Putusan Etik Kasus Siyono Dinilai Tidak Memenuhi Rasa Keadilan
Berita

Putusan Etik Kasus Siyono Dinilai Tidak Memenuhi Rasa Keadilan

Dua anggota Densus 88 hanya dijatuhi sanksi berupa demosi dan meminta maaf terhadap institusi Polri. Polri harus memulai proses penyidikan pidana.

ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: Kontras.org
Foto: Kontras.org
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kecewa terhadap putusan sidang etik terhadap anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 dalam kasus tewasnya terduga teroris, Siyono. Wakil Koordinator KontraS bidang advokasi, Yati Andriyani mengatakan,dari informasi yang diperoleh KontraS, Majelis Etika Mabes Polri telah membacakan putusan terhadap dua anggota Densus 88 yakni AKBP T dan Ipda H.

Vonis dijatuhkan berupa kewajiban meminta maaf kepada atasan ataupun institusi Polri, serta demosi berupa tidak direkomendasikan untuk bertugas di Densus 88 dan akan dipindahkan ke satuan kerja lain dalam waktu minimal 4 tahun. Majelis etik menganggap kedua anggota Densus 88 itu hanya melakukan pelanggaran prosedur pengawalan saat menangkap Siyono.

“Ini tidak memberi rasa keadilan bagi keluarga korban,” kata Yati dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (16/5).

Yati menyorot beberapa hal dalam pelaksanaan sidang etik itu. Pertama, sejak awal persidangan dilakukan secara tertutup. Itu membuat masyarakat dan keluarga korban tidak bisa memantau proses sidang etik. Kedua, putusan tidak memberi sanksi yang adil. Mestinya sanksi berat dijatuhkan karena Siyono tewas akibat tindakan Densus 88.

Alih-alih memberi keadilan, Yati menilai Polri menggunakan sidang etik ini sebagai mekanisme internal untuk “melindungi” anggotanya. “Perlu diingat, Siyono ini tewas sebagai terduga teroris,” tegasnya.

Bagi Yati mekanisme hukum sangat dibutuhkan sebagai upaya masyarakat memantau kinerja Densus 88. Itu diperlukan guna mencegah kesewenang-wenangan aparat sehingga orang tidak mudah dihabisi nyawanya ketika diduga teroris.

Staf Divisi Advokasi Sipil dan Politik KontraS, Satrio Abdillah Wirataru, menemukan kejanggalan dalam sidang etik tersebut. Antaralain, orang tua Siyono yang dipanggil untuk bersaksi dalam sidang etik tidak dibolehkan majelis untuk didampingi kuasa hukum dengan alasan sidang tertutup. Ujungnya, pihak keluarga korban tidak ada yang mau memberi kesaksian karena tidak ada pendamping. Hanya saksi dari pihak kepolisian yang memberi keterangan dalam persidangan tersebut.

“Melihat hal itu kami menilai hasil sidang etik ini tidak akan memuaskan bagi korban. Ini sandiwara hukum saja, seolah polisi sudah melewati proses hukum,” ujar pria yang disapa Wira itu.

Menurut Wira, sebelum disidang etik, anggota Densus 88 itu mestinya diproses terlebih dulu lewat mekanisme pidana. Polri bisa langsung melakukan penyidikan karena peristiwa yang menimpa Siyono itu diduga kuat penyiksaan, penganiayaan dan pembunuhan. Jika putusan pidana itu menjatuhkan sanksi lebih dari 4 tahun, majelis etik bisa menggunakannya sebagai dasar untuk memberikan hukuman terberat berupa pemberhentian tidak dengan hormat.

Sayangnya, mekanisme itu tidak dilakukan sehingga putusan sidang etik jauh dari pemenuhan rasa keadilan bagi korban. Dalam putusannya, majelis etik tidak mewajibkan dua orang anggota Densus 88 yang divonis itu meminta maaf kepada korban. Padahal, korban dan keluarganya sebagai pihak yang dirugikan. “Ini menunjukan institusi Polri enggan mengakui kesalahannya,” urai Wira.

Wira menekankan agar proses pidana terhadap anggota Densus 88 atas kasus Siyono segera dimulai. Kapolri perlu memastikan seluruh proses pidana itu dilakukan terbuka dan dapat dipantau publik. Selain itu menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada keluarga korban atas tindakan anggotanya yang sewenang-wenang dan melawan hukum.

Selain itu Kadensus 88 harus bertanggungjawab atas kelalaian anggotanya dengan cara memberi rehabilitasi dan restitusi secara resmi terhadap keluarga Siyono. “Daripada memberikan uang Rp100 juta kepada keluarga korban secara informal lebih baik menggunakan mekanisme yang resmi,” tukasnya.

Wira beraharap penyelesaian kasus tewasnya Siyono oleh anggota Densus 88 ini harus berjalan dengan baik sesuai aturan hukum. KontraS mencatat sejak tahun 2002 lebih dari 121 terduga teroris tewas. Penuntasan kasus Siyono dapat menjadi preseden dalam penyelesaian masalah yang kerap terjadi dalam penanganan terorisme yakni tewasnya
terduga teroris.
Tags:

Berita Terkait