Putusan Advokat Boleh Tangani Perkara Pajak, Begini Pandangan Pakar
Berita

Putusan Advokat Boleh Tangani Perkara Pajak, Begini Pandangan Pakar

Uji Kompetensi bagi kuasa wajib pajak tetap diperlukan. Kementerian Keuangan diminta segera merevisi PMK No. 229/PMK.03/2014 dengan menyesuaikan maksud dari putusan MK ini.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Pajak di Jakarta. Foto: RES
Pengadilan Pajak di Jakarta. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutus bahwa advokat dan profesi lain dapat menjadi kuasa hukum wajib pajak (WP) terkait pengujian Pasal 32 ayat (3a) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang syarat dan pelaksanaannya diatur Menteri Keuangan.

 

Putusan MK No. 63/PUU-XV/2017 ini telah memberi kesempatan bagi profesi lain termasuk advokat untuk dapat menjadi kuasa hukum WP yang sebelumnya hanya berlaku bagi konsultan pajak dan pegawai internal WP seperti diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 229/PMK.03/2014.  

 

Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menyambut positif putusan MK tersebut. Sebab, selama ini ada profesi lain (advokat) yang memiliki kompetensi perpajakan tidak dapat menerima kuasa dari WP baik dalam pengurusan pelaporan pajak maupun menangani sengketa pajak sebelum mengantongi izin dari Kemenkeu.   

 

“Yang salah itu adalah peraturan menterinya (PMK 229/2014) yang mempersempit pemberian kuasa hanya kepada konsultan dan karyawan,” kata Yustinus kepada Hukumonline, Jumat (27/4/2018) di Jakarta. Baca Juga: Kini, Advokat Boleh Tangani Sengketa Pajak Tanpa Syarat

 

Yustinus menilai PMK tersebut sebenarnya bertentangan dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam UU No. 28 Tahun 2007 itu, boleh memberi kuasa pengurusan pajak pada setiap pihak. Hanya saja, UU itu mendelegasikan pengaturannya melalui PMK.

 

Meski putusan MK itu tersirat tidak wajib sertipikasi pajak dari Kemenkeu, dia berpendapat tetap perlu uji kompetensi bagi konsultan pajak atau profesi lain, seperti advokat untuk dapat menerima kuasa pengurusan pajak untuk memastikan bahwa yang bersangkutan memahami bidang perpajakan. Hal ini untuk mencegah pengurusan pajak ditangani oleh pihak yang tidak berkompeten yang bisa berakibat kerugian bagi WP.

 

“Harus ada pengaturan (lebih lanjut melalui PMK). Kalau tidak ada, maka konsumen atau tax payer-nya sendiri bisa rugi. Bisa saja tax payer mendapat konsultan yang salah atau kompeten. Pemerintahlah yang bertugas mengatakan (pengaturan) itu,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) ini.  

 

Apalagi, hingga saat ini belum memiliki payung hukum yang mengatur tentang profesi konsultan pajak. Saat ini, DPR masih membahas Rancangan Undang Undang Konsultan Pajak yang sudah masuk dalam Program Legislatif Nasional 2018. Dalam draft RUU tersebut, salah satunya mengatur tentang sertifikasi bagi pihak yang dapat diangkat menjadi konsultan pajak.

 

Menurutnya, adanya putusan MK itu menjadi moment yang tepat agar RUU Konsultan Pajak tersebut perlu segera dibahas dan disahkan agar memberi kepastian hukum sekaligus memberi kejelasan aturan main dalam hal pemberian kuasa bagi WP. “Silakan saja nanti pakai UU Konsultan Pajak. Yang terpenting bagaimana agar pihak yang berhak menjadi konsultan pajak bersikap profesional dan akuntabel,” kata dia.

 

Dia menerangkan praktik di negara-negara lain, pengurusan pajak tidak hanya dikuasakan kepada konsultan pajak dan karyawan dari WP tersebut, tetapi boleh dikuasakan kepada profesi lain. “Di negara lain, ekonom dan lawyer itu bisa menerima kuasa pengurusan pajak melalui sertifikasi. Ini harusnya diakomodir,” usulnya.

 

Revisi PMK

Senada, Manajer Tax Compliance and Litigation Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Ganda Christian Tobing menilai hak menunjuk orang yang dinilai berkompeten masalah perpajakan menandakan kebebasan dan kemandirian WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. “Hak WP untuk menunjuk seseorang sebagai kuasa termasuk aturan substantif yang seharusnya tidak dibatasi oleh Peraturan Menteri,” ujar Ganda dalam artikelnya berjudul “Implikasi Putusan MK No. 63/PUU-XV/2017 bagi Kuasa Wajib Pajak” yang termuat dalam situs news.ddtc.co.id.  

 

Ganda menilai pemerintah perlu segera merevisi PMK-229/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa agar menyesuaikan dengan perintah putusan MK dalam amar putusannya. Revisi tersebut mengatur hal-hal yang bersifat teknis administratif dan tidak membatasi hak dan kewajiban konstitusional warga negara. 

 

Pengaturan hal-hal yang bersifat teknis administratif tersebut, misalnya mensyaratkan penerima kuasa menunjukkan atau menyerahkan salinan ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sertifikat brevet pajak, izin konsultan pajak (sertipikasi), atau izin kuasa hukum pengadilan pajak.

 

Menurutnya, dalam Putusan MK tersebut pihak yang bisa menjadi kuasa WP, minimal memiliki sertifikat brevet perpajakan dari lembaga pendidikan kursus brevet pajak dan izin kuasa hukum Pengadilan Pajak sudah cukup memenuhi syarat diangkat sebagai konsultan pajak.

 

“Pihak yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi bidang perpajakan dianggap memiliki keahlian pajak. Dia patut dianggap sudah mengikuti standar kompetensi dan telah melewati berbagai eksaminasi selama menempuh proses pendidikan tinggi.  Nantinya, organisasi profesi pajak ke depan seharusnya hanya mengatur etika dan standar profesi untuk kuasa WP melalui pendidikan berkelanjutan,” harapnya.

 

Sebelumnya, advokat Petrus Bala Pattyona mempersoalkan Pasal 32 ayat (3a) UU KUHP karena memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan menentukan syarat serta pelaksanaan hak dan kewajiban kuasa wajib pajak. Secara teknis, kewajiban sertifikasi kuasa hukum wajib pajak ini diatur melalui PMK No. 229/PMK.03/2014 tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Kuasa; PMK No. lit/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak; PMK No. 61/PMK.01/2012 tentang Persyaratan untuk menjadi Kuasa Hukum Pengadilan Pajak.

 

Sementara Menteri Keuangan memiliki kewenangan absolut terhadap pencabutan izin praktik advokat di Pengadilan Pajak. Hal ini diatur Pasal 26 PMK No. 11/1PMK.03/2014 tentang Teguran, Pembekuan, dan Pencabutan izin Praktik. Bunyinya, “Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang memberikan teguran tertulis, menetapkan pembekuan izin praktik, dan menetapkan pencabutan izin praktik.”

 

Dengan begitu, pasal itu dinilai telah membatasi ruang gerak advokat ketika menangani perkara pajak karena belum bersertifikasi sebagaimana Konsultan Pajak, sehingga selalu ditolak oleh Kantor Pelayanan Pajak. Pemohon pernah ditolak oleh Kantor Pajak Bantul saat memberikan bantuan hukum kepada kliennya padahal Pemohon adalah seorang advokat.

Tags:

Berita Terkait