Rambu-Rambu Hukum yang Harus Ditaati Pelaku Usaha dalam Menjalankan Bisnis
Terbaru

Rambu-Rambu Hukum yang Harus Ditaati Pelaku Usaha dalam Menjalankan Bisnis

Ada sejumlah ketentuan yang wajib diperhatikan pelaku usaha dalam menjalankan bisnisnya agar tetap sesuai koridor hukum.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 8 Menit
Ilustrasi Timbangan Hukum. Foto: Istimewa.
Ilustrasi Timbangan Hukum. Foto: Istimewa.

Menjalankan bisnis tak selamanya mudah. Tak jarang, pelaku usaha mengalami kerugian, kalah saing dengan pelaku usaha lain yang memiliki modal lebih besar, tertipu rekan bisnis, bahkan gulung tikar. Tak hanya itu saja, dalam praktiknya, terdapat pelaku usaha nakal yang berusaha menguasai pasar dan meraup keuntungan dengan melanggar hukum, yang tak jarang merugikan pelaku usaha kecil.

Untuk memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha, baik pelaku usaha besar, menengah, dan kecil, dan menciptakan persaingan usaha yang sehat, sejak tahun 1999, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentangLarangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat(“UU 5/1999”) yang di antaranya mengatur rambu-rambu hukum yang wajib diikuti pelaku usaha beserta sanksi hukum jika terbukti melanggar, mulai dari sanksi administratif hingga pidana.

Dalam perjalanannya, dengan semakin berkembangnya iklim usaha di Indonesia dari tahun ke tahun, terlebih dengan semakin melesatnya angka pertumbuhan pelaku usaha di sektor ekonomi digital, kebutuhan atas revisi UU 5/1999 semakin mendesak. Hingga akhirnya, ketentuan sanksi tersebut kemudian UU 5/1999 diubah melalui UU Cipta Kerjadan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya.

Tim Publikasi Hukumonline telah merangkum rambu-rambu hukum yang harus ditaati tersebut sebagai berikut:

Tidak Membuat Perjanjian Terlarang

Hal pertama yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha ialah membuat perjanjian terlarang yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Perjanjian yang dilarang tersebut terdiri dari perjanjian oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, serta perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli sebagaimana diatur dalam Pasal 4-16 UU 5/1999.


Jika dikaitkan dengan syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab

Hukumonline.com

Tabel 1. : Bentuk perjanjian terlarang dalam menjalankan usaha

Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian harus memenuhi syarat ‘suatu kausa/sebab yang halal’, yang berarti tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Perjanjian sebagaimana disebutkan di atas melanggar peraturan perundang-undangan, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum.

Tidak Melakukan Kegiatan Terlarang

Selain membuat perjanjian terlarang, pelaku usaha juga dilarang melakukan kegiatan terlarang, yakni kegiatan yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan terlarang menurut Pasal 17-24 UU 5/1999 yakni monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan persekongkolan.

Hukumonline.com
Tabel 2. : Bentuk kegiatan terlarang dalam menjalankan usaha

Tidak Menyalahgunakan Posisi Dominan

Selain itu, pelaku usaha juga dilarang menggunakan posisi dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan mencegah/menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, membatasi pasar dan pengembangan teknologi, dan/atau menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, sebagaimana diatur Pasal 25 ayat (1) UU 5/1999.

Sebagai indikator, pelaku usaha patut diduga memiliki posisi dominan jika 1 pelaku usaha/kelompok pelaku usaha menguasai 50%/lebih pangsa pasar atau jika 75% pangsa pasar/lebih dikuasai 2 atau 3 pelaku usaha/kelompok pelaku usaha.

Perbuatan yang termasuk ke dalam penyalahgunaan posisi dominan yaitu menduduki jabatan rangkap, memiliki saham mayoritas, melakukan penggabungan (merger), peleburan (konsolidasi), dan pengambilalihan (akuisisi) badan usaha, serta mengambil alih saham perusahaan lain yang mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.

Wajib Notifikasi Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi

Hal lain yang tak kalah penting diperhatikan pelaku usaha ialah kewajiban memberitahukan merger, konsolidasi, atau akuisisi saham yang mengakibatkan nilai aset dan/atau penjualan melebihi jumlah tertentu kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maksimal 30 hari sejak tanggal berlaku efektif secara yuridis. Hal ini penting sekali diperhatikan, sebab jika terlambat, denda Rp1 miliar/hari keterlambatan hingga maksimal Rp25 miliar menjadi taruhannya.

Pasal 5 PP57/2010menjabarkan, jumlah tertentu yang dimaksud yakni nilai aset Rp2,5 triliun atau nilai penjualan Rp5 triliun yang dihitung berdasarkan penjumlahan nilai aset dan/atau nilai penjualan dari badan usaha hasil merger, konsolidasi, atau akuisisi yang mengambilalih saham perusahaan lain dan badan usaha yang diambil alih, serta badan usaha yang secara langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau dikendalikan oleh badan usaha yang mengambilalih dan diambilalih tersebut.

Khusus pelaku usaha perbankan, kewajiban tersebut berlaku jika nilai aset melebihi Rp20 triliun.

Sanksi

Pelaku usaha yang terbukti melakukan perbuatan di atas dapat dikenakan tindakan administratif sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 angka 3 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 47 ayat (2) UU 5/1999 beserta penjelasannya, diantaranya berupa perintah pembatalan perjanjian, perintah menghentikan kegiatan, ganti rugi, hingga denda.

Hukumonline.com

Tabel 3. : Sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar UU 5/1999


Sebelum menjatuhkan sanksi, KPPU perlu memperhatikan kriteria sanksi serta besaran denda sebagaimana diatur dalam PP 44/2021, yakni sesuai dengan tingkat/dampak pelanggaran yang dilakukan, dengan memperhatikan kelangsungan kegiatan usaha si pelaku usaha, serta dengan dasar pertimbangan dan alasan yang jelas. Khusus denda, besarannya didasarkan pada dampak negatif yang ditimbulkan, durasi waktu terjadinya pelanggaran, kemampuan pelaku usaha untuk membayar, serta faktor yang meringankan dan memberatkan

Hukumonline.com

Tabel 4. : Faktor yang memberatkan dan meringankan pengenaan denda oleh KPPU

Tantangan Pembuktian Pelanggaran dan Kepastian Berusaha

Dari beragam larangan dan kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam UU 5/1999, secara garis besar terdapat 3 bentuk pelanggaran persaingan usaha yang kerap dijumpai sepanjang 3 tahun terakhir, yakni persekongkolan tender, keterlambatan notifikasi, dan kartel. Dari ketiganya, persekongkolan tender menjadi pelanggaran persaingan usaha yang paling banyak dilaporkan, begitulah yang disampaikan KPPU dalam LaporanTahunan2020, 2019, dan 2018. KPPU mencatat, 71% (38 laporan) dari seluruh laporan yang diterima KPPU pada tahun 2018 merupakan laporan tender. Persentase tersebut berkurang menjadi 62% pada tahun 2019 (83 laporan) dan 2020 (92 laporan).

Hukumonline.com

Tabel 5. : Persentase  laporan pelanggaran persaingan usaha pada 2018-2020

Meskipun banyak dilaporkan, tapi tidak banyak perkara persekongkolan tender berlanjut ke tahap litigasi hingga diputus oleh KPPU. Misalnya, pada tahun 2020, dari 11 perkara persekongkolan tender teregister, hanya 5 perkara yang berhasil diputus. Jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan perkara keterlambatan notifikasi merger dan akuisisi, yakni sebanyak 9 perkara dari total 11 perkara keterlambatan notifikasi yang diperiksa di tahun 2020. Di sisi lain, dari tahun ke tahun, perkara keterlambatan notifikasi mengalami kenaikan kuantitas.

Hukumonline.com

Tabel 6. : 3 perkara pelanggaran persaingan usaha yang paling banyak diputus pada 2018-2020

Menanggapi fenomena tersebut, Farid Fauzi Nasution, partner di Assegaf, Hamzah, and Partners (AHP) Law Firm menerangkan bahwa pemeriksaan perkara persekongkolan tender lebih berat di sisi penemuan fakta (fact finding) dibandingkan analisis. Dalam praktik, menemukan fakta-fakta yang membuktikan telah dilakukan persekongkolan tender merupakan suatu tantangan tersendiri. “Jika faktanya tidak ketemu, bagaimana cara menyimpulkan adanya persekongkolan tender?”.

Hal tersebut berbeda dengan penanganan perkara perjanjian kartel serta penyalahgunaan posisi dominan yang lebih berat dalam analisis dibandingkan fact finding. Sebab, meskipun conduct (perbuatan) terpenuhi, harus dikaji lebih mendalam apakah perbuatan tersebut menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat atau tidak.

Selain itu, Farid memandang kebijakan wajib notifikasi yang saat ini diatur dalam UU 5/1999 belum sesuai dengan best practice di luar negeri. “Berbeda dengan best practice yang ada (yang menerapkan kebijakan pre-closing), Indonesia menerapkan kebijakan post-closing (pelaku usaha wajib notifikasi setelah transaksi dilaksanakan), sehingga tidak memberi kepastian bagi pelaku usaha yang hendak melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi. Akan lebih memberi kepastian jika rencana transaksi tersebut di-review dulu, sehingga transaksi bisa dilakukan dengan tenang. Karena jika dibatalkan, bisa merugikan (pelaku usaha)”.

Terhadap kebijakan tersebut, sebenarnya jika ditilik dari Pasal 10 ayat (1) PP 57/2010, pembuat peraturan perundang-undangan telah memberikan kesempatan terhadap pelaku usaha untuk melakukan konsultasi terlebih dahulu sebelum melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi badan usaha.

Pelaku usaha yang akan melakukan penggabungan badan usaha, peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham perusahaan lain yang berakibat nilai aset dan/atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) dapat melakukan konsultasi secara lisan atau tertulis kepada Komisi”, begitulah bunyi Pasal 10 ayat (1) PP 57/2010.

Meskipun telah disediakan sarana konsultasi, tercatat hanya ada 5 pemberitahuan yang dicatatkan sebagai konsultasi, atau jika dipersentasekan, hanya sebesar 3% dari total notifikasi yang diterima KPPU.

Dua Dekade UU 5/1999, Masihkah Relevan?

Tercatat, sejak pertama kali diundangkan, ketentuan dalam UU 5/1999 baru pertama kali mengalami perubahan pada saat UU Cipta Kerja diundangkan. Sebelumnya, sudah banyak pihak yang mengadvokasikan perubahan UU 5/1999 ini, bahkan RUU Perubahan UU 5/1999 pernah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010-2015 dan 2015-2020.

Upaya perubahan UU 5/1999 bukan tanpa alasan. Dikutip dari Ini Beberapa Usulan Perubahan UU Anti Praktik Monopoli, perubahan UU 5/1999 disebabkan banyaknya masalah yang timbul di dalam praktik, di antaranya mengenai definisi pelaku usaha, notifikasi merger, dan pemberian sanksi yang tumpang tindih. Selain itu, banyak transaksi di luar Indonesia yang berdampak besar pada Indonesia, sehingga di dalam definisi pelaku usaha harus dimasukkan asas ekstrateritorial.

Senada dengan hal tersebut, Farid yang sebelumnya pernah berkarir di KPPU kemudian menambahkan, perubahan UU 5/1999 diharapkan berfokus pada perubahan teknis, tata bahasa, serta konsep anti persaingan usaha agar ketentuan dalam UU 5/1999 bisa benar-benar sesuai dengan teori hukum dan ekonomi yang ada. “Padahal, jika ditelisik dari sisi keilmuan, sebenarnya konsep anti persaingan usaha diambil dari norma ekonomi yang kemudian dituangkan ke dalam norma hukum. Tapi, kenyataannya, UU anti-persaingan usaha di Indonesia (UU 5/1999) belum sesuai secara teori dan konsepsinya lebih sulit.”

Farid mencontohkan, misalnya penggunaan istilah monopoli, monopsoni, oligopoli, dan oligopsoni untuk menyebut perbuatan yang dilarang dalam UU 5/1999 tidak tepat karena istilah tersebut merujuk pada struktur pasar. Seharusnya, yang diatur UU adalah perbuatan pelaku usaha di struktur pasar tersebut yang dianggap melanggar hukum. Selain itu, ada pula istilah dalam UU 5/1999 yang definisinya sudah benar, tapi secara teknis tidak bisa dijalankan, serta konsep post-closing yang digunakan dalam notifikasi merger, akuisisi, dan/atau konsolidasi yang dianggap belum sesuai best practice.

Sayangnya, meskipun UU 5/1999 pada akhirnya berhasil direvisi melalui UU Cipta Kerja, namun poin-poin perubahan yang diatur dirasa belum mengakomodir kebutuhan hukum pelaku usaha. Secara garis besar, UU Cipta Kerja hanya merubah penyelesaian keberatan terhadap putusan KPPU serta sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar, tetapi sama sekali tidak menyentuh konsepsi larangan persaingan usaha yang dianggap belum sesuai, baik secara teori keilmuan maupun teknis pelaksanaan.

Hukumonline.com

Tabel 7. : Ketentuan dalam UU 5/1999 yang diubah oleh UU Cipta Kerja

Upaya pemerintah yang menyediakan seperangkat aturan yang memudahkan masyarakat, khususnya pelaku usaha mikro dan kecil untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya melalui UU Cipta Kerja memang patut diacungi jempol. Tentunya, akan jauh lebih baik jika pemerintah juga mengakomodasi peraturan perundang-undangan yang mudah dipahami, sesuai dengan teori keilmuan yang ada serta best practice yang berlaku, ramah bagi pelaku usaha, dan tetap relevan dengan perkembangan iklim usaha yang ada saat ini. Sebab, lapangan kerja tak hanya cukup diciptakan, tapi juga perlu perangkat hukum yang baik agar lapangan kerja yang diciptakan dapat terus berkembang dan berkelanjutan.

Catatan:

Tim Publikasi Hukumonline telah melakukan wawancara dengan Farid Fauzi Nasution, praktisi hukum persaingan usaha sekaligus partner di Assegaf, Hamzah, and Partners (AHP) Law Firm, via telepon pada Senin, 26 Juli 2021 pukul 13.00 WIB.

Tags: