Rambu-rambu yang Harus Diperhatikan Korporasi dalam Perpres Beneficial Ownership
Utama

Rambu-rambu yang Harus Diperhatikan Korporasi dalam Perpres Beneficial Ownership

Mulai dari ragam upaya mengenali ultimate BO, kewajiban korporasi melakukan identifikasi dan verifikasi, sistem pengumpulan informasi, verifikasi lanjutan oleh otoritas negara, fungsi centre of registry dalam pengawasan, wewenang otoritas hingga pengenaan sanksi.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Roy M. Adhityaputra (Kiri) selaku Partner dari Schinder Law Firm, Amrie Hakim (Tengah) selaku Direktur Hukumonline.com sebagai moderator diskusi, dan Heni Nugraheni (Kanan) selaku Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, OJK RI, dalam Talks! Hukumonline.com 2018. Foto: HMQ
Roy M. Adhityaputra (Kiri) selaku Partner dari Schinder Law Firm, Amrie Hakim (Tengah) selaku Direktur Hukumonline.com sebagai moderator diskusi, dan Heni Nugraheni (Kanan) selaku Kepala Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, OJK RI, dalam Talks! Hukumonline.com 2018. Foto: HMQ

Maraknya penyelundupan aset hingga tataran transaksi global melalui skema beneficial ownership (BO), seringkali berbuntut money laundring hingga pendanaan aktifitas terorisme terselubung yang meresahkan dunia internasional. Bahkan kepala divisi penanganan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme OJK RI, Heni Nugraheni, menyebut negara-negara dunia saat ini sedang berupaya membentuk rezim transparansiBO.

 

Hal ini terbukti melalui 3 instrumen standar internasional mengenai transparansi BO seperti The International Standard of Exchange and Information on Request for Tax Purposes (EOIR), United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan Financial Action Tax Force on Money Laundring (FATF) yang telah diratifikasi dan diadopsi oleh banyak negara.

 

Corporate vehicle seringkali digunakan sebagai cara untuk menyamarkan dan mengkonversi hasil kejahatan sebelum memasukkannya dalam sistem keuangan yang sah. Untuk itu di banyak negara sudah tersedia informasi yang terpublikasi mengenai BO ini, Indonesia yang memang agak terlambat,” ujar Heni dalam talks hukumonline bertajuk Beneficial Ownership Disclosure dalam Bisnis dan Pencegahan Tindak Pidana Pasca Diterbitkannya Perpres No. 13 Tahun 2018, Pada Rabu, (6/5).

 

Pasca berlakunya Perpres ini, kata Heni, setiap perusahaan wajib melaporkan BO nya, minimal 1 orang. Untuk new entry (perusahaan yang baru akan mendaftarkan pendiriannya), sambung Heni, wajib sudah mencantumkan siapa saja BO-nya saat akan mendaftarkan usaha. Sedangkan untuk perusahaan yang sudah berdiri, sudah berizin dan sedang menjalankan usahanya diberikan tenggat waktu hingga maksimal 1 tahun pasca Perpres ini diundangkan untuk melakukan pelaporan BO.

 

Tak tanggung-tanggung, setiap user pada masing-masing otoritas pemerintahan seperti Kemenkumham, OJK, PPATK, KPK, (BKPM yang sedang tahap dirangkul), kata Heni, akan mengeluarkan sanksi administrasi terhadap para pembangkang aturan terkait kewijiban pelaporan BO ini.

 

“Nanti kementerian dan instansi akan punya sanksi masing-masing yang berbeda, karena kalau untuk sanksi pidana harus diletakkan dalam tataran UU, jadi nanti paling sanksinya administratif, seperti pembekuan atau pencabutan izin badan usaha dan sebagainya,” papar Heni.

 

(Baca Juga: Perpres Beneficial Ownership Demi Jaga Integritas Korporasi)

 

Partner Schinder Law Firm, Roy M. Adhitya Putra turut menjelaskan bahwa tidak semua BO korporasi wajib didaftarkan berdasarkan Perpres 13/2018, melainkan hanya BO yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan pada pasal 4 Perpres a quo. Adapun kriteria BO yang dimaksud dirangkum Roy dalam bagan berikut:

 

Hukumonline.com

Sumber: Presentasi Roy M. Adhitya Putra

 

Menurut Roy, pemilik manfaat dalam pasal 4 ini hanya kembali pada orang perorangan dan berdasarkan huruf a, b,c dan d mengarah pada pemegang saham lebih dari 25%. Hanya saja, jelas Roy, belum jelas apakah perseroan terbatas juga termasuk sebagai pemegang saham yang dimaksud dalam hal ini, karena tidak menutup kemungkinan misalnya pemegang saham PT mungkin merupakan SPV (Special Purpose Vehicle) yang didirikan diluar negeri.

 

Selanjutnya, sambung Roy, orang perorangan  yang dimaksud pasal 4 ayat (2) ini juga susah dibuktikan. Sehingga akan menjadi pertanyaan besar nantinya, kata Roy, terkait dasarnya sebagai apa kalau dia bukan pemegang saham, bukan direksi atau komisaris?.

 

Menariknya, hasil dari identifikasi maupun verifikasi BO yang dilakukan oleh perusahaan harus dilaporkan ke Sisminbakum yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri (self assesment).

 

Bahkan terang Heni, saat ini di Sisminbakum sudah ada kolom isian untuk informasi BO, berbeda dengan sebelumnya yang hanya ada kolom isian untuk legal person/pemegang saham, direksi dan komisaris. Dan setiap PT wajib ada Bo-nya tidak boleh dikosongkan karena bisa jadi BO nya juga ownershipnya sendiri. Jadi masing-masing korporasi, kata Heni, harus punya mekanisme tersendiri untuk mencari tahu siapa BO nya.

 

(Baca Juga: PPATK Jamin Perpres Beneficial Ownership Tak Ganggu Iklim Kemudahan Berusaha)

 

Heni-pun tak menyangkal memang pengisian data di Sisminbakum selama ini dilakukan oleh korporasi melalui perwakilan dari notaris sebagai gate keeper, sehingga akan memakan biaya jika perusahaan yang ingin melakukan pengkinian data BO harus terus menggunakan jasa notaris. Dalam hal ini, Heni menyebut pihaknya akan berusaha agar dapat dilakukan langsung oleh perusahaan demi kemudahan pengkinian data BO.

 

“Sedang dibahas apakah nanti akan dibuka updating tanpa harus lewat notaris, supaya ga bayar-bayar lagi tiap updating data. Yang jelas, subjek norma hukum di Perpres ini adalah korporasi walaupun nanti akan dikuasakan ke mana-mananya,” terang Heni.

 

Mengingat perubahan BO itu bukan merupakan corporate action melainkan BO action itu sendiri, sambung Heni, sehingga nanti setiap perusahaan yang akan melakukan corporate action harus ditahan terlebih dahulu, lakukan updating BO terlebih dahulu. Jika pelaporan BO tidak dipatuhi atau ketahuan melanggar akan disanksi, kalau bank bisa kita bantu kenakan sanksi juga dari OJK, papar heni.

 

Ditambahkan Roy, untuk para pihak yang dapat menyampaikan informasi pemilik manfaat dari korporasi diatur dalam pasal 18 ayat (3) Perpres No. 13 Tahun 2018, yakni sebagai berikut:

 

  1. Pendiri atau pengurus korporasi;
  2. Notaris, atau;
  3. Pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus korporasi untuk menyampaikan informasi terkait pemilik manfaat dari korporasi.

 

Identifikasi dan Verifikasi BO

Tidak cukup jika BO yang diidentifikasi terhenti hanya sampai pada legal ownership PT saja, jelas Heni, melainkan harus dicari sampai ke ‘orang’ (natural person), juga tidak cukup hanya sampai informasi tentang BO biasa, tapi juga menjangkau ultimate BO. Dan menjadi tugas in-house atau orang-orang hukum korporasi untuk menggali seluruh resources yang ada. Adapun untuk segi penguatan pengawasan, kata Heni, nanti juga akan ada verifikasi tahap kedua di central registry (pusat pendaftaran badan usaha/hukum).

 

“Central registry ini untuk perusahaan yakni akan diverifikasi lewat Kemenkumham, untuk ormas di Kementrian Dalam Negeri dan bahkan BKPM sebagai pintu utama masuknya modal asing sedang berusaha kami rangkul juga untuk ikut bekerjasama terkait verifikasi BO ini,” ungkap Heni.

 

Dalam praktik penjaringan BO selama ini, terang Heni, pendeteksiannya dilakukan melalui key person maupun komputer perusahaan. Bahkan sering ditemukan banyak PT fiktif, direksi dan komisarisnya dipegang oleh orang yang sama dan pemilik tercatatnya justru pegawai perusahaan. Puluhan PT ini lolos karena peran oknum notaris yang seharusnya sebagai gate keeper, justru malah membantu kejahatan.

 

“Sehingga pasca verifikasi self assessment oleh pihak perusahaan, kita juga akan melakukan verifikasi terkait keakuratan data yang telah dilaporkan. Karena pada titik tertentu memang kita ga bisa percaya dengan gate keeper, ada masanya dimana kita harus mencari BO yang sebenarnya,” ungkap Heni.

 

Berbeda dengan negara yang sudah punya sistem bagus, jelas Heni, kewajiban untuk melaporkan BO itu ada pada diri BO itu sendiri, bukan korporasi. Bahkan ada yang mewajibkan pelaporan BO menggunakan statement atau surat pernyataan yang bilamana dilanggar akan dikenakan pidana terhadap yang bersangkutan. Sedangkan  Indonesia untuk tahap awal ini, kata Heni, kewajiban itu memang dilekatkan pada korporasi.

 

Sumber Informasi BO

Roy melalui pengalaman yang digelutinya mengakui tidak mudah untuk bisa membuktikan seseorang bukan pemegang saham yang sebenarnya. Ini karenakan berbagai kemungkinan bahwa pemegang saham akan membentuk Shareholders Agreement (perjanjian pemegang saham) yang jelas-jelas tidak bisa di disclose (dibuka). Akan tetapi, lanjut Roy, Pasal 11 Perpres No. 13/2018 ini sudah menjabarkan setidaknya ada beberapa sumber informasi yang bisa digunakan korporasi untuk menetapkan siapa pemilik manfaat (BO) pada korporasi tersebut.

 

Berikut rangkuman Roy soal pertimbangan yang dapat digunakan korporasi untuk menetapkan BO:

 

Hukumonline.com

Sumber: Presentasi Roy M. Adhitya Putra

 

Pada tahap awal pengawasan terhadap informasi menurut pasal 11 ini, tambah Heni, bentuk pengawasan yang nantinya akan dilakukan otoritas adalah dalam bentuk dialog. Nanti pihak perusahaan akan ditanya terkait mekanisme apa yang mereka gunakan dalam mengidentifikasi BO, siapa BO yang sesungguhnya dan akan dilacak pula apakah ada kesengajaan pihak perusahaan untuk mengaburkan ultimate BO.

 

Tags:

Berita Terkait