Pungutan OJK Jadi Tantangan Tersendiri Bagi Otoritas
Berita

Pungutan OJK Jadi Tantangan Tersendiri Bagi Otoritas

Semakin pesat pertumbuhan industri keuangan maka pungutan tidak jadi beban.

FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Meski pungutan terhadap industri keuangan merupakan amanat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tetapi ada tantangan tersendiri bagi otoritas. Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor mengatakan, tantangan tersebut berupa kinerja OJK yang dapat menumbuhkan industri keuangan di Indonesia.

Sejumlah fungsi OJK tersebut di antaranya adalah mengatur, mengawasi, mengedukasi dan memberikan perlindungan kepada konsumen. “Kalau fungsi-fungsi ini bisa dilakukan OJK dengan baik, maka industri keuangan, termasuk asuransi pasti akan tumbuh,” kata Julian di Jakarta, Selasa (4/3).

Menurutnya, jika industri keuangan mengalami pertumbuhan maka secara logika biaya pungutan yang dibebankan tak akan menjadi beban bagi industri. Sebaliknya, jika industri keuangan tidak bertumbuh, maka pungutan akan menjadi beban yang bermasalah di industri keuangan.

“Kalau industri keuangan tidak tumbuh, pasti (pungutan, red) akan dibebankan kepada konsumen atau nasabah,” kata Julian.

Ia mengatakan, semakin besar aset yang dimiliki industri keuangan, maka semakin besar pula beban pungutan yang diberikan ke OJK. Seiring dengan itu, harapan yang dilayangkan industri keuangan terhadap OJK juga akan semakin besar. “Catatan saya, mudah-mudahan OJK tidak mengecewakan, mudah-mudahan pungutan itu tidak jadi masalah,” katanya.

Julian menuturkan, salah satu ukuran tumbuh tidaknya industri keuangan adalah semakin banyaknya pengguna produk keuangan atau utilitas. Ia mencontohkan, blue print yang terdapat di bidang edukasi dan perlindungan konsumen OJK. Dalam blue print tersebut ditargetkan bahwa pertumbuhan nasabah lembaga keuangan tiap setahun sekali mengalami kenaikan dua persen dari jumlah yang sudah ada.

“Mereka punya target pertumbuhan nasabah lembaga keuangan kalau tidak salah dua persen dari eksisting setiap tahun, untuk pengguna istilahnya utilitas,” ujar Julian.

Terkait pungutan, AAUI berjanji akan menjalankannya sesuai amanat UU OJK. Julian sendiri enggan mengomentari pungutan OJK yang telah ditetapkan dalam PP No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK tersebut. “Kami di asosiasi karena pihak yang dari awal mendukung berdirinya OJK, kami tidak akan masuk ke area itu (pungutan, red),” katanya.

Dalam PP tentang Pungutan oleh OJK disebutkan bahwa biaya pungutan untuk pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penelitian untuk perusahaan asuransi jiwa, asuransi umum dan reasuransi sebesar 0,045 persen dari aset berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit atau paling sedikit Rp10 juta. Pembayaran biaya tahunan ini dilakukan sebanyak empat tahap.

Tiap tahap, industri asuransi maupun reasuransi wajib membayar sebesar 25 persen dari total hitungan pungutan. Tahap pertama paling lambat dilakukan tanggal 15 April, tahap kedua paling lambat 15 Julia, tahap ketika paling lambat 15 Oktober dan tahap keempat paling lambat tanggal 31 Desember tahun berjalan.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad membantah sejumlah pernyataan yang menilai pungutan tersebut membebani industri keuangan maupun nasabah. Menurutnya, pungutan diberlakukan lantaran merupakan amanat dari UU OJK dan ujungnya bisa kembali ke industri dalam bentuk program atau kegiatan.
Tags:

Berita Terkait