Ramai-ramai Menolak Pelaksanaan Pilkada di Desember 2020
Berita

Ramai-ramai Menolak Pelaksanaan Pilkada di Desember 2020

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi rentan terhadap pelanggaran. Pilkada tidak seharusnya dilakukan dengan kualitas yang menurun.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Komisi II DPR RI, Pemerintah, dan Penyelenggara Pemilu sepakat melaksanakan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak jatuh pada 9 Desember 2020. Dalam rapat kerja antara perwakilan pemerintah, DPR, dan penyelenggara, Rabu (27/5), keputusan tersebut disetujui secara bersama. 

Dalam rapat tersebut disampaikan penjelasan KPU berikut langkah kebijakan dan situasi pengendalian oleh pemerintah, termasuk usulan dan dukungan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 lewat surat Kepala Gugus Tugas Nomor:B-196/KA GUGUS/PD 01.02/05/2020 tertanggal 27 Mei 2020. 

“Komisi II DPR RI bersama Mendagri RI dan KPU RI setuju pemungutan suara serentak dilaksanakan pada 9 Desember 2020 sesuai Perppu Nomor 2 Tahun 2020,” demikian petikan kesimpulan rapat kerja Komisi II DPR RI. 

Melalui kesimpulan tersebut juga diketahui bahwa Komisi II menyetujui usulan perubahan Rancangan Peraturan KPU RI tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota. 

“Dengan syarat bahwa semua tahapan Pilkada harus dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan, berkoordinasi dengan gugus tugas Covid-19, serta tetap berpedoman pada prinsip-prinsip demokrasi,” bunyi kesimpulan rapat kerja. 

Keputusan ini diambil dalam waktu bersamaan dengan inisiatif sejumlah organisasi masyarakat sipil yang menolak pelaksanaan hari pemungutan suara sesuai dengan jadwal yang ditentukan Perppu No.2 Tahun 2020, yakni pada 9 Desember 2020. (Baca: Perppu Terbit, Pilkada Ditunda Sampai Pandemi Covid-19 Teratasi)

Elemen masyarakat sipil yang terdiri dari Netgrit, Netfid, Perludem, PUSaKO FH Unand, Puskapol UI, Rumah Kebangsaan, Kopel, JPPR, KIPP Indonesia, dan PPUA Disabilitas bahkan telah menggelar petisi daring untuk mendorong penyelenggaraan Pilkada pada tahun 2021.

Dasar dari dorongan penundaan ini adalah situasi pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih juga belum mereda. Kurva kasus covid-19 harian sampai saat ini masih mengalami peningkatan. Ratusan kasus positif bertambah setiap harinya.

Hadar Nafis Gumay dari Netgrit mengingatkan, jika Pilkada tetap dilaksanakan pada Desember 2020, KPU memiliki dua opsi jadwal untuk memulai kerja tahapan pemilihan lanjutan, yakni 6 Juni atau 15 Juni 2020. Sementara sampai saat ini kurva kasus positif covid-19 masih terus meningkat. ”Juga, belum ada satupun peraturan KPU dapat digunakan sesuai dengan konteks pandemi,” ujar Hadar dalam diskusi publik yang disiarkan secara daring, Rabu (27/5).

Menurut Hadar, petisi penolakan pelaksanaan Pilkada di Desember 2020 merupakan langkah yang diambil setelah sebelumnya pihaknya telah berusaha menyalurkan pemikiran soal penundaan pilkada lewat diskusi ke Pemerintah, KPU, maupun Anggota Komisi II, tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada 2020. 

“Pemikiran sudah kami salurkan lewat diskusi tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada desember 2020. Karena itu kami memikirkan cara lain yaitu mengumpulkan aspirasi bahwa pilkada tidak seharusnya tetap dilakukan dengan kualitas yang menurun,” jelas Hadar. 

Seperti dikutip dalam petisinya, Koalisi menjelaskan kalau dalam Perpu No.2 Tahun 2020 yang dikeluarkan 4 Mei lalu tidak ada pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan sesuai protokol kesehatan Covid-19 dan penyesuaian anggaran selama penyelenggaraan Pilkada. Dengan kata lain, tahapan Pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada. 

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi juga rentan terhadap pelanggaran. Ramai di publik soal adanya politisasi Bantuan Sosial sebagai media kampanye petahana kepala daerah. Dalam diskusi yang sama, salah satu anggota koalisi, Dahlia Umar mengungkapkan fenomena tersebut yang sudah jamak terjadi dimasyarakat. Menurut Dahlia, praktik seperti ini tentu saja merugikan calon yang lain. ”Selama penyaluran Bansos tidak jarang kepala/pejabat daerah mengatasnamakan dirinya sebagai pemberi bansos,” ujar Dahlia. 

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakuktas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO FH Unand), Feri Amsari menyebutkan bahwa hak hidup dan hak kesehatan menjadi alasan koalisi menuntut penundaan Pilkada 2020. Feri menegaskan hak untuk hidup secara prinsip harus didahulukan dari hak politik. “Bayangkan kalau proses pilkada yang jadi kewajiban disaat kondisi pandemi. Kebijakan negara terkait pilkada tidak memberi kepastian pertanggungjawaban kepada publik,” ujar Feri.

Feri menilai semangat Pemerintah memberi jaminan tidak menyebarnya virus covid-19 selama proses pilkada belum tergambar sampai saat ini. Karena itu ia menyarankan kepada penyelenggara pemilu agar lebih tegas, tidak hanya menyelamatkan peserta dan pemilih, tetapi juga diri mereka sendiri sebagai penyelenggara. 

Feri mengingatkan pemilu serentak pada April 2019 lalu yang telah memakan banyak korban penyelenggara, padahal pelaksanaannya dilakukan pada masa normal. “Sebelumnya kita sudah dikecewakan dengan korban-korban penyelenggara di pemilu sebelumnya di masa normal, apalagi di masa new normal saat ini. Jangan sampai terulang kembali,” tegas Feri.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menilai ada motif dari pemerintah dalam menyelenggarakan Pilkada pada 2020, di antaranya: Pertama motif ekonomi. Menurut Titi, Pilkada 2020 akan seolah-olah memberi impresi kepada masyarakat kalau ekonomi Indonesia sedang baik-baik saja. 

Kedua motif politik, yakni adanya petahana dan non petahana yang tidak percaya diri jika pilkada dilaksanakan tahun 2021. Ketiga pemerintah dianggap kurang serius dengan kondisi covid-19 di Indonesia. Dampak covid-19 dianggap tidak separah yang dibayangkan, karena jumlah kasus positifnya tidak sebanding dengan negara lain. 

Titi menegaskan penting untuk menunda pilkada ke 2021 agar waktu, kesiapan, adaptasi dan kualitas pilkada tetap terjaga. Menurut Titi, memaksakan penyelenggaraan Pilkada di masa pandemi berpotensi menimbulkan lebih banyak mudharat dari pada manfaat. 

“Di antaranya, terpaparnya banyak orang yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada dengan Covid-19, politisasi bantuan sosial, kontestasi yang tak setara bagi peserta pemilu petahana dan non petahana, dan turunnya partisipasi pemilih,” tutup Titi.

 

Tags:

Berita Terkait