Putusan MK Jadi Momentum Penguatan Penyidikan TPPU
Terbaru

Putusan MK Jadi Momentum Penguatan Penyidikan TPPU

​​​​​​​Putusan yang ditetapkan para Hakim Konstitusi menjadi momentum memperkuat rezim anti-pencucian uang Indonesia dengan dihapuskannya batasan penyidik tindak pidana asal yang sebelumnya hanya meliputi enam lembaga.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Hukumonline
Hukumonline

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review atas Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Putusan dengan nomor 15/PUU-XIX/2021 tersebut menyatakan frasa “penyidik pidana asal” dalam Pasal 74 UU TPPU memberikan pengertian dalam arti yang luas, yaitu termasuk Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Putusan MK memberi kewenangan bagi PPNS guna menyidik tindak pidana asal sekaligus penyidikan TPPU. Aturan sebelumnya, kewenangan penyidikan tersebut dibatasi kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.

“Menyatakan Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164) sepanjang kalimat “Yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”,” bunyi amar putusan MK yang dikutip Hukumonline.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Dian Ediana Rae, mengapresiasi putusan MK yang membuat penegakan hukum dalam perkara tindak pidana asal dan TPPU dapat bersifat multi-investigator. “Putusan progresif MK sangat penting dalam rangka optimalisasi penyelamatan aset atau asset recovery hasil kejahatan yang berasal dari tindak pidana kehutanan, tindak pidana lingkungan hidup, tindak pidana kelautan dan perikanan, dan seluruh tindak pidana asal dengan motif ekonomi lainnya,” ungkap Dian, Jumat (9/7).

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa secara jelas dan tegas atau expressis verbis tidak ada pengecualian pejabat yang melakukan penyidikan tindak pidana. Dengan kata lain, tidak ada alasan hukum apa pun yang dapat dibenarkan apabila penegasan norma Pasal 74 UU TPPU dimaknai secara terbatas dalam penjelasan Pasal 74 UU tersebut.

Putusan MK memiliki konsekuensi atas penjelasan Pasal 74 UU TPPU, yang harus dimaknai dengan “Yang dimaksud dengan ‘penyidik tindak pidana asal’ adalah pejabat atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan”. Atas dasar tersebut, putusan MK telah memperluas kewenangan PPNS yang sebelumnya tidak termuat dalam penjelasan Pasal 74 UU TPPU.

Bahkan, Dian juga menambahkan Otoritas Jasa Keuangan juga berhak terlibat dalam penyidikan TPPU pada sektor jasa keuangan. “Misalnya ada komplikasi pencucian pada sektor pasar modal atau jasa keuangan lain. Sehingga, membutuhkan keahlian tertentu,” tambahnya.

Baca:

Dengan perluasan lembaga dalam penyidikan TPPU, Dian berharap dapat mencegah TPPU pada sektor-sektor lainnya seperti kehutanan, kelautan dan lingkungan hidup yang risiko kerugian sulit dihitung secara pasti jumlahnya. “Bicara potensi kelautan secara menyeluruh bisa jadi ribuan triliun. Tentu juga kita lihat di kehutanan bagaimana illegal logging bisa terjadi yang kerugiannya sulit dihitung dengan uang dan kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Ia melanjutkan, putusan yang ditetapkan para Hakim Konstitusi menjadi momentum memperkuat rezim anti-pencucian uang Indonesia dengan dihapuskannya batasan penyidik tindak pidana asal yang sebelumnya hanya meliputi enam lembaga, yaitu Kepolisian Negara RI, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI.

Dian juga memuji sinergi yang terjalin apik dan positif antara PPATK dengan sejumlah lembaga penegak hukum, termasuk PPNS Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan PPNS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Diketahui, pemohon dalam perkara uji materi dengan Nomor 15/PUU-XIX/2021 ini merupakan PPNS KKP dan PPNS KLHK. Pemohon mengalami kerugian konstitusional dikarenakan keterbatasan kewenangan penyidikan perkara TPPU yang dimiliki oleh PPNS KKP dan PPNS KLHK. Para pemohon mengatakan ada pertentangan substansi antara ketentuan Pasal 74 dan Penjelasan Pasal 74 UU 8/2010 yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, Dian mendorong seluruh pihak terkait untuk meningkatkan kompetensi dan kemampuan dalam menangani perkara pencucian uang. Ia berkomitmen untuk terus memperkuat kapasitas PPATK bersama seluruh penegak hukum lainnya guna mendukung penegakan hukum anti-pencucian uang yang adil dan bermartabat. “Sinergi penegakan hukum anti-pencucian uang diharapkan dapat mendorong terwujudnya stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan,” pungkasnya.

Sebelumnya, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein menyatakan pembatasan kewenangan penyidikan kepada enam lembaga belum mampu mengatasi kejahatan TPPU karena sumber risiko tindak pidana asal TPPU tersebut semakin berkembang. Risiko tindak pidana asal TPPU dapat terjadi pada berbagai sektor seperti keuangan, kehutanan dan kelautan, lingkungan hidup, kesehatan, farmasi hingga makanan.

“Dengan enam (lembaga) saja ada aset yang tidak bisa dikejar karena TPPU dapat terjadi pada (sektor) makanan, obat-obatan, kesehatan, lingkungan hidup, keuangan, kelautan dan perikanan sehingga banyak kejahatan yang tidak mungkin dikejar sendiri. Ini menimbulkan ketidakadilan ketidakpastian hukum, kurang optimal, dan aset recovery (tidak optimal),” jelas Yunus.

Yunus menyampaikan kondisi tidak optimal tersebut berisiko mengurangi citra positif luar negeri terhadap Indonesia dalam komitmen pemberantasan TPPU. Terlebih, Indonesia sedang mengajukan diri sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF). “Dengan kurang optimalnya penegakan hukum beri penilaian kurang bagus khususnya Indonesia sedang melamar FATF. Indonesia sudah diterima sebagai observer dilihat lagi apakah Indonesia sudah bagus penerapan UU-nya,” kata Kepala Sekolah Tinggi Hukum Jentera ini.

Dia juga menceritakan pemberian kewenangan penyidikan awalnya hanya dimiliki Kepolisian. Namun seiring revisi UU TPPU pemberian kewenangan penyidikan tersebut diperluas. “Dalam perjalanannya di DPR itu (penambaha tidak mudah untuk mengubah sehingga yang terjadi membuka kewenangan pada enam penyidik saja, Polri, Kejaksaan, BNN, KPK, pajak, beacukai. Itu pembahasan 2010,” kata Yunus.

Selain itu, Yunus juga mengatakan terdapat kekeliruan pada penjelasan Pasal 74 UU 8/2010. “Secara normatif diktum pasal 74 harus lebih kuat dalam penjelasannya tapi praktik sebaliknya penjelasan membatasi hanya 6 penyidik saja. Sehingga berbeda antara diktum dan penjelasannya,” jelas Yunus.

Tags:

Berita Terkait