Ramai-Ramai Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja
Berita

Ramai-Ramai Menolak Pengesahan RUU Cipta Kerja

Pengesahan RUU Cipta Kerja bakal bernasib sama seperti revisi UU KPK dan UU Minerba yang isinya jauh dari harapan publik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES
Gedung DPR, tempat pembahasan RUU antara pemerintah dan DPR. Foto: RES

Sejak awal pembentukan RUU Cipta Kerja melalui metode omnibus law memunculkan resisten di masyarakat. Tak hanya metodenya, tapi sejumlah materi muatan membuat menimbulkan kontroversi. Ada sekitar 79 UU terdampak akibat metode omnibus law dalam penyusunan RUU Cipta Kerja ini bakal disahkan menjadi UU melalui rapat paripurna, Senin (5/10/2020).

Anggota Komisi V DPR Irwan Fecho menilai pemerintah dan Panja sangat memaksakan untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam rapat paripurna. Sebab, hanya dalam hitungan beberapa bulan, daftar inventarisasi masalah (DIM) berjumlah ribuan itu rampung dibahas. Semestinya pembahasan berbagai materi muatan RUU Cipta Kerja membutuhkan waktu panjang dan dibahas secara cermat dan hati-hati.

Meski diakui pemerintah beralibi RUU Cipta Kerja memberi kemudahan dalam perizinan dan penciptaan lapangan pekerjaan, namun dalam perjalanannya cenderung banyak membahas di luar kemudahan perizinan. “Sikap pemerintah dan DPR memaksakan pembahasan RUU Cipta Kerja telah mengabaikan akal sehat,” ujar Irwan Fecho dalam keterangannya, Senin (5/10/2020). (Baca Juga: Bila RUU Cipta Disahkan Potensial Timbul Masalah Baru Sektor Perizinan)

Politisi Partai Demokrat ini mengkritik cara pandang pemerintah ini. Alih-alih mendorong investasi dan menggerakan perekonomian nasional, malah potensi mengorbankan hak masyarakat dan meminggirkan hak-hak pekerja. Fraksi Demokrasi memandang banyak pasal dalam RUU Cipta Kerja membutuhkan pembahasan mendalam dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sebagai pemangku kepentingan.  

“Ini penting agar produk hukum yang dihasilkan RUU Cipta Kerja ini tidak berat sebelah, berkeadilan sosial, serta mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang sebenarnya,” kata dia.

Irwan menilai substansi RUU Cipta Kerja tak hanya klaster ketenagakerjaan yang bermasalah, tapi potensi melegalkan perampasan lahan rakyat demi proyek prioritas pemerintah dan strategis nasional yang pelaksanaanya dapat diserahkan kepada swasta. Bahkan, tekanan persoalan lingkungan hidup bakal menguat dengan mudahnya para pengusaha mengantongi izin pembukaan lahan bagi perusahaan di berbagai sektor.

“Walaupun telah disetujui oleh sebagian besar fraksi di DPR, ada baiknya Presiden tidak melanjutkan dan mengesahkan RUU Cipta Kerja ini. Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan apalagi penjajahan terhadap hak rakyat sendiri,” kritiknya.

Terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai pemerintah dan DPR terlampau tergesa-gesa membahas RUU Cipta Kerja seolah sedang mengejar target. Padahal, membahas sebuah RUU perlu keleluasaan waktu yang cukup lantaran aturan yang bakal dihasilkan berdampak besar terhadap banyak aspek kehidupan masyarakat. Dia mengaku miris melihat sikap pemerintah dan DPR yang tak konsisten.

“Padahal bulan April 2020 Presiden dan Ketua DPR-RI pernah meminta penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja. Namun permintaan itu diabaikan, proses menuju rapat paripurna jalan terus,” ujarnya.

Bagi SPI, RUU Cipta Kerja tak sejalan dengan Nawa Cita 2014-2019 dan visi Indonesia maju 2019-2024 Joko Widodo-Maruf Amin. Menurutnya, secara umum RUU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi, kontraproduktif dengan reforma agraria, kedaulatan pangan, dan perkoperasian. Selain menolak RUU Cipta Kerja, SPI pun bakal mendukung rencana aksi buruh mogok massal nasional

“Kami juga akan melakukan aksi petani bersama rakyat yang bekerja di pedesaan seperti nelayan di seluruh provinsi Indonesia untuk menolak RUU Cipta Kerja untuk disahkan,” kata dia.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan sejak awal pihaknya menolak RUU Cipta Kerja karena cacat formil dan materil. RUU Cipta Kerja berdampak terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan penyusunan RUU Cipta Kerja sejak awal tidak terbuka terhadap publik untuk meminta masukan.

Arif berpendapat pemerintah dan DPR telah melakukan pengkhianatan dalam membentuk peraturan perundang-undangan karena pembahasan dilakukan tiba-tiba. Kemudian disahkan dalam waktu cepat seperti revisi UU KPK, dan UU Minerba. Hasil kedua beleid itu pun jauh dari harapan publik.

Arif yakin hal serupa juga akan terjadi dalam proses pengesahan RUU Cipta Kerja. Menurut Arif, kebiasaan buruk dalam membentuk peraturan perundang-undangan ini harus dibenahi. “Padahal disebut sebagai negara hukum dan demokrasi, tapi praktiknya oligarki yang berkuasa,” kritiknya.

Serikat buruh yang tergabung dalam KSPI juga menolak RUU Cipta Kerja yang telah selesai dibahas pemerintah dan DPR itu. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan organsasinya akan menggelar aksi nasional dengan istilah mogok nasional tanggal 6-8 Oktober 2020. “Buruh tidak akan pernah berhenti melawan dan menolak RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan rakyat kecil,” dalam keterangannya, Minggu (4/10/2020).

Tags:

Berita Terkait