Ragam Kritik Advokat terhadap Revisi UU Persaingan Usaha
Utama

Ragam Kritik Advokat terhadap Revisi UU Persaingan Usaha

Sejumlah ketentuan dalam RUU Persaingan Usaha dianggap tidak implementatif. Ketentuan-ketentuan tersebut memberatkan pelaku usaha dan praktisi hukum persaingan usaha.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Farid Fauzi Nasution. Foto: RES
Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Farid Fauzi Nasution. Foto: RES

Revisi Undang Undang (RUU) Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LPMPUTS) atau RUU Persaingan Usaha telah memasuki tahap akhir pembahasan antara pemerintah dengan DPR RI. Dalam rancangan aturan tersebut, peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga pengawas memiliki kewenangan lebih kuat dalam mencegah hingga memberi sanksi bagi pelaku usaha atau korporasi yang melanggar hukum persaingan usaha.

 

Penguatan tersebut salah satunya pemberian kewenangan pemeriksaaan ekstrateritorial pada KPPU sehingga dapat memeriksa korporasi luar negeri yang melanggar hukum persaingan usaha di Indonesia. Selama ini, KPPU tidak mampu memeriksa korporasi di luar negeri namun memengaruhi pangsa pasar nasional.

 

Selain kewenangan pemeriksaan ekstrateritorial, rancangan regulasi baru tersebut juga mewajibkan pelaku usaha melapor kepada KPPU sebelum melaksanakan kegiatan merger dan akuisisi. Konsep ini dikenal dengan istilah pre-merger notification. Berbeda dengan ketentuan sebelumnya, pelaku usaha melapor kepada KPPU setelah kegiatan bisnis merger dan akuisisi terjadi atau post-merger notification.

 

Ketentuan pre-merger notification dianggap lebih efesien karena KPPU dapat mengetahui risiko pelanggaran persaingan usaha dari rencana merger dan akuisisi tersebut. Sebab, KPPU berhak membatalkan merger dan akuisisi yang dilakukan pelaku usaha saat terbukti kegiatan bisnis tersebut melanggar hukum persaingan usaha.

 

Ketentuan lainnya, denda bagi pelaku usaha yang melanggar aturan persaingan usaha juga lebih besar dibandingkan ketentuan sebelumnya. Sebelumnya, besaran sanksi denda paling sebesar Rp1 - Rp25 miliar. Sedangkan, aturan baru tersebut nanti akan ditetapkan sanksi mencapai 25 persen dari total pelanggaran.

 

Melihat rancangan aturan tersebut, advokat hukum persaingan usaha dan partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Farid Fauzi Nasution, menilai penguatan kewenangan KPPU ini memiliki dua sisi saling bertentangan. Dia menganggap penguatan kewenangan KPPU perlu dilakukan di tengah pesatnya perkembangan bisnis saat ini. Namun, sisi lain, dia menganggap penguatan KPPU tersebut justru akan berdampak negatif bagi pertumbuhan bisnis nasional.

 

Misalnya dalam kewenangan pemeriksaan ekstrateritori, Farid meragukan sumber daya manusia (SDM) KPPU dalam memeriksa korporasi asing mampu diterapkan. Pasalnya, selama ini, KPPU juga kerap kesulitan dalam memeriksa korporasi nasional yang dianggap melanggar hukum persaingan usaha.

 

“Jadi pertanyaan, bagaimana memeriksa perusahaan di luar negeri yang dinyatakan bersalah KPPU. Jangankan dihukum, perusaan tersebut dipanggil dan diperiksa saja akan sulit. KPPU saja enggak bisa maksa karena beda yurisdiksi,” kata Farid di Jakarta (20/2).

 

Farid juga menyoroti ketentuan pre-merger notification yang tercantum dalam RUU tersebut. Meski semua negara telah menerapkan ketentuan tersebut, namun Farid menilai mekanisme pre-merger notification masih sulit diterapkan pada KPPU. Sebab, kemampuan pemeriksaan KPPU terhadap merger dan akuisisi saat ini membutuhkan waktu lama sehingga dikhawatirkan dapat menggangu kegiatan usaha.

 

“Pelaksanaannya yang sekarang hampir setahun lebih baru clear. Bayangkan, kalau pre-merger notification nantinya semua rencana merger dan akuisisi perusahaan harus dilaporkan terlebih dahulu ke KPPU. Bisa-bisa, semuanya transaksi akan terhambat dan justru menghambat investasi,” jelas Farid.

 

Kemudian, Farid juga menanggapi jumlah denda sebesar 25 persen dari total pendapatan korporasi yang melanggar hukum persaingan usaha. Menurut Farid, jumlah sanksi tersebut tidak realistis diterapkan karena sangat memberatkan pelaku usaha. Terlebih lagi, pelanggaran tersebut baru ditemukan KPPU setelah transaksi tersebut terjadi dalam jangka waktu panjang.

 

Dia juga menilai jumlah sanksi tersebut terlalu tinggi dibandingkan Eropa yang mematok hanya 10 persen dari pendapatan setahun terakhir. “Biasanya perusahaan itu hanya punya riil cash setahun terkahir. Angka 25 persen ini bisa buat perusahaan bangkrut. Kalau perusahaan bangkrut justru membuat persaingan usaha semakin berkurang dan ini bertolak belakang dengan amanat UU,” pungkas Farid.

 

(Baca: Ini Dia Urgensi Advokat Memahami Hukum Persaingan Usaha Era Digital)

 

Salah satu kritik terhadap RUU Persaingan Usaha ini juga disampaikan Partner AHP lainnya, Asep Ridwan. Dia menyampaikan pemberlakukan UU ini nantinya tidak hanya berimbas kepada pelaku usaha semata, tetapi juga terhadap praktisi hukum yang selama ini banyak menangani perkara persaingan usaha baik di KPPU maupun di pengadilan.

 

“Kita punya concern yang sama terhadap RUU ini karena saya yakin ini bukan hanya pelaku usaha, tapi kami juga sebagai praktisi. Jika melihat isi draft RUU Anti Monopoli, secara umum tak banyak mengalami perubahan dari UU Anti Monopoli saat ini. Sedangkan kita sebagai asosiasi praktisi hukum di bidang persaingan usaha ingin agar RUU ini sesuai dengan sistem hukum dan mencerminkan due process of law,” kata Asep di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Rabu (16/1).

 

Hukumonline.com

Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Asep Ridwan. Foto: RES

 

Menurut Asep, pihaknya tidak berada pada posisi menolak revisi UU Anti Monopoli. Hanya saja, dari draft RUU Anti Monopoli terbaru masih banyak hal-hal yang dinilai kurang tepat. Ia mencontohkan, pada draft terakhir terdapat kewajiban membayar denda terlebih dahulu sebesar 10 persen apabila pelaku usaha terbukti melanggar UU Anti Monopoli dan ingin mengajukan keberatan. Konsep ini, lanjut Asep, dinilai keliru. Hal ini tidak ditemukan dalam perkara pidana maupun perdata.

 

“Mana ada dalam perkara pidana, perkara perdata seseorang harus membayar terlebih dahulu denda. Ini bukan kasus pajak dan bukan Wajib Pajak (WP), kalau di kasus pajak WP wajib bayar denda terlebih dahulu, karena pemerintah butuh. Sekarang ini apa urgensinya?” ungkapnya.

 

Selain menyoal denda, Asep juga mengkritisi posisi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam draft RUU Anti Monopoli. KPPU diberikan kewenangan sebagai pihak penuntut sekaligus pemutus, namun seharusnya putusan KPPU dipersilahkan untuk diuji secara menyeluruh. Sayangnya, draft RUU Antimonopoli tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada pihak yang berperkara untuk menguji putusan KPPU secara menyeluruh.

 

Bahkan, waktu yang diberikan untuk mengajukan keberatan atas putusan KPPU adalah 45 hari, hanya ditambah 15 hari dari UU Anti Monopoli yang saat ini berlaku yakni 30 hari. Singkatnya waktu ini hanya membuat Pengadilan Negeri selaku pihak yang memiliki kewenangan untuk menguji putusan KPPU, hanya didasarkan pada berkas perkara dari KPPU.

 

“Bukan dari para pihak (berkas). Jadi ketika kita hendak menguji bukti baru, kita ada hal lain, ada ahli lain untuk membuktikan putusan KPPU, itu tidak ada ruang. Kenapa dengan 45 harinya itu? Padahal di beberapa negara lain, putusan KPPU-nya bisa diuji secara menyeluruh, di Jerman seperti itu, di Jepang bahkan tiga tingkatan, ketika ada putusan KPPU ada tiga tingkat peradilan lainnya yang bisa menguji dan menguji dari nol lagi. Jadi sebenarnya sekarang kalau mau lihat best practice itu yang mana,” jelas Asep.

 

Sementara itu, Ketua KPPU, Kurnia Toha menjelaskan penerapan pre-merger notification telah diberlakukan di seluruh negara. Menurutnya, penerapan pre-merger notification jauh lebih efektif dibandingkan post-merger. Menurutnya, KPPU dapat membatalkan transaksi merger dan akuisisi yang melanggar hukum persaingan usaha.

 

“Kami ingin pelaporan dilakukan duluan sebelum kegiatan merger. Karena kalau KPPU temukan merger tersebut melanggar persaingan usaha bisa kami bubarkan. Apa mau pelaku usaha take a risk itu? Kebijakan post-merger ini bukan meniru tapi dilihat dari manfaatnya,” jelasnya.

 

Hukumonline.com

Ketua KPPU Kurnia Toha. Foto: RES

 

Sehubungan sanksi, Toha juga menjelaskan penerapan sanksi yang berlaku saat ini sebesar Rp 25 miliar terlalu ringan. Apalagi, pelanggaran tersebut dilakukan perusahaan asing bermodal besar.

 

“Soal denda, saat ini maksimum denda Rp 25 miliar sangat ringan. Bisa saja perusahaan global raksasa seperti Google, Amazon, Alibaba acak-acak dunia usaha Indonesia tapi dendanya hanya Rp 25 miliar. Itu kekecilan,” pungkas Kurnia kepada Hukumonline (8/2).

 

Tags:

Berita Terkait