Ragam Implementasi dan Kepatuhan Putusan MK
Berita

Ragam Implementasi dan Kepatuhan Putusan MK

Putusan MK tidak ada yang tidak dilaksanakan, tetapi dilaksanakan semuanya. Namun, dalam prakteknya ada yang dilaksanakan sebagian dan ada yang belum dilaksanakan.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah (tengah) saat menanggapi hasil riset putusan MK periode 2003-2018 di Kantor ILR Jakarta, Kamis (9/5). Foto: AID
Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah (tengah) saat menanggapi hasil riset putusan MK periode 2003-2018 di Kantor ILR Jakarta, Kamis (9/5). Foto: AID

Banyaknya perkara permohonan pengujian undang-undang (PUU) yang telah diputus dan dikabulkan MK, tidak membuat orang dengan mudahnya ingat pasal undang-undang yang mana yang telah dinyatakan tidak berlaku karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, tidak mudah pula mengetahui bagaimana para addressat (lembaga yang dituju) menindaklanjuti putusan MK yang dikabulkan tersebut.

 

Namun terkadang, sifat putusan MK yang final dan memiliki kekuatan hukum mengikat tidak implementatif, tidak bisa dijalankan, atau tidak dipatuhi. Ada putusan MK yang didiamkan, tidak jelas bagaimana tindak lanjutnya. Atau jika dilaksanakan, pelaksanaannya dilakukan mengambang atau setengah hati (floating execution).

 

Ada juga yang menolak dan masih menggunakan norma yang sudah dibatalkan MK dan/atau menghidupkannya kembali dalam UU yang baru. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh para penyelenggara negara sebagai addressat putusan MK. Hal ini terungkap dalam penelitian putusan PUU MK dari tahun 2003-2018 oleh Indonesian Legal Roundtable (ILR).

 

Direktur Eksekutif ILR, Firmansyah Arifin mengatakan putusan MK yang dikabulkan sebagian telah diimplementasikan; sebagian kecil putusan lain belum diketahui tindak lanjutnya. Dari implementasi putusan yang sudah diketahui tersebut diantaranya terdapat putusan yang nonimplementatif (belum diimplemntasikan).

 

“Putusan yang sudah implementatif, artinya putusan MK yang sudah ditindaklanjuti baik dalam bentuk UU maupun dalam bentuk lain,” kata Firmasyah di Jakarta, Kamis (9/5/2019). Baca Juga: Sejak MK Berdiri, Ini 10 UU Terbanyak Diuji  

 

Ia menemukan kurang lebih 12 bentuk implentasi putusan PUU MK dalam bentuk peraturan atau kebijakan atau tindakan yang dikeluarkan masing-masing addressant. Implementasi 12 bentuk putusan PUU MK 2003-2018 yaitu UU ;Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah/Perda Istimewa Aceh (qanun); Keputusan/Instruksi Presiden; Peraturan Mentri; Peraturan KPU/Bawaslu; Peraturan MA dan MK; Surat Edaran; Kebijakan/Tindakan Lain; Proses/Putusan Peradilan; Revisi UU.

 

“Dapat dikatakan 86 persen putusan sudah diketahui implementasinya. Sedangkan sisanya adalah putusan yang tidak memerlukan tindak lanjut (7 persen) dan putusan yang belum diketahui atau belum ditindaklanjuti (7 persen),” paparnya.

 

Bentuk implementasi putusan PUU MK ini, kata dia, respon yang pertama atau yang paling awal dalam perkembangannya bisa jadi sudah berubah atau berganti. Misalnya, putusan semula direspon melalui Peraturan KPU, dalam perkembangannya, “diamankan” dalam undang-undang. Terdapat pula dalam satu putusan MK tidak hanya direspon dalam satu bentuk implementasi, tapi bisa dua atau tiga bentuk implementasinya.

 

Ia mencontohkan Putusan MK No. 012/PUU-I/2003 tentang PHK karena alasan melakukan kesalahan berat. Putusan MK tersebut direspon tidak hanya oleh Menteri Tenaga Kerja melalui surat edarannya, tetapi direspon pula lewat SEMA untuk kepentingan proses di pengadilan.

 

Putusan yang tidak memerlukan tindak lanjut, kata dia, dapat dilihat dari putusan yang sesungguhnya hanya mengoreksi kekeliruan redaksi suatu norma dalam satu UU atau antar UU lainnya sebagai akibat dari ketidakcermatan pembentuk undang-undang. “Jadi dapat dikatakan putusan MK ini berperan pula melakukan harmonisasi perundang-undangan,” lanjutnya.

 

Putusan semacam ini dapat dilihat dalam putusan No. 17/PUU-IX/2011 tentang kewajiban pengadilan menyampaikan salinan putusan kepada para pihak. Ketentuan ini yang diatur Pasal 109 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, tidak diubah. Sedangkan pasal 51A ayat (2) UU No 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua UU PTUN secara substansi telah mengatur berbeda, dari 30 hari diubah menjadi 14 hari.

 

Dan, putusan MK No. 114/PUU-XIII/2015 terkait dengan hak buruh atau pekerja yang terkena PHK dapat mengajukan gugatan ke PHI dalam waktu 1 tahun. Putusan ini membatalkan kalimat Pasal 159 yang tercantum dalam Pasal 82 UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Karena Pasal 159 yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan itu, yang pada intinya mengatur hal yang sama, sebelumnya sudah dibatalkan MK dalam putusannya No. 012/PUU-I/2003.

 

Ia melanjutkan beragam bentuk implementasi putusan PUU MK menunjukkan putusan tidak melulu dilakukan melalui proses revisi atau pembentukan UU. Untuk menindaklanjuti dan mengamankan agar putusan MK menjadi lebih konkrit dilaksanakan, implementasi putusan MK dilakukan melalui berbagai bentuk kebijakan selain UU. Bahkan, diantaranya digunakan sebagai bahan melakukan upaya hukum dalam proses di peradilan (MA).

 

Aktor yang menindaklanjuti putusan MK, tidak hanya DPR, Presiden, MA atau kolaborasi keduanya, tetapi putusan MK juga ditindaklanjuti oleh aktor negara lain dan aktor nonnegara sesuai konteks dan kebutuhan implementasi putusan. Selain itu, sebagian implementasi putusan PUU MK, ditemukan juga yang tidak sejalan atau tidak sesuai dengan putusan MK itu sendiri. Artinya, putusan MK tidak serta merta dipatuhi sesuai maksud dari pertimbangan dan putusan MK.

 

“Ketidaksesuaian atau ketidakpatuhan itu terjadi karena adanya penafsiran yang berbeda, misalnya independensi lembaga, dinamika yang berkembang, ketidakmampuan melaksanakan dan adanya penolakan,” kata Firmansyah. (Baca Juga: Ini 15 Putusan MK yang Dikabulkan Selama 2018)

 

Setidaknya tercatat, terdapat 174 putusan (73 persen) yang implementasinya telah sesuai dengan putusan MK. Sedangkan, selebihnya ada 35 putusan (15 persen) dalam implementasinya tidak sepenuhnya sesuai atau mentaati putusan MK dan 13 putusan lainnya (5 persen) sepenuhnya tidak ditaati atau tidak bisa dilaksanakan (non executable). Jika ditotal seluruhnya dengan putusan yang belum ditindaklanjuti, maka putusan PUU MK 2003-2018 yang non implementatif seluruhnya berjumlah 65 putusan (27 persen).

 

Menurut Firmansyah, implementasi putusan PUU MK bersifat dinamis dan tidak tunggal. Tidak tunggal artinya implementasi putusan MK terkadang diwujudkan tidak hanya dalam satu bentuk formal peraturan. Tetapi, beberapa peraturan atau kebijakan atau tindakan lainnya. Sedangkan, bersifat dinamis, implementasi putusan mengalami perkembangan perubahan kepatuhan.

 

“Semula putusan MK dipatuhi, namun kemudian diabaikan atau dilanggar. Dinamis dikarenakan pula putusan PUU MK terkadang terkait putusan sebelumnya, yang bisa jadi kemudian diputus berbeda oleh putusan yang baru. Hal ini terjadi karena belum adanya mekanisme atau prosedur khusus untuk mengawal implementasi putusan MK,” dalihnya.

 

Untuk itu, penelitian ILR rumuskan, terdapat beberapa rekomendasi. Firmansyah menyebut penelusuran terhadap implementasi putusan MK perlu ditindaklanjuti secara bertahap dan berkelanjutan, terhadap putusan-putusan yang belum diketahui bagaimana implementasinya perlu dilakukan konfirmasi kepada para addressant putusan, sehingga implementasi putusan dapat diketahui lebih jelas dan pasti.

 

Baginya, pendalaman substansi materi dari implementasi putusan MK, masih perlu dilakukan lebih spesifik dan tematis. Hal ini dimaksudkan agar kesesuaian dan kepatuhan terhadap putusan MK bisa dilihat lebih jelas dan terfokus, sehingga memudahkan menentukan usaha (advokasi) penyesuaiannya. “Untuk hal ini akan lebih strategis jika dilakukan bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang relevan,” ujarnya.

 

Hasil penelusuran implementasi putusan PUU MK, perlu dikemas dalam bentuk yang mudah diketahui, dibaca dan diakses oleh publik. “Dengan demikian akan lebih dirasakan manfaatnya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penegakan hukum, maupun kebutuhan bagi pencari keadilan. Cara ini diperlukan untuk memudahkan dalam melengkapi dan menjaga validitas data atau informasi implementasi putusan MK,” tuturnya.

 

Menurutnya, perlu dirumuskan untuk mendorong agar putusan MK menjadi lebih implementatif dan berkesesuaian. Dalam hal ini yang perlu dirumuskan, standar atau ukuran bagi putusan PUU MK mana yang harus ditindaklanjuti dan mana yang tidak? Berapa lama proses putusan MK itu harus ditindaklanjuti? Siapa dan mekanisme apa yang bisa digunakan secara efektif untuk mendorong putusan MK menjadi lebih implementatif.

 

Sekretaris Jenderal MK Guntur menyambut baik dan merasa senang adanya penelitian ini yang dapat bermanfaat dan berguna bagi banyak pihak. Guntur pun mengatakan dari penelitian ini sudah 86 persen putusan PUU MK yang sudah dipatuhi atau diimplementasikan. “Artinya, itu capaian yang baik bagi MK dari sejak MK berdiri hingga saat ini. Saya mengapresiasi penelitian ini,” kata Guntur.

 

Ia menjelaskan semakin tinggi kepatuhan putusan PUU MK, juga semakin tinggi tingkat kepatuhan dalam bernegara. Putusan MK bersifat final and binding, tetapi juga daya ikatnya erga omnes. Tapi, MK tidak mempunyai mekanisme pelaksanaan putusannya sendiri. Untuk itu, agar putusan MK dilaksanakan sepenuhnya, tentu perlu adanya tingkat kepatuhan masyarakat atau warga negara secara menyeluruh.

 

“Dalam konteks ini, putusan MK tidak ada yang tidak dilaksanakan, tetapi dilaksanakan semuanya. Namun, dalam prakteknya ada yang dilaksanakan sebagian dan ada yang belum dilaksanakan. Kenapa belum, karena putusan MK itu kan sifatnya prospek atau berlaku ke depan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait