevaluasi regulasi, sehingga UU yang saling bertentangan satu dengan yang lain tak ada lagi.

Sejumlah UU yang terkait dengan bencana ini yang wajib direvisi DPR dan pemerintah di antaranya adalah UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan pemberantasan Perusakan Hutan serta UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Jadi paralel,” pungkasnya.

Sebelumnya, pakar hukum lingkungan internasional, Laode Muhammad Syarif mengingatkan bahwa Indonesia bisa digugat oleh negara lain ke forum internasional akibat bencana asap. Jika pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak dan terkesan membiarkan bencana asap terus berulang, potensi gugatan itu semakin besar.

Seingat Syarif, tiga presiden Indonesia yang berbeda pernah meminta maaf kepada negara tetangga akibat ‘kiriman’ asap. Pernyataan maaf itu ada admission of gulity, pengakuan bersalah pemerintah yang bisa dijadikan amunisi oleh negara lain bahwa Indonesia memang bersalah. Dengan menggunakan amunisi itu, Indonesia bisa langsung kalah. Dalam dunia internasional, ada preseden kasus ini, seperti Trail Smelter Arbitration Case antara Amerika Serikat dan Kanada.

Tags:

Berita Terkait