Putusan IKAHI Bakal Diadukan ke Dewan Etik
Berita

Putusan IKAHI Bakal Diadukan ke Dewan Etik

KY menyesalkan putusan MK yang menghapus kewenangannya dalam seleksi calon hakim ini.

ASH
Bacaan 2 Menit
Acara deklarasi FKHK di Jakarta. Foto: ISTIMEWA
Acara deklarasi FKHK di Jakarta. Foto: ISTIMEWA

Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) merasa kecewa dengan sikap Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap meneruskan sidang dan bahkan mengabulkan uji materi sejumlah pasal dalam tiga paket UU Peradilan yang dimohonkan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Pasalnya, FKHK memandang putusan itu cacat hukum karena mengandung konflik kepentingan yang mengakibatkan batal demi hukum.

“Kami dari FKHK selaku pihak terkait kontra permohonan pemohon (IKAHI) melihat ada keganjilan dalam proses sidang tersebut,” kata Ketua Umum FKHK, Victor Santoso Tandiasa saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (10/10).

Dia meyayangkan sikap MK yang tetap melanjutkan proses sidang pengujian tiga paket UU Peradilan tersebut. Padahal, pihaknya telah mengajukan surat keberatan agar keberadaan tiga hakim konstitusi dari Mahkamah Agung (MA) yakni Anwar Usman, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul agar mengundurkan diri. Soalnya, ketiga hakim MK itu sebelumnya hakim nonaktif dari Pengadilan Tinggi dan MA yang notabene anggota IKAHI nonaktif.

“Ketika nanti selesai masa jabatannya di MK, mereka akan kembali aktif menjadi hakim di tempat asalnya dan keanggotaan IKAHI pun tetap melekat,” ujar Victor.

Dia menilai, putusan MK yang mengabulkan permohonan IKAHI itu melanggar Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Aturan itu menyebutkan “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”

Dalam ayat (6)-nya disebutkan “dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yg bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

“Karena itu, kami memandang putusan MK yang mengabulkan permohonan IKAHI tersebut cacat hukum dan kita akan mengadukan ke Dewan Etik MK. Kalau ini benar-benar ada pelanggaran Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman, kita akan adukan Senin atau Selasa pekan depan,” katanya. 

Dia menambahkan dalam sidang keempat setelah FKHK diperbolehkan menjadi pihak terkait, sebelumnya telah diajukan surat keberatan agar tiga hakim konstitusi yang dimaksud mengundurkan diri. Namun, MK tidak menanggapi keberatan ini baik secara lisan maupun secara tertulis. Saat sidang kelima, ketika menanyakan langsung tindak lanjut surat keberatan itu, justru respon Ketua Majelis MK mengecewakan.

“Dengan nada tinggi, Ketua Majelis MK (Arief Hidayat) meminta menghentikan pertanyaan kami yang belum selesai disampaikan,” sesalnya.

Menyesalkan
Terpisah, Komisioner KY Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrohman Syahuri menyesalkan putusan MK yang menghapus wewenang KY dalam seleksi calon hakim bersama MA. Dengan putusan MK ini berarti mengembalikan ke satu lembaga untuk rekrutmen dan mutasi hakim yakni hanya MA. “Padahal, politik hukum amanat reformasi yang menginginkan keterlibatan dua lembaga yakni MA dan KY dalam rekrutmen hakim pupus sudah,” kata Taufiq dalam pesan singkatnya.

‎Dia menjelaskan, di era orde baru, rekrutmen hakim menjadi wewenang Dirjen Badan Peradilan Umum dan TUN Departemen Kehakiman, sehingga bisa dikatakan potensial mengganggu independensi hakim. Maka itu, dulu muncul istilah hakim itu kepalanya (pikiran) ada di MA sedang perutnya (administrasi, keuangan, rekrutmen, mutasi) ada di Departemen Kehakiman (pemerintah).

“Ini yang seharusnya dianggap mengganggu independensi hakim. Soalnya, baik rekrutmen maupun mutasi hakim di tangan satu lembaga yakni Departemen Kehakiman,” lanjutnya.

Menurutnya, sesuai UUD 1945 kekuasaan kehakiman diartikan menjalankan fungsi peradilan dalam rangka menegakan hukum dan keadilan. Karena itu, KY juga sebenarnya pelaku kekuasaan kehakiman (yudisial), bukan hanya sekedar pendukung kekuasaan kehakiman (state auxiliary organ), tetapi di bidang penegakan etika hakim, sehingga muncul peradilan etik (court of ethic). Sedangkan MA dan MK melaksanakan kekuasaan kehakiman di bidang hukum sehingga muncul peradilan hukum (court of law)

“Apakah ini dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan rekrutmen hakim juga, sehingga KY dianggap tidak berwenang?” keluhnya.

Meski begitu, kata Taufiq, apapun putusan MK tetap harus dihormati dan dilaksanakan. “MK kan pemegang otoritas tafsir konstitusi ya harus dihormati, meskipun kemungkinan ada phak-pihak yang kecewa dengan putusan tersebut,” katanya.

Sebelumnya, melalui putusan bernomor 43/PUU XIII/2015, MK mengabulkan permohonan IKAHI atas pengujian sejumlah pasal dalam tiga paket UU bidang peradilan yang dimohonkan IKAHI yang mempersoalkan keterlibatan KY dalam seleksi calon hakim. MK memutuskan seleksi calon hakim sepenuhnya menjadi wewenang MA.

MK menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan begitu, KY tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon hakim di tiga lingkungan peradilan meski kewenangan ini belum dilaksanakan KY bersama MA.

Tags:

Berita Terkait