Ragam Pandangan Hukum Soal Pelarangan Kegiatan FPI
Berita

Ragam Pandangan Hukum Soal Pelarangan Kegiatan FPI

Pemerintah menilai FPI tidak memiliki legal standing sebagai ormas. Namun, ada pandangan lain bahwa terdapat sejumlah permasalahan dalam SKB tersebut.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Aksi unjuk rasa massa FPI di depan gedung Mabes Polri beberapa waktu lalu. Foto: RES
Aksi unjuk rasa massa FPI di depan gedung Mabes Polri beberapa waktu lalu. Foto: RES

Pemerintah telah resmi melarang berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI). Tak hanya kegiatan, juga penggunaan simbol dan penggunaan atribut di wilayah hukum Negara Indonesia. Pemerintah menganggap sejak 21 Juni 2019 lalu secara de jure atau berdasarkan hukum telah bubar.

"FPI sejak 21 Juni tahun 2019 secara de jure telah bubar secara ormas. Tetapi sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan sweeping atau razia secara sepihak provokasi," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers yang dilakukan secara virtual, dari Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu (30/12).

Mahfud menyampaikan pelarangan tersebut berdasar peraturan perundang-undangan dan sesuai dengan Putusan MK Nomor 82 PUU 11/2013 tanggal 23 Desember 2014 Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI. "Karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing baik sebagai ormas maupun sebagai organisasi biasa. Jadi dengan adanya larangan ini tidak punya legal standing," ungkapnya.

Oleh karena itu, Mahfud mengimbau kepada seluruh aparatur pemerintah supaya dapat memberikan penolakan terhadap keberadaan organisasi tersebut. "Kepada aparat pemerintah pusat dan daerah kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI itu dianggap tidak ada. Dan harus ditolak karena tidak ada," tandasnya.

Guna memperkuat keputusan pemerintah, Menteri Mahfud MD menyatakan telah disusun kesepakatan enam pejabat tinggi setara menteri yakni Mendagri, Menkumham, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNPT. "Surat Kesepakatan Bersama (SKB) enam menteri yang akan memperkuat FPI tidak boleh melakukan kegiatan lagi," pungkasnya. 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Rizky Argama menyatakan SKB tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

Menurutnya, SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 (UU Ormas) yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum. UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).

Pria yang disapa Gama itu mengatakan beberapa permasalahan dalam SKB tersebut. Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidak tepat.

Baca:

Hal ini karena Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.

Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, MK bahkan menyatakan “berdasarkanprinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum”.

Permasalahan kedua dalam UU Ormas tersebut, oleh karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. “UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut,” jelas Gama.

Sehubungan para anggota FPI yang selama ini dianggap melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, penegak hukum seharusnya sejak awal menindak para pelaku dengan pasal-pasal dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) secara konsisten. “Bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu-individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI,” kata Gama.

Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang.

Permasalahan ketiga, SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Sejak UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah. Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI.

Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. “Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi, termasuk berupa pembubaran, terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi," tutur Gama.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum dinilai Gama sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. “Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi-organisasi warga, baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum, yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait