Qanun Jinayat Tidak Bertentangan dengan Konstitusi
Berita

Qanun Jinayat Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Pemerintah Provinsi Aceh belum mau menandatangani Qanun itu karena dicantumkannya sanksi hudud dan rajam. Padahal Rasulullah sendiri tak sembarangan dalam menjatuhkan sanksi itu.

CR-7
Bacaan 2 Menit

 

Karena itulah, walau Qanun Jinayat itu berasal dari usulan Pemprov Aceh, namun Gubernur Aceh sendiri tidak menyepakati isi dari Qanun tersebut. “(usulan-red) Yang diajukan oleh eksekutif terjadi perbedaan yang jauh. Dalam pembahasan waktu itu, akhirnya rajam ini tetap dimasukkan dan hudud penuh dimasukkan.”

 

Nazar berpendapat, bahwa tidak diterapkannya hudud secara ketat, tidak menyalahi hukum islam. “Hukum Islam ini substansinya tetap kita laksanakan, tetapi ‘uqubat (=sanksi-red) hudunya kita turunkan ‘uqubat jarimahnya kita turunkan.” Nazar juga mengungkapkan bahwa seharusnya, pengaturan di dalam Qanun ini tidak perlu difokuskan kepada hukuman fisik, tetapi lebih kepada pencegahan dan penyadaran, bahkan juga pendidikan. Nazar pun berpendapat bahwa rajam sampai mati sama sekali tidak diperlukan.

 

Sah secara hukum

Dihubungi terpisah, Pengajar Hukum Perundang-Undangan Universitas Indonesia, Fitriani A Sjarief memberikan pendapat mengenai kedudukan Qanun Jinayat dari segi peraturan perundang-undangan. Menurut Fitri, pada dasarnya Qanun itu sah secara hukum. Karena, adanya UU No. 11 tahun 2006 memang memberikan kewenangan yang luar biasa kepada pemerintahan Aceh untuk membentuk Qanun. UU ini juga yang menjadi landasan sehingga di dalam Qanun, bisa dibuat adanya hukum pidana baru, hukum acara pidana baru, serta Mahkamah Syariah.

 

Namun demikian, Fitri –demikian ia disapa- mengungkapkan sudut pandang lain dari kedudukan Qanun sebagai Perda di Aceh. Dilihat dari konsep negara kesatuan, sebenarnya Perda itu adalah bagian dari hirearki peraturan perundang-undangan secara nasional. Sehingga semua yang menjadi kebijakan daerah seharusnya sejalan dengan apa yang berlaku secara umum di tataran nasional. “Jadi kalau dalam konsep negara kesatuan sebenarnya tidak mungkin ada Perda yang khusus atau tidak dalam hirearki,” ungkap Fitri.

 

Fitri menilai, apabila Qanun Jinayat dinilai sebagai masalah, maka yang harus dipermasalahkan sebenarnya adalah UU No. 11 tahun 2006 yang menjadi dasar dari wewenang kepada Gubernur dan DPRD Aceh untuk membuat Qanun tersebut. Menurut Fitri, “Kalau (UU no. 11 tahun 2006-red), mau di-review ke UUD, bisa melihat Pasal 1 UUD mengenai negara kesatuan, bisa juga direview di MK.”

 

Namun Fitri juga mengungkapkan bahwa secara politik hukum, Pemerintah memang memberikan otonomi khusus kepada Aceh. Artinya sedari awal Pemerintah  sepakat dengan konsep yang ada sekarang dengan segala konsekuensinya.

 

Tags:

Berita Terkait