Putusan MK yang Jadi Perhatian Publik Sepanjang 2020
Utama

Putusan MK yang Jadi Perhatian Publik Sepanjang 2020

Dari permohonan PUU yang dikabulkan, ditolak, dan tidak diterima, ada beberapa putusan MK yang dianggap menarik perhatian publik.

Agus Sahbani
Bacaan 6 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sepanjang tahun 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus 89 permohonan pengujian undang-undang (PUU). Rinciannya, 3 permohonan PUU dikabulkan; 27 permohonan PUU ditolak; 45 permohonan PUU tidak dapat diterima; 14 permohonan ditarik kembali; 0 permohonan gugur; dan 0 permohonan tidak berwenang. Dari permohonan PUU yang dikabulkan, ditolak, dan tidak diterima, ada lima putusan MK yang dianggap menarik perhatian publik.     

  1. Tafsir sertifikat eksekusi jaminan fidusia 

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia terkait tafsir sertifikat jaminan fidusia yang memiliki kekuatan eksekutorial. Awalnya, jika debitur (konsumen) cidera/ingkar janji (wanprestasi), penerima fidusia (perusahaan leasing) punya hak menjual objek jaminan dengan kekuasaannya sendiri (lelang) seperti halnya putusan pengadilan yang inkracht. (Baca Juga: MK Tafsirkan Cidera Janji dalam Eksekusi Jaminan Fidusia)

Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia berikut penjelasannya sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

“Menyatakan Pasal 15 ayat (3) UU Jaminan Fidusia sepanjang frasa ‘cidera janji’ bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ‘adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan (memutuskan, red) telah terjadinya cidera janji’,” demikian bunyi amar putusan MK bernomor 18/PUU-XVII/2019 yang dimohonkan Aprilliani Dewi dan Suri Agung Prabowo yang dibacakan pada Senin (6/1/2020) lalu.

Putusan ini menjadi perhatian pemangku kepentingan. Misalnya, Kepala Subdit Bina Lelang III, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), N Eko Laksito, menjelaskan pelelangan jaminan fidusia dapat dilakukan saat debitur atau pemberi fidusia cidera janji. Pelelangan tersebut dapat dilakukan melalui pelelangan umum maupun penjualan di bawah tangan. Pemerintah melalui Kemenkeu memiliki lembaga lelang yang tersebar di berbagai wilayah yang disebut Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Sehubungan eksekusi jaminan fidusia pascaputusan MK, Eko mengatakan terdapat persyaratan tambahan yang harus dipenuhi saat mengajukan pelelangan jaminan fidusia. Dokumen pengajuan pelelangan wajib dilengkapi surat pernyataan dari penjual bahwa barang yang dilelang dalam penguasaan penjual karena telah diserahkan secara sukarela oleh debitu. Debitur telah sepakat terjadinya wanprestasi dan tidak ada keberatan dari debitur tersebut.

“Dalam praktiknya sudah ada kreditur memenuhi surat pernyataan itu (atas dasar, red) kerelaan debitur,” kata Eko dalam webinar Hukumonline “Memahami Proses Pelelangan sebagai Eksekusi Objek Jaminan Fidusia setelah Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019”, Kamis (25/6/2020) lalu.

Namun, saat debitur tersebut tidak sepakat, putusan pengadilan menjadi syarat dokumen pengajuan pelelangan jaminan fidusia tersebut. Ketentuan pelelangan lainnya masih mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dan dokumen persyaratannya sesuai Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 2/2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang. 

  1. Jabatan wamen konstitusional, tapi dilarang rangkap jabatan

MK tidak menerima uji materi Pasal 10 UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terkait konstitusionalitas jabatan wakil menteri (wamen) yang dapat diangkat oleh Presiden sesuai kebutuhan. Dengan begitu, jabatan wamen tetap dianggap konstitusional sebagaimana termuat dalam Putusan MK No. 79/PUU-IX/2011. Tapi, Mahkamah melarang wamen merangkap jabatan lain sebagaimana berlaku pula pada jabatan menteri.     

“Penting bagi Mahkamah menegaskan fakta yang dikemukakan para pemohon mengenai tidak adanya larangan jabatan Wakil Menteri yang mengakibatkan Wakil Menteri dapat merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau swasta,” demikian bunyi pertimbangan Putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019 yang dibacakan, Kamis (27/8/2020) lalu. (Baca Juga: MK: Jabatan Wamen Konstitusional, Tapi Dilarang Rangkap Jabatan)  

Menurut Mahkamah, pengangkatan dan pemberhentian Wakil Menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana pengangkatan dan pemberhentian Menteri, sehingga Wakil Menteri haruslah ditempatkan pula sebagai pejabat sebagaimana status yang diberikan kepada Menteri. “Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi Wakil Menteri.”

Hanya saja, ketika seorang advokat konstitusi, Viktor Santoso Tandiasa melayangkan uji materi Pasal 23 UU Kementerian Negara terkait larangan menteri rangkap jabatan, permohonan ini diputus tidak dapat diterima pada 26 Oktober 2020 lewat putusan MK No. 76/PUU-XVIII/2020. Alasan MK, pemohon tidak spesifik dan aktual menguraikan kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal 23 UU 39/2008 itu. Padahal, pemohon hanya meminta agar MK menegaskan larangan rangkap jabatan berlaku pada jabatan wakil menteri sebagaimana tertuang dalam putusan MK No. 80/PUU-XVII/2019.

  1. MK tetapkan pemilihan dan masa jabatan pimpinan pengadilan pajak

Dalam Putusan MK No. 10/PUU-XVIII/2020 tertanggal 28 September 2020, MK mengabulkan sebagian pengujian Pasal 8 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terkait mekanisme pemilihan pimpinan pengadilan pajak. Mahkamah menyatakan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai ketua dan wakil ketua pengadilan pajak diangkat oleh Presiden dari dan oleh hakim (pajak) yang sebelumnya diusulkan Menteri Keuangan dengan persetujuan Ketua MA untuk masa jabatan selama 5 tahun.

“Menyatakan Pasal 8 ayat (2) UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan, ‘Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung’, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden yang dipilih dari dan oleh para Hakim (Pajak, red) yang selanjutnya diusulkan melalui Menteri (Keuangan, red) dengan persetujuan Ketua MA untuk 1 kali masa jabatan selama 5 tahun’,” demikian amar Putusan MK No. 10/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan, Senin (28/9/2020) lalu. (Baca Juga: MK ‘Rombak’ Pemilihan dan Tetapkan Masa Jabatan Pimpinan Pengadilan Pajak)

Menurut Mahkamah, pembinaan Kementerian Keuangan kepada pengadilan pajak bukan berarti Kementerian Keuangan ikut terlibat dalam pemilihan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak karena hakim bebas dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Dengan pertimbangan ini, keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif guna menindaklanjuti hasi pemilihan ketua/wakil ketua (dari oleh para hakim pajak, red) yang diteruskan kepada Presiden setelah mendapat persetujuan Ketua MA.

Dan, terkait pengusulan pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat ketua dan wakil ketua pengadilan pajak dengan sendirinya (otomatis), keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif. “Mahkamah menyatakan pimpinan pengadilan pajak yakni ketua dan wakil ketua pengadilan pajak sangat penting diberikan batasan masa jabatan atau periodeisasi yang relevan satu kali periodeisasi masa jabatan selama lima tahun,” demikian kesimpulan Mahkamah.    

  1. Syarat usia minimal menjadi advokat  

Melalui Putusan MK No. 83/PUU-VIII/2020 tertanggal 25 November 2020, MK kembali menolak permohonan pengujian Pasal 3 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terkait syarat usia minimal 25 tahun menjadi Advokat. Permohonan ini diajukan oleh Wenro Haloho, seorang advokat magang. (Baca Juga: Alasan MK Tolak Uji Aturan Syarat Usia Advokat)

Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat, Pemohon mendalilkan Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon mendalilkan permohonan ini berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya.

Namun menurut Mahkamah, substansi alasan permohonan yang dijadikan dasar adalah sama dengan perkara Nomor 019/PUU-I/2003 yang telah diputus Mahkamah yaitu berkenaan dengan usia minimal untuk menjadi advokat. “Karena itu, Mahkamah mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019/PUU-I/2003 bertanggal 18 Oktober 2004 dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon,” demikian bunyi pertimbangan putusan.

Menurut Mahkamah, adanya syarat minimal untuk menjadi advokat yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat bukanlah suatu bentuk diskriminasi karena penentuan usia tersebut tidak didasarkan atas agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, maupun keyakinan politik.

  1.  Perusahaan Asuransi dapat menjalankan lini usaha suretyship

Dalam Putusan MK No. 5/PUU-XVIII/2020 tertanggal 25 November 2020, MK menolak pengujian Pasal 5 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang dimohonkan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) terkait perluasan bisnis usaha perusahaan asuransi.

Dalam permohonannya, AAUI meminta agar usaha asuransi umum, asuransi jiwa, asuransi umum syariah, dan asuransi jiwa syariah dapat diperluas termasuk lini usaha suretyship. Menurut pemohon, suretyship tidak diatur secara tegas dalam pasal yang diuji. (Baca Juga: MK: Perusahaan Asuransi Dapat Menjalankan Lini Usaha Suretyship)

Mahkamah menilai norma Pasal 5 ayat (1) UU Perasuransian frasa sesuai kebutuhan masyarakat” merupakan ketentuan yang perlu diakomodir dan dipertahankan untuk menyesuaikan perkembangan industri perasuransian di masyarakat. Apabila norma ini dimaknai “termasuk lini usaha suretyship” sebagaimana yang diinginkan Pemohon dalam petitum, justru akan memberi ketidakpastian hukum bagi perusahaan asuransi untuk dapat melakukan perluasan ruang lingkup usaha dan membatasi kemungkinan adanya perluasan lini usaha lain selain suretyship.

Tags:

Berita Terkait