Putusan DKPP Terhadap Ketua dan Anggota KPU Tak Pengaruhi Penetapan Capres-Cawapres
Terbaru

Putusan DKPP Terhadap Ketua dan Anggota KPU Tak Pengaruhi Penetapan Capres-Cawapres

Apa yang telah dilakukan KPU dinilai telah sesuai koridor hukum. Apabila tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi maka KPU dianggap tidak professional dan melanggar etik.

M. Agus Yozami
Bacaan 3 Menit
Acara diskusi bertema Menjelang Putusan DKPP: Problematika Etik Hantui Penyelenggaraan Pilpres 2024, pada Rabu (27/12), di Jakarta. Foto: YOZ
Acara diskusi bertema Menjelang Putusan DKPP: Problematika Etik Hantui Penyelenggaraan Pilpres 2024, pada Rabu (27/12), di Jakarta. Foto: YOZ

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menggelar sidang pemeriksaan untuk empat perkara dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP), Jumat (22/12). Keempat perkara tersebut diadukan oleh Demas Brian Wicaksono (Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023), Iman Munandar B. (perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), P.H. Hariyanto (perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).

Keempat Pengadu tersebut mengadukan Ketua dan enam Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari, Betty Epsilon Idroos, Mochammad Afifuddin, Persadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz.

Para Teradu didalilkan telah menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden pada tanggal 25 Oktober 2023. Menurut para Pengadu, hal itu tidak sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden karena para Teradu belum merevisi atau mengubah peraturan terkait pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/202.

Baca juga:

Pengadu menduga bahwa tindakan para Teradu yang membiarkan Gibran Rakabuming Raka terus menerus mengikuti tahapan pencalonan tersebut telah jelas-jelas melanggar prinsip berkepastian hukum.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Radian Syam, berpendapat apapun putusan yang akan dikeluarkan DKPP tidak akan mengubah ketetapan yang dikeluarkan oleh KPU. Artinya, penetapan capres-cawapres yang telah dikeluarkan oleh KPU tetap berjalan.

“Kalau pun DKPP memutus mereka (pihak teradu -Red) bersalah, penetapan yang dikeluarkan oleh KPU tetap sah,” ujar Radian dalam acara diskusi bertema “Menjelang Putusan DKPP: Problematika Etik Hantui Penyelenggaraan Pilpres 2024,” pada Rabu (27/12), di Jakarta.

Namun Radian melihat apa yang telah dilakukan KPU telah sesuai koridor hukum. Pasalnya, apabila KPU tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), itu termasuk pelanggaran etik dan tidak profesional.

“Saya menilai putusan MK harus dijalankan karena berlaku untuk semua, jadi Ketika MK sudah memutus maka KPU harus menjalankan,” kata Radian.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Hurriyah, menyatakan demokrasi di Indonesia saat ini memang sudah bermasalah sejak kepala daerah atau kepala negara mendorong, membiarkan atau berusaha untuk mengajukan keluarga maupun kerabatnya maju dalam kontestasi politik.

“Ini adalah persoalan utama demokrasi kita saat ini,” kata Hurriyah di acara yang sama.

Praktik politik dinasti memang tidak dilarang oleh undang-undang, namun apa yang tidak dilarang oleh undang-undang, menurut Hurriyah, itu telah masuk ke ranah etik. Oleh karenanya masyarakat bisa menilai bagaimana kualitas moral para politisi dari cara mereka memperlakukan etik.

Hurriyah sependapat dengan Radian bahwa DKPP tidak akan memberikan putusan yang drastis, seperti memberhentikan atau membatalkan pencalonan capres-cawapres. Artinya, putusan DKPP menyoal tentang etik hanya memberi informasi bahwa ada problem etik dalam penyelenggara pemilu atau peserta pemilu, tetapi itu tidak akan mengubah permainan yang saat ini sedang berjalan.

“Putusan yang jelas-jelas melanggar UU saja dan sudah diputus oleh MK, kalau kita bicara soal keterwakilan politik perempuan, itu hanya berakhir pada putusan sebatas teguran,” ujarnya.

Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies (ILDES), Juhaidy Rizaldy, menyoroti tidak adanya standardisasi etik nasional. Menurutnya, Indonesia belum memiliki standardisasi etik secara nasional sampai saat ini. Masing-masing lembaga justru memiliki standardisasi etik sendiri.

Juhaidy mengatakan ke depan sistem etik nasional harus didorong dan ditata bersama, sehingga norma etik harus memiliki standardisasi. Berdasarkan hasil riset ILDES, salah satu lembaga yang menjalankan peradilan etik dengan benar dan terbuka adalah DKPP.

“Bicara etik bukan hanya berkaitan dengan penyelenggaraan pilpres atau pemilu, tapi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat,” katanya. 

Tags:

Berita Terkait