Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi W Eddyono, berpandangan dalam putusan tersebut terjadi permasalahan hukum yang besar terkait penafsiran kewenangan KPK dalam menangani korupsi. Semestinya, lembaga yang tepat dan layak menguji permasalahan hukum tersebut adalah MA, sebagai lembaga judex juris. Setidaknya, MA berwenang menguji penerapan hukum atas putusan praperadilan yang ditangani hakim tunggal Sarpin Rizaldi.
“Di samping itu, dengan adanya putusan dari MA, maka akan ada kepastian hukum terkait permasalahan hukum perluasan kewenangan praperadilan dan tafsir terhadap kewenangan KPK,” ujarnya kepada hukumonline, Senin (23/2).
Menurut Supri, MA semestinya tanggap dan cepat memberikan perhatian terhadap putusan praperadilan BG yang dinilai banyak kejanggalan. Pertama, putusan praperadilan BG dinilai kontroversial. Pasalnya itu tadi, hakim tunggal Sarpin Rizaldi telah memperluas kewenangan praperadilan, terutama pengujian kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi. Selain itu, tafsir terhadap pejabat negara dan penyelenggara negara dan penegak hukum serta kerugian negara dinilai janggal.
Kedua, normatifnya pengadilan tingkat pertama dan MA bersandar pada ketentuan Pasal 45A UU tentang MA dan SEMA No.8 Tahun 2011. Namun, ICJR menekankan adanya putusan praperadilan BG berdampak pada permasalahan hukum lain ke depannya.
Menurut Supri, Pasal 45A UU MA dan SEMA No.8 Tahun 2011 perumusannya ditujukan alam rangka mengurangi beban perkara masuk ke MA. Dengan kata lain, permasalahan tak dapat dikasasinya putusan praperadilan didasarkan alasan administratif belaka.
“Selama ini kasus-kasus dalam Pasal 45A UU MA jumlahnya tidak begitu signifikan, sehingga akan lebih baik apabila MA menguji Praperadilan BG dengan alasan bahwa ada masalah hukum yang lebih besar yang harus dijawab MA, daripada sekadar takut akan kelebihan beban perkara hanya karena menguji satu putusan Praperadilan tersebut,” ujarnya.
Ketiga, jika putusan praperadilan BG tak diuji di tingkat yang lebih tinggi, maka MA dinilai gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai penjaga kesatuan hukum nasional sebagai lembaga judex juris.
Selain itu, MA justru membiarkan tidak terjawabnya permasalahan hukum perluasan kewenangan praperadilan dan tafsir kewenangan KPK. Bagi ICJR, tafsir kewenangan KPK yang dilakukan hakim Sarpin jika tak diuji berdampak mempercepat kemunduran pemberantasan kejahatan korupsi.
Supri berpandangan, penafsiran kewenangan KPK dalam putusan praperadilan BG bukan tidak mungkin bakal dijadikan ‘amunisi perang’ pelaku korupsi dalam setiap eksepsi pembuktian perkara rasuah di pengadilan Tipikor. “Hasilnya akan terjadi kekacauan hukum, lebih jauh bisa jadi KPK akan terbelenggu dan ruang geraknya dibatasi dalam tujuan pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujarnya.
Peneliti hukum Indonesian Legal Rountable (ILR), Erwin Natosmal Oemar, mengamini pandangan ICJR. Erwin berpandangan MA mesti segera menerbitkan fatwa terkait larangan PK dalam SEMA No.8 Tahun 2011 adalah putusan praperadilan yang menguji formalitas.
Sedangkan putusan praperadilan yang menyasar substansi hukum seperti putusan Sarpin yang mengakibatkan ketidakpastian hukum dapat diajukan upaya hukum luar biasa, Peninjauan Kembali. “Karena tugas utama dari MA adalah menjaga keteraturan hukum,” ujarnya.
Lebih jauh, Erwin berpandangan jika MA tak berani menerbitkan fatwa, MA setidaknya membuat terobosan hukum. MA dapat dinilai sebagai lembaga yang gagal dalam menjalankan kewenangan judex juris. Ia khawatir ke depan bakal terdapat banyak putusan aneh seperti putusan Sarpin.
“Iya, jika MA tidak mempedulikan keganjilan ini berarti MA gagal menjalankan fungsi utamanya untuk menjaga kesatuan hukum. Ke depan akan banyak putusan-putusan aneh seperti (putusan, red) Sarpin ini yang tentu akan menjatuhkan marwah MA itu sendiri,” pungkasnya.