Ratifikasi Bukan Jawaban Tangani Asap
Utama

Ratifikasi Bukan Jawaban Tangani Asap

Bukan pula cara jitu mengerem kebakaran hutan.

LEO WISNU SUSAPTO/LITA P SIREGAR
Bacaan 2 Menit
Foto: change.org
Foto: change.org

Pemerintah Indonesia mencanangkan ratifikasi perjanjian antipolusi kabut asap lintas batas ASEAN (Agreement on Trans-boundary Haze Pollution) pada akhir tahun 2013 atau awal 2014. Sekalipun pemerintah Indonesia menilai ratifikasi hanya langkah kecil menangani kebakaran hutan di Indonesia.

“Kita tidak harapkan ratifikasi untuk mengerem kebakaran hutan,” kata Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya disela-sela halal bi halal dengan karyawan kementerian di Jakarta, Rabu (14/8).

Menteri LH menguraikan ratifikasi memuat kesepakatan antar negara ASEAN dalam menangani asap akibat kebakaran hutan yang menyebar ke beberapa negara kawasan. Memuat pula kerjasama menghadapi kebakaran hutan.

“Memuat pula pembentukan satgas nasional mengantisipasi kebakaran hutan,” tukas Balthasar.

Sedangkan untuk mengerem kebakaran huta, Balthasar menyatakan sepenuhnya tergantung Indonesia. Karena itu harus diperkuat koordinasi penanggulangan kebakaran hutan dibawah Menteri Koordinator Kesejahteraan rakyat. Yaitu membuat langkah bersama dalam rangka pencegahan dan membuat antisipasi terkait kebakaran hutan.

Pada pertemuan tingkat tinggi Menteri Luar Negeri se-Asia Tenggara, di Jakarta, 7 Juli 2013, Sekretaris Jenderal ASEAN Le Luong Minh mendesak negara-negara anggota ASEAN yang belum meratifikasi Trans-boundary Haze Pollution untuk segera mengesahkannya. Ratifikasi menurutnya akan mempermudah penanganan kebakaran hutan yang kerap dialami beberapa negara anggota.

Le menambahkan, penting pula meningkatkan kapasitas tiap negara menghadapi kebakaran hutan. Khususnya tenaga pemadam kebakaran yang mereka miliki. Indonesia adalah negara yang menunda ratifikasi kesepakatan tersebut.

Menurut Direktur Eksekutif WALHI, Abetnego Tarigan, poin dari ratifikasi karena negara-negara tetangga Indonesia frustasi dengan kebakaran hutan dan lahan. Apalagi ternyata kebakaran itu menyebabkan asap yang berdampak bagi negara-negara tetangga.

Menurut Abetnego, jika ada perubahan signifikan pemerintah dalam mengelola kawasan hutan dan perkebunan, ratifikasi menjadi tidak penting. Terutama menguatkan penegakan hukum serta menemukan terobosan-terobosan hukum agar pengelolaan makin kuat.

Terobosan hukum yang dimaksud, lanjutnya, bagaimana mengejar tanggung jawab pemilik-pemilik konsesi. Serta membangun sistem monitoring, agar pengelolaan makin rapih.

Menurut Abetnego, dengan mengesahkan ratifikasi, apabila terjadi bencana asap, negara-negara tetangga yang terkena dampak, ikut dalam aksi pemadaman. Peluang itu, lanjutnya, yang dinilai mengganggu kedaulatan.

Pendapat Direktur Eksekutif WALHI ditanggapi Deputi Menteri LH Bidang Pengedalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Arief Yuwono. Dia sampaikan, muatan ratifikasi adalah mengangkat solidaritas ASEAN.

Tapi, Indonesia harus meningkatkan kapasitas nasional. Tanpa ratifikasi, lanjutnya, prinsip meningkatkan kapasitas nasional sudah dilakukan pemerintah Indonesia. Menurut Arief, jika negara tetangga dirugikan karena asap, Indonesia lebih dirugikan, dari sisi ekologi, ekonomi, dan sebagainya. Sehingga pemerintah Indonesia mengutamakan untuk meningkatkan kapasitas nasional termasuk di daerah juga masyarakat.

Dia sampaikan pula, ratifikasi akan dilakukan pemerintah Indonesia karena semua ini dalam rangka bagaimana menyeimbangkan peran negara di kawasan Asia Tenggara. Sekaligus untuk menjaga bagaimana hidup bertetangga dalam ikatan kerjasama ASEAN. “Karena kerjasama ini juga meliputi solidaritas mulai dari sosial dan budaya.”

Tags:

Berita Terkait