Putusan KPPU: sebuah Analisis Kritis
Kolom

Putusan KPPU: sebuah Analisis Kritis

Semua pihak menyambut baik lahirnya Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ("Undang-Undang Anti Monopoli"). Undang-undang ini diharapkan akan menjadi senjata pamungkas untuk memberantas praktek-praktek monopoli yang terjadi pada masa lalu.

Bacaan 2 Menit

Dalam kerangka Pasal 22 UU Anti Monopoli, yang dilarang adalah persekongkolan antara "pelaku usaha" dengan "pihak lain". Yang dimaksud dengan "pelaku usaha" dalam Pasal 22 UU Anti Monopoli adalah pelaku usaha peserta tender, sedangkan "pihak lain" adalah pihak yang bukan peserta tender. Sehingga, maksud ketentuan tersebut adalah pelaku usaha peserta tender dilarang bersekongkol dengan pihak lain yang  bukan peserta tender.

Seharusnya, KPPU menempatkan subyek hukum mana  yang dimaksud dengan "pelaku usaha" dan "pihak lain", di mana satu subyek hukum tidak bisa menempati dua kapasitas sekaligus. Putusan KPPU yang menempatkan Holdiko, Deloitte, Trimegah, Pranata Hajadi, Jimmy Masrin dalam dua kapasitas adalah bertentangan satu dengan lain dan dan sukar dimengerti serta tidak cukup dipertimbangkan. Hal demikian dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara yang dapat mengakibatkan batalnya suatu putusan sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran MARI No. M.A./Pemb. 1154/74 tanggal 25 Nopember 1974 dan jurisprudensi MA.

Mengenai larangan: Unsur "dilarang" erat kaitannya dengan sanksi hukuman yang dapat dikenakan sesuai dengan kewenangan KPPU dan kepada siapa larangan itu dapat diterapkan. KPPU menghukum pihak-pihak yang bukan peserta tender. Hal mana bertentangan dengan Pasal 47 UU Anti Monopoli, yang berbunyi: "Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini".

Seandainya KPPU menemukan adanya persekongkolan tender dalam transaksi Indomobil, kewenangan KPPU hanya terbatas pada menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha peserta tender, dan bukan kepada "pihak lain" yang bukan peserta tender. Pemeriksaan dan penghukuman terhadap "pihak lain" termasuk dalam ruang lingkup pidana dan merupakan kewenangan dari pengadilan negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat 2 UU Anti Monopoli. Dengan demikian, penghukuman yang dijatuhkan oleh KPPU kepada pihak yang bukan peserta tender, Holdiko, Deloitte, Trimegah, CSDP, Pranata Hajadi, Jimmy Masrin dan BAM, tidak tepat.

Mengenai persekokongkolan: Fakta-fakta yang dikonstatir oleh KPPU untuk membuktikan adanya "sekongkol" sangat sangat asumtif dan tidak konkrit. Pertimbangan KPPU untuk menyimpulkan adanya sekongkol, antara lain, karena (i) adanya dokumen tender yang mirip dalam hal penggunaan kata yang mirip yang dipakai oleh CSDP dan Alpha seperti:  "We refer to ... " dan "Should you require clarification or wish to discuss any aspect of our Binding Bid, please do not hesitate to contact us"; (ii) usulan peniadaan bid deposit dari Alpha, CSDP dan BAM; dan (iii) penggunaan account pembayaran bid deposit.

Urutan alat-alat bukti yang dipergunakan dalam Pasal 42 UU Anti Monopoli sama persis dengan urutan alat-alat bukti dalam hukum acara pidana. Pembuktian hukum pidana menuntut pembuktian secara materil, berbeda halnya dengan pembuktian formal yang diterapkan dalam perkara perdata. Pembuktian materil menekankan kebenaran hakiki dan materi dari suatu fakta, yang tidak hanya menilik kebenaran formalnya. Sementara pembuktian formal lebih menekankan pada kebenaran formal dari suatu fakta.

Menurut hemat penulis, alasan pembentuk undang-undang untuk menerapkan pembuktian materil karena tidak mungkin dalam tenggang waktu 30 hari Pengadilan Negeri dapat memeriksa secara materil keberatan dari pihak yang berkeberatan terhadap putusan KPPU dan hal-hal yang dilarang dalam UU Anti Monopoli. Termasuk juga masalah pidana, sehingga adalah tugas KPPU untuk memeriksanya secara materil. Kalau dibaca keseluruhan putusan KPPU, pembuktian yang diterapkan adalah pembuktian formal, dan bukan materil.

Tags: