Putusan MK Soal Uji UU BPJS Berpotensi Memunculkan Diskriminasi
Utama

Putusan MK Soal Uji UU BPJS Berpotensi Memunculkan Diskriminasi

Karena membedakan manfaat yang diterima PNS/ASN dengan pekerja/buruh swasta.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Upaya pemerintah untuk menyempurnakan pengelolaan sistem jaminan sosial menghadapi tantangan baru setelah terbit Putusan MK No.6/PUU-XVIII/2020 terkait uji materi yang membatalkan berlakunya Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU No.24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) terkait rencana pemerintah bakal mengalihkan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat pada 2029. 

Putusan yang diketok 30 September 2021 itu mengutip putusan MK yang dibacakan sebelumnya bernomor 72/PUU-XVII/2019 yang juga membatalkan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU BPJS. Salah satu pertimbangan MK, peleburan atau peralihan persero dalam penyelenggaraan jaminan sosial dari PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN yang menghendaki konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk.

Konsep peralihan kelembagaan badan penyelenggara jaminan sosial dalam BPJS Ketenagakerjaan menyebabkan hilangnya entitas persero yang mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya yang masing-masing mempunyai karakter dan kekhususan yang berbeda-beda. Untuk memenuhi prinsip gotong-royong, pembentuk UU tidak harus menjadikan semua persero penyelenggara jaminan sosial bidang ketenagakerjaan ditransformasi menjadi satu badan.

Sejalan dengan Putusan MK No.72/PUU-XVII/2019 itu, MK memutus dengan mempertahankan masing-masing persero dan mentransformasikan menjadi badan-badan penyelenggara jaminan sosial, prinsip gotong-royong tetap dapat dipenuhi secara baik. Karena itu, transformasi badan penyelenggara jaminan sosial dalam BPJS Ketenagakerjaan mengandung ketidakpastian baik karena tidak konsistennya pilihan desain kelembagaan yang diambil ataupun karena tidak adanya kepastian terkait nasib peserta yang ada di dalamnya, khususnya skema yang seharusnya mencerminkan adanya jaminan dan potensi terkuranginya nilai manfaat bagi para pesertanya.

“Menyatakan Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi Putusan MK No.6/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan, Kamis (30/9/2021) lalu. (Baca Juga: MK: Aturan Peralihan PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan Inkonstitusional)

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, menilai pertimbangan Putusan MK No.6/PUU-XVIII/2020 kurang tepat karena MK masih membedakan antara PNS/ASN dengan pekerja/buruh swasta karena dianggap memiliki karakteristik yang berbeda. “Pertimbangan MK dalam putusan ini mendukung diskriminasi antara PNS/ASN dan pekerja/buruh swasta. Semakin memperkokoh pengkastaan di Indonesia. Apakah posisi PNS lebih terhormat daripada pekerja/buruh swasta, sehingga harus mendapat jaminan sosial yang lebih baik?” ujar Timboel ketika dihubungi, Selasa (5/10/2021).

Menurut Timboel, MK seharusnya bisa melihat pelaksanaan program JKN yang dikelola BPJS Kesehatan dimana tidak ada perbedaan manfaat (diskriminasi) yang diterima PNS, TNI/Polri, dan pekerja swasta. Jika MK menginginkan manfaat PNS tidak boleh berkurang ketika program jaminan sosialnya dikelola BPJS Ketenagakerjaan, seharusnya MK menegaskan hal itu dalam putusannya. Hal tersebut akan berdampak positif terhadap manfaat yang diterima pekerja/buruh swasta.

“MK mendukung pengelolaan jaminan sosial secara terpisah-pisah dengan membiarkan adanya perbedaan manfaat antara PNS dan pekerja swasta,” tegasnya.

Timboel mencatat sedikitnya ada 3 masalah yang akan dihadapi ke depan setelah Putusan MK No.6/PUU-XVIII/2020 ini diketok. Pertama, prinsip gotong royong tidak terpenuhi, sehingga berpotensi mengancam keberlanjutan program jaminan sosial. Teori hukum bilangan besar seharusnya menjadi acuan bagi pelaksanaan asuransi termasuk jaminan sosial dimana semakin banyak peserta, maka pendapatan iuran makin banyak sehingga mampu membiayai klaim.

Timboel memberikan contoh pengelolaan program Jaminan Kematian bagi PNS oleh PT Taspen sejak 1 Juli 2015, tapi karena peserta PNS hanya 6 juta orang maka setelah berjalan 2 tahun program ini mengalami masalah pembiayaan klaim. Akibatnya PT Taspen meminta kenaikan iuran jaminan kematian dari 0,3 persen menjadi 0,72 persen dari upah.

Jika program tersebut dilebur dalam program Jaminan Kematian yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan yang peserta aktifnya mencapai 29 juta orang, maka terjadi gotong royong yang dapat membiayai klaim peserta termasuk PNS yang meninggal. “Kenaikan iuran Jaminan Kematian di PT Taspen itu membebani APBN,” paparnya.

Kedua, jika program jaminan sosial dipisah berdasarkan kepesertaan, akan ada diskriminasi manfaat dan pelayanan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tapi jika program jaminan sosial itu dilebur dalam satu program, seperti JKN maka tidak akan terjadi diskriminasi manfaat. Program jaminan sosial tidak boleh dilaksanaka bila menimbulkan diskriminatif.

Ketiga, mengacu Peraturan OJK No.1 Tahun 2016, dana kelola di BPJS Ketenagakerjaan minimal 50 persen ditempatkan pada Surat Utang Negara. Sedangkan dana yang dikelola PT Taspen minimal 30 persen. Faktanya dana kelolaan BPJS Ketenagakerjaan pada Surat Utang Negara sudah mencapai 63 persen, jauh dibandingkan yang diinvestasikan PT Taspen.

“Mengacu hal tersebut bila program jaminan sosial PNS dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan, APBN akan mendapat manfaat lebih banyak ketimbang program jaminan sosial PNS itu tetap diserahkan kepada PT Taspen.”

Menghormati

Sementara itu, Dirut BP JAMSOSTEK Anggoro Eko Cahyo dalam rilis yang diterima di Jakarta, Selasa, menyatakan sebagai pihak terkait, instansinya menghormati dan menerima putusan tersebut. "Sebagai badan hukum publik, semua kegiatan operasional BP JAMSOSTEK tentunya berdasar pada regulasi, termasuk perubahannya, seperti putusan MK ini," kata Anggoro.

Sesuai UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), dan regulasi pendukung lain, seperti Perpres No.109/2013 dan Inpres No.2/2021, BP JAMSOSTEK tetap fokus memperluas kepesertaan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek).

"Termasuk kepada seluruh pekerja di luar kategori ASN dan TNI/Polri. Kami menyasar pegawai swasta, BUMN, pekerja informal, pekerja migran, pekerja sektor jasa konstruksi, dan pegawai non-ASN," ucap Anggoro.

Perlindungan dari BP JAMSOSTEK terdiri atas Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kematian (JKM), dan yang terakhir Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Salah satu upaya dalam memperluas kepesertaan adalah terus mengedukasi pekerja, pemberi kerja, dan pemangku kepentingan lainnya tentang manfaat Jamsostek yang sangat baik dan lengkap.

Contohnya, perawatan dan pengobatan bagi korban kecelakaan kerja tanpa batasan biaya untuk peserta JKK, manfaat beasiswa hingga Rp174 juta pada program JKK dan JKM, santunan kematian sebesar Rp42 juta pada program JKM, hingga manfaat hasil pengembangan JHT di atas bunga deposito bank pemerintah. "Semua bentuk perlindungan itu dapat diraih dengan iuran yang sangat ringan," katanya.

Tags:

Berita Terkait