Putusan MK Momentum Benahi Tata Kelola Sektor Leasing
Perlindungan Konsumen 2020

Putusan MK Momentum Benahi Tata Kelola Sektor Leasing

Untuk kepastian berusaha leasing dan perlindungan konsumen sudah seharusnya UU Jaminan Fidusia dan konsepnya dilakukan pembaruan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) merilis data pengaduan konsumen sepanjang 2019. Berdasarkan jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI sepanjang 2019, prosentase pengaduan yang berasal dari sektor jasa keuangan seperti perbankan, asuransi, dan leasing berada pada posisi teratas. Tidak kurang dari 46,9 persen jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI sepanjang 2019 berasal dari sektor ini.

 

Ketua harian YLKI Tulus Abadi mengungkapkan hal ini sebenarnya bukanlah tren yang baru. Menurutnya, pengaduan konsumen untuk produk jasa keuangan merupakan salah satu yang dominan. Salah satu penyebab dari persoalan ini adalah tingkat literasi konsumen yang belum memadai dan peran regulator dalam mengawasi perilaku pelaku usaha juga ikut memberi kontribusi.

 

Hukumonline.com

Sumber: YLKI

 

Khusus di sektor pembiayaan (leasing), belum lama ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 18/PUU-XVII/2019 yang secara tidak langsung memberikan dampak terhadap konsumen (debitur) perusahaan leasing. Konsumen yang selama ini seolah memiliki posisi yang tidak setara jika dihadapkan dengan perusahaan leasing. Dengan adanya putusan MK ini konsumen dipandang kembali memiliki posisi yang lebih baik dari sebelumnya.

 

(Baca: Meneropong Perlindungan Konsumen Jasa Finansial di Tahun Tikus Logam)

 

Veri Junaidi dari kantor hukum Veri Junaidi and Associate yang mewakili kepentingan pemohon dalam Uji Materi Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia mengatakan, selama ini, implementasi kedua pasal tersebut sering mengabaikan perlindungan keadilan bagi debitur (konsumen). Menurut Veri, hal ini dikarenakan posisi antara konsumen dan perusahaan leasing sejak awal tidaklah seimbang.

 

“Karena tidak ada posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur,” ujar Veri sesaat setelah dibacakannya putusan MK awal Januari lalu. 

 

Hal ini terungkap dalam persidangan pengujian Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Jaminan Fidusia. Saat itu Tulus Abadi mengungkapkan bahwa fenomena “penyelundupan” klausula baku oleh pelaku usaha dalam perjanjian jual beli kendaraan antara konsumen dan perusahaan leasing menjadi salah satu sebab meningkatnya pengaduan konsumen. Padahal, pencantuman klausula baku ini sudah dilarang dalam pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen karena dianggap merugikan pihak konsumen.

 

(Baca: Menanti Undang-undang Khusus Fintech yang Ramah Konsumen)

 

Menurut Tulus Abadi, dalam perjanjian standar (baku), ada pelaku usaha yang menyelipkan klausula baku mulai dari menyatakan pengalihan tanggung jawab, pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang. “Dan menyatakan bahwa konsumen tunduk pada peraturan yang ditetapkan di kemudian hari, ini yang sering ‘menelikung’ konsumen ketika berinteraksi dengan sektor jasa. Salah satunya adalah jasa usaha leasing,” ungkapnya. 

 

Hukumonline.com

Sumber: YLKI

 

Karakter klausula baku yang sering YLKI temukan mengenai keluhan-keluhan konsumen cenderung menguntungkan pelaku usaha dan konsumen menjadi pihak yang dirugikan. Mengantisipasi atau mengatasi kecurangan pelaku usaha tersebut, YLKI sudah menempuh upaya diskusi dengan OJK dan Bank Indonesia (BI) agar ditentukan perjanjian jual beli standar yang memiliki karakter sama. Selain itu, YLKI mendorong agar adanya perubahan regulasi mengenai penyelundupan klausula baku ini.

 

“Substansinya (klausula baku dalam perjanjian jual beli) sangat sulit dipahami konsumen karena terlalu detail, teknis, dan kontennya juga memang (dibuat) konsumen tidak paham, bentuk dan tulisannya sangat kecil dan ngejelimet, sehingga kami pernah mengusulkan dalam diskusi di OJK dan BI bahwa diperlukan perjanjian standar yang distandardisasi oleh regulator, misalnya oleh OJK. Dalam konteks perbankan atau asuransi harusnya dibuat perjanjian standar yang karakternya sama, sehingga tidak merugikan konsumen dengan menyelundupkan pasal-pasal klausula baku,” usulnya.

 

(Baca: Urgensi Perlindungan Data Pribadi untuk Konsumen Sektor E-Commerce)

 

Hal berbeda diungkapkan oleh Notaris Ashoya Ratam. Menurut Ashoya, tidak selamanya perusahaan leasing memiliki posisi yang lebih dominan jika dibandingkan dengan konsumen dalam hubungan ini. Berdasarkan pengalaman yang dia hadapi, perusahaan leasing selaku kreditur justru memiliki posisi yang lebih rentan setelah jaminan fidusia berada pada tangan konsumen.

 

Menurut Ashoya, hal ini terjadi karena perusahaan leasing terlebih dahulu telah melunasi kewajiban pembayaran kendaraan kepada dealer kendaraan bermotor. Di saat yang sama, jaminan fidusia yang hak kepemilikannya berada pada perusahaan leasing berada dalam penguasaan konsumen. “Leasing itu ingin agar uangnya dilunasi oleh debitur (leasing),” ujar Ashoya.

 

Partner dari Kantor Hukum Assegaf Hamzah and Partner (AHP), Ibrahim Sjarief Assegaf, menegaskan bahwa hubungan antara kreditur dan debitur dalam perjanjian fidusia di saat yang sama juga merupakan hubungan antara penyedia jasa keuangan dengan konsumen. Menurut pengetahuan Ibrahim, keluhan sesungguhnya dari konsumen adalah terkait tata cara eksekusi jaminan yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan.

 

“Satu atau dua tahun lalu saya mendengar bahwa di BPSK ada ribuan keluhan nasabah terkait eksekusi perusahaan pembiayaan,” ujar Ibrahim.

 

Untuk itu, Veri Junaidi mengatakan bahwa sudah seharusnya UU Jaminan Fidusia dan konsepnya dilakukan permbaruan. Hal ini bertujuan agar meletakan posisi yang seimbang antara debitur dan kreditur. Tidak hanya memperhatikan kepentingan dan memberikan perlindungan kepada kreditur, tapi juga menempatkan debitur pada posisi yang setara.

 

Veri menilai pembuat kebijakan ke depan mesti melakukan penataan dengan segera untuk memberikan kepastian terhadap dunia usaha dengan membawa konsep baru menyusul terbitnya putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019. Veri tidak menutup mata bahwa dengan terbitnya putusan ini, dunia usaha akan menemukan hambatan berarti mengingat proses untuk mengeksekusi dan menjual benda yang merupakan Jaminan Fidusia, tidak semudah sebelum keluarnya putusan MK.

 

Menurut Veri, kondisi ini harus bisa diantisipasi oleh pembuat kebijakan agar dunia usaha memiliki kepastian hukum. Bisa mengacu pada putusan MK, besar atau kecilnya nilai Fidusia tetap harus melalui proses peradilan. Namun sebagai jalan tengah yang bisa ditempuh, Veri mengatakan tentang diperlukannya mekanisme komplain dengan proses peradilan yang sederhana, cepat, dan memiliki kepastian hukum.

 

“Dengan begitu baik kreditur maupun debitur mendapatkan kepastian hukum,” ungkap Veri.

 

Jika tidak demikian, Veri menawarkan agar antara debitur dan kreditur dapat memasukan klausul yang berisi pengaturan yang mengatur tentang bagaimana mekanisme agar debitur dapat dinyatakan cedera janji. Jalan ini menurut Veri bisa ditempuh dengan catatan terlebih dahulu dirumuskan dan disepakati oleh kedua belah pihak untuk menghindari adanya penentuan sepihak oleh kreditur.

 

“Sehingga proses tersebut dapat mendorong Debitur sukarela menyerahkan objek fidusia atau title eksekutorial dapat dilaksanakan oleh Kreditur,” pungkas Veri.

 

Tags:

Berita Terkait