Ramai-ramai Menyayangkan Respons KPK atas LAHP Ombudsman
Terbaru

Ramai-ramai Menyayangkan Respons KPK atas LAHP Ombudsman

Poin-poin keberatan KPK atas LAHP Ombudsman dinilai tidak berdasar.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
KPK mengadakan jumpa pers tmenanggapi LAHP Ombudsman RI terkait peralihan pegawai KPK menjadi ASN, Kamis (6/8). Foto: RES
KPK mengadakan jumpa pers tmenanggapi LAHP Ombudsman RI terkait peralihan pegawai KPK menjadi ASN, Kamis (6/8). Foto: RES

Masalah peralihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) terus bergulir. KPK menyatakan keberatan kepada Ombudsman atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang menemukan berbagai dugaan penyimpangan atau maladministrasi dalam proses tersebut. Setidaknya, terdapat 13 poin keberatan KPK atas laporan ORI tersebut.

Menanggapi kondisi ini, Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Non-aktif, Rasamala Aritonang, menyayangkan respons KPK yang justru menyampaikan tuduhan subjektif terhadap Ombudsman. Menurutnya, KPK seharusnya mengklarifikasi secara substansi temuan-temuan Ombudsman tersebut.

“Alih-alih menghasilkan temuan Ombudsman, kok saya lihat pimpinan KPK malah menyampaikan tuduhan subjektif, tidak menyentuh substansi seperti terjadinya maladministrasi seperti yang Ombudsman laporkan,” jelas Rasamala.

Rasamala menyampaikan poin-poin keberatan KPK atas LAHP Ombudsman juga tidak berdasar. Selain itu, dia juga menjelaskan penafsiran KPK yang menyatakan kedudukan hukum atau legal standing pelapor atau pegawai KPK yang dianggap bukan penerima layanan publik tidak tepat. (Baca: 13 Poin Keberatan KPK atas LAHP Ombudsman Soal Peralihan Pegawai KPK Menjadi ASN)

Menurutnya, permasalahan peralihan status pegawai KPK ini merupakan ruang lingkup Ombudsman sebagai lembaga pengawas layanan publik sesuai Undang-Undang No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. “Semua WNI bisa komplain untuk layanan publik,” jelas Rasamala.

Dia meminta KPK meneruskan laporan ORI dengan memastikan terbitnya rekomendasi. Namun, apabila KPK tidak mematuhi laporan ORI tersebut maka Ombudsman menyampaikan kepada Presiden dan DPR atas laporan tersebut. Meski demikian, dia mengatakan tindakan konkret Presiden dan DPR tidak perlu menunggu proses Ombudsman.

Menurut Rasamala, berbagai permasalahan yang terjadi saat ini merupakan gambaran sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia. “Ini harus dibaca dalam rangkaian-rangkaian peristiwa sebelumnya sebagai bingkai betapa beratnya pemberantasan korupsi,” jelasnya.

Sementara itu, Anggota ORI 2016-2021, Alamsyah Saragih menyampaikan transparansi peralihan status pegawai KPK harus dilakukan. Dia menjelaskan peserta berhak menerima informasi hasil penilaian TWK tersebut.

Sehubungan dengan kewenangan Ombudsman menerima laporan pegawai KPK, Alamsyah mengatakan ORI merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan mengawal penyelenggaraan publik, bahkan badan usaha milik negara hingga swasta yang diberi tugas pelayanan publik bersumber Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara (APBN) dan Daerah (APBD). Selain itu, tidak lanjut laporan pegawai KPK tersebut juga masih ruang lingkup Ombudsman sesuai UU 25/2009.

Dugaan pelanggaran administrasi dalam temuan ORI tersebut, Alamsyah menyatakan permasalahan ini merupakan tanda buruknya administrasi KPK sebagai penyelenggara negara. Alamsnya mencontohkan temuan ORI atas penandangan berita acara oleh pihak yang tidak hadir serta tanda tangan mundur atau back date.

“Jangan seperti ini, (orangnya) tidak hadir kok disuruh tandatangan berita acara. Back date itu bermasalah dari administrasi,” jelas Alamsyah.

Sementara itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengambil tindakan atas laporan Ombudsman. Menurutnya, apabila memang harus terjadi pemberhentian terhadap petinggi KPK maka opsi tersebut perlu dilakukan. Menurutnya, bentuk pengelolaan KPK yang buruk akan berdampak terhadap kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga anti-rasuah tersebut.

“Kami memang meminta kepada Presiden dalam rangka penguatan pemberantasan korupsi lakukan langkah yang perlu dilakukan walaupun berakhir pada pemecatan pimpinan KPK itu memang harga yang harus dibayar atas keserampangan dalam kelola lembaga KPK,” jelas Lalola.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI), Jentera, Giri Ahmad Taufik menyampaikan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dapat melakukan tindakan perbaikan atas temuan Ombudsman. Selain itu, dia juga menilai Presiden Jokowi harus merespons temuan ORI tersebut. “Jadi Presiden diharapkan tidak hanya diam karena ada beberapa hal yang perlu disampaikan,” jelas Giri.

Dia juga pesimistis terhadap respons KPK menindaklanjuti laporan Ombudsman. Menurutnya, Presiden harus menugaskan satuan tugas khusus di luar kementerian terlapor untuk memonitor laporan Ombudsman. Kemudian, Presiden juga diminta mengambil alih melalui penerbitan aturan sehubungan peralihan status pegawai KPK. Kemudian, Presiden juga diminta untuk membatalkan Peraturan KPK 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN.

Tags:

Berita Terkait