Punya Panel Surya di Atap Gedung? Aturan Ini Perlu Dipahami
Berita

Punya Panel Surya di Atap Gedung? Aturan Ini Perlu Dipahami

Nilai transaksi kredit listrik yang lebih rendah dalam Permen ESDM ini akan memperpanjang payback period pengguna rooftop solar dari 7-8 tahun menjadi 11-12 tahun

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
PLN. Foto: SGP
PLN. Foto: SGP

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkt Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap oleh Konsumen PT PLN. Ketentuan ini perlu dipahami oleh mereka yang punya panel surya di atap rumahnya.

 

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi langkah ini sebagai salah satu kemajuan dalam agenda pencapaian target energi terbarukan di Indonesia. Permen ESDM No. 49 Tahun 2018 mengatur hal-hal mendasar untuk mendorong percepatan pembangunan energi surya, khususnya rooftop solar (panel surya), di Indonesia. Isinya antara lain ketentuan teknis mengenai kapasitas pemasangan panel di atap rumah atau gedung, skema transaksi kredit listrik dengan PLN, prosedur perizinan dan pemasangan, serta prosedur penggunaan rooftop solar bagi pelanggan industri.

 

IESR menilai pokok bahasan yang diatur dengan Permen ini berpotensi menghambat adopsi penggunaan rooftop solar oleh pelanggan rumah tangga dan industri. “Permen ESDM ini berpotensi membuang peluang dan kesempatan investasi rakyat terhadap 15-20GW PLTS Atap,” ujar Direktur IESR Fabby Tumiwa, dalam diskusi media, Senin (3/12), di Jakarta.

 

(Baca juga: Aturan PLTS Atap Terbit untuk Hadapi Era Electricity 4.0)

 

Dalam peraturan ini, nilai transaksi kredit listrik berlebih yang diekspor ke PLN oleh pelanggan dikali dengan 65 persen dan diberlakukan siklus tiga bulanan. Angka ini lebih kecil dibanding dengan nilai transaksi kredit listik yang sebelumnya diatur Peraturan Direksi PLN No. 0733.K/DIR/2013 yang memberikan besaran transaksi 1:1. Studi pasar yang dilakukan IESR dengan GIZ-INFIS menunjukkan salah satu motivasi masyarakat menggunakan rooftop solar adalah potensi payback period yang pendek. Payback period adalah metode evaluasi kelayakan suatu investasi dengan mencari periode yang diperlukan untuk mengembalikan nilai investasi yang telah dikeluarkan.

 

Nilai transaksi kredit listrik yang lebih rendah dalam Permen ESDM ini akan memperpanjang payback period pengguna rooftop solar dari 7-8 tahun menjadi 11-12 tahun dan membuat keekonomiannya kurang menarik bagi masyarakat. Salah satu keberatan yang diungkapkan PLN mengenai besaran tarif ekspor listrik ini adalah berkurangnya pendapatan PLN dari penjualan listrik.

 

IESR telah melakukan simulasi dan mencatat PLN hanya akan kehilangan revenue sebesar 0,42 persen jika target Gerakan Nasional Sejuta Surya Atap tercapai yaitu akumulasi 1 giga watt (GW) rooftop solar pada tahun 2020. Dengan proyeksi pendapatan PLN sebesar Rp348 triliun, potensi revenue loss dengan adanya 1 GW solar rooftop berada di kisaran Rp1,5 triliun. Selain tarif ekspor listrik, akumulasi selisih kelebihan ekspor listrik rooftop solar ke PLN juga diperpendek dibanding peraturan sebelumnya, yaitu tiga bulan. Dengan periode yang jauh lebih pendek, excess power yang diekspor oleh pelanggan menjadi tidak berlaku setelah periode tiga bulan berakhir. “Jadinya didonasikan ke PLN,” ujar Fabby.

 

Dari sisi tujuan dikeluarkannya Permen ESDM ini, menyebutkan secara eksplisit bahwa regulasi ini dibuat untuk menghemat konsumsi listrik dan tidak secara langsung menyasar agenda percepatan pencapaian target energi terbarukan di Indonesia. Menurut IESR, tujuan  peraturan ini masih bersifat jangka pendek, dan seharusnya dapat diperdalam dengan tujuan yang lebih visioner dalam menyusun kerangka regulasi yang dapat membantu pemerintah untuk mewujudkan target kebijakan energi nasional.

 

Terkait kemudahan prosedur pemasangan rooftop solar, Permen ESDM ini menyaratkan pelanggan untuk mengajukan izin terlebih dahulu pada kantor regional PLN. Hal ini memberikan kewenangan mutlak pada PLN sebelum pelanggan memasang rooftop solar dibangunan milikinya. Dalam agenda percepatan pembangunan listrik rooftop solar di Indonesia, pengajuan izin sebelum pemasangan sebaiknya tidak perlu dilakukan bagi pelanggan dengan kapasitas lebih besar dari 200 kiloWatt. “Pelanggan hanya perlu memberikan notifikasi pengajuan penggantian kWh exim pada PLN,” tambah Fabby.

 

Selain itu, Permen ini juga mewajibkan pemasangan rooftop solar oleh badan usaha dengan sertifikat tertentu. Untuk kemudahan pemasangan bagi pelanggan (baik rumah tangga, bisnis/komersial, industri), aturan ini sebaiknya diberlakukan untuk pemasangan di atas  200 kW sehingga pelanggan golongan rumah tangga atau komersial skala kecil dapat memasang rooftop solar dengan prosedur yang lebih sederhana.

 

Permen ini juga mengatur penggunaan rooftop solar untuk pelanggan industi dengan adanya pembatalan Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2017 tentang Operasi Paralel Pembangkit LIstrik. Meski demikian, pasal lainnya tetap menyebutkan adanya capacity charge dan emergency fee untuk pelanggan industri yang memasang rooftop solar tersambung jaringan. Untuk percepatan pembangunan energi surya di Indoensia dan menyediakan energi bersih untuk industi yang memiliki komitmen penggunaan energi bersih, charge dan fee untuk industri sebaiknya tidak diberlakukan untuk kapasitas hingga 200 kW.

 

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy N. Sommeng, mengatakan penerapan PLTS Atap di pelanggan PLN adalah upaya pemerintah untuk mendorong pemanfaatan EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025. Kebijakan ini juga bagian dari komitmen Pemerintah dalam Paris Agreement yang telah ditandatangani pada 2015 lalu. Dijelaskan Andy, di era electricity 4.0, masyarakat dapat menjadi prosumen, yaitu produsen sekaligus konsumen untuk saling bertukar energi atau jasa satu sama lain dengan dukungan smart meter. Regulasi tentang PLTS Atap ini salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk mendefinisikan kembali pengalaman pelanggan, khususnya menghadapi era electricity 4.0 tersebut.

 

"PLN perlu melihat kebijkan PLTS rooftop ini sebagai peluang bisnis yang menjanjikan, di mana PLN Distribusi atau PLN Wilayah dapat menyediakan paket pemasangan PLTS Atap secara integrated dengan penyambungan listrik dengan mekanisme bisnis yang saling menguntungkan," ujar Andy seperti dilansir situs Kementerian ESDM dalam sosialisasi Permen ESDM 49/2018, Rabu (28/11).

 

Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, Rida Mulyana, mengatakan regulasi ini merupakan inisiasi dari Menteri ESDM Ignasius Jonan. Tujuannya adalah mendorong keterlibatan masyarakat dalam mencapai tiga tujuan, yaitu meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi nasional, meningkatkan efisiensi, dan mendorong energi yang lebih ramah lingkungan.

 

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Harris, menambahkan bahwa dengan mengimplementasikan sistem PLTS atap ini, selain mengurangi tagihan listrik bulanan, ada peran serta nyata masyarakat ikut mengembangkan energi baru terbarukan dan mendukung pencapaian target EBT 23 persen di tahun 2025. Dia mengatakan melalui implementasi ini, energi surya yang ditargetkan 6,6 MW bisa diakselerasi, industri energi surya juga dapat terpacu, target penurunan gas rumah kaca dapat dicapai, serta tentu terdapat peningkatan lapangan kerja.

 

“Dengan kita memasang PLTS atap, sebenarnya bukan jualan listrik, itu rasanya kurang tepat, yang diutamakan adalah bagaimana kita bisa mengurangi tagihan listrik kita sambil memaksimalkan upaya dalam penurunan gas emisi rumah kaca dan mendukung energi bersih” pungkas Harris.

Tags:

Berita Terkait