Punya Peran Besar, Syafruddin Dituntut 15 Tahun Penjara
Utama

Punya Peran Besar, Syafruddin Dituntut 15 Tahun Penjara

Ia dianggap terbukti bersalah memperkaya Sjamsul Nursalim sebesar Rp4,58 triliun. Tetapi, menurut kuasa hukumnya, Syafruddin sudah serahkan seluruh tanggung jawab BPPN ke Menteri Keuangan tahun 2004 dan menyerahkan hak tagih Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin Dipasena.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Syafruddin Arsyad Tumenggung (rompi oranye) usai diperiksa KPK. Foto: RES
Syafruddin Arsyad Tumenggung (rompi oranye) usai diperiksa KPK. Foto: RES

Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, menuntut Syafruddin Arsyad Tumenggung dengan pidana penjara selama 15 tahun. Ia juga diharuskan membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

 

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Sjamsul Nursalim selaku pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

 

Surat tuntutan setebal 1.354 halaman ini dibacakan secara bergantian oleh penuntut umum KPK yaitu Kiki Ahmad Yani, I Wayan Riana, Ferdian Adi Nugroho, Amir Nurdianto, Haerudin, Moh. Helmi Syarif, Dian Hamisena dan juga Putra Iskandar.

 

Menurut Jaksa, Syafruddin selaku Kepala BPPN secara sadar melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Selain itu, ia juga menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham meskipun Sjamsul belum melaksanakan kewajibannya.

 

"Selama persidangan tidak ditemukan adanya alasan penghapusan pidana baik alasan pembenar ataupun pemaaf yang dapat menghapus sifat pertanggungjawaban pidana pada diri terdakwa," kata Jaksa Haerudin di Pengadilan Tipikor, Jakata, Senin (3/9/2018).

 

Ada yang menarik dari pertimbangan memberatkan penuntut umum dalam memberikan tuntutan. Meskipun dituntut cukup tinggi, Syafruddin dianggap bukanlah pelaku utama dalam perkara ini, tetapi hanya dilabeli sebagai peserta yang aktif.

 

"Terdakwa terbukti merupakan peserta/pelaku yang aktif melakukan peran yang besar dalam pelaksanaan kejahatan," ujar Jaksa Haerudin.

 

Sementara pertimbangan memberatkan lainnya Syafruddin dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, adanya perencanaan kejahatan, kerugian keuangan negara yang cukup besar dan juga ia tidak mengakui perbuatan.

 

"Terdakwa belum pernah dihukum, Terdakwa sopan di persidangan," kata Jaksa Haerudin memberikan pertimbangan memberatkan. Baca Juga: Begini Cara Syafruddin Diduga Perkara Sjamsul Nursalim Rp4,58 Triliun

 

Misrepresentasi

Penuntut umum KPK lain, I Wayan Riana menyatakan Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI mempunyai kewajiban sebesar Rp47,25 triliun dikurangi aset sebesar Rp18,85 triliun yang salah satunya merupakan pinjaman kepada petani tambak sebesar Rp4,8 triliun.

 

"Namun Sjamsul Nursalim menyampaikan kepada BPPN bahwa hutang Rp4,8 triliun itu seolah-olah lancar, namun sebagaimana dilakukan audit due diligence oleh kantor akuntan publik Prasetyo Utomo dan Arthur Anderson disimpulkan kredit tambak plasma PT DCD dan PT WM itu digolongkan macet," jelas Jaksa Wayan.

 

Tetapi SKL tetap diberikan Sjamsul Nursalim. Berdasarkan audit investigasi yang dilakukan oleh BPK disimpulkan adanya penyimpangan yang dilakukan pihak terkait termasuk oleh Syafruddin selaku Kepala BPPN karena memberikan SKL walaupun Sjamsul belum membayar kewajiban atas representasi piutang BDNI kepada petambak yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp4,58 miliar.

 

Sebelum memberikan tuntutan, Jaksa telah meminta keterangan 56 orang saksi. Dan dari keterangan saksi, ahli, bukti maupun keterangan terdakwa, penuntut umum menyimpulkan Syafruddin terbukti melanggar surat dakwaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31/99 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Tidak terungkap kesalahan

Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Syafruddin menganggap tuntutan Jaksa hanya sebatas mengulang surat dakwaan. Sebab, dalam proses persidangan tidak terungkap kesalahan yang dilakukan kliennya. 

 

Menurut Yusril, satu hal prinsipil yang tidak diungkapkan oleh penuntut umum dalam tuntutan adalah kapan tindak pidana itu terjadi. Padahal, seluruh saksi yang hadir mengatakan kerugian negara terjadi pada 2007.

 

"Pak Syafruddin sudah serahkan seluruh tanggung jawab BPPN ke Menteri Keuangan tahun 2004 dan menyerahkan hak tagih Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin Dipasena," kata Yusril usai sidang. 

 

Dengan adanya proses tersebut, seharusnya tanggung jawab kliennya sudah selesai. Selanjutnya tiga tahun setelah itu hutang petambak dijual Dipasena dengan persetujuan pemerintah setelah adanya audit dari BPK pada 2007.

 

"Karena itu, dalam dakwaan tempus delictie sangat penting. Kapan suatu pidana itu terjadi. Kalau Pak Syafruddin sudah selesai pada 2004, dan tindak pidana baru terjadi pada 2007 dan dilakukan oleh pt xxx, maka tempus delictie tidak dapat dibebankan kepada terdakwa," katanya. 

Tags:

Berita Terkait