Pungli Layanan Pengadilan Mesti Jadi Perhatian MA
Utama

Pungli Layanan Pengadilan Mesti Jadi Perhatian MA

MA mesti mengefektifkan fungsi direktori putusan pengadilan seluruh Indonesia dan memaksimalkan penerapan pembayaran yang terdigitalisasi/terkomputerisasi dengan sistem satu pintu.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu saat berbicara dalam diskusi yang digelar MaPPI FHUI di Bakoel Coffie Jakarta, (08/12). Foto: AID
Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu saat berbicara dalam diskusi yang digelar MaPPI FHUI di Bakoel Coffie Jakarta, (08/12). Foto: AID

Jelang Hari Anti Korupsi sedunia pada 9 Desember 2017, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) kembali merilis data temuan pungutan liar (pungli/korupsi) dalam layanan publik pengadilan di lima wilayah yakni Medan, Banten, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Ruang lingkup hasil riset layanan publik pengadilan fokus pada administrasi perkara.   

 

Hasilnya, dua jenis layanan publik pengadilan yang sangat rawan terjadinya pungli menyangkut pendaftaran surat kuasa dan perolehan salinan putusan. “Dari 77 narasumber yang kami wawancarai, pungutan liar terhadap layanan pendaftaran surat kuasa dan biaya salinan putusan dilakukan oleh panitera pengganti dan atau panitera muda hukum,” ujar Peneliti MaPPI FHUI Siska Trisia dalam diskusi di Bakoel Coffie Jakarta, (08/12/2017).

 

Dia mengungkapkan modus pungli yang sering digunakan oknum aparat pengadilan. Seperti, menetapkan biaya di luar ketentuan dan tidak dibarengi tanda bukti bayar; tidak menyediakan uang kembalian sebagai imbalan atau uang lelah; memperlama pelayanan jika tidak memberi uang tip atau uang yang diminta.

 

Dari hasil pemetaan di lima daerah itu biaya pungutan surat kuasa berkisar antara Rp10.000 per surat kuasa hingga lebih Rp100.000 per surat kuasa. Sementara untuk mendapatkan salinan putusan biaya dipatok mulai Rp50.000 per putusan hingga lebih Rp500. 000.

 

Tidak hanya MaPPI, dalam beberapa tahun terakhir, Ombudsman RI juga melansir data temuan hampir serupa terkait penyimpangan layanan publik pengadilan (pungli). Misalnya, laporan berkaitan penanganan perkara yang berlarut-larut, praktik pencaloan, penyimpangan prosedur dalam penyerahan salinan putusan dan petikan putusan.

 

Bahkan, menurut catatan Ombudsman pada periode 2014-2015, laporan pungli di pengadilan ini menempati urutan ke-6 terbanyak yang diadukan masuk ke Ombudsman. Misalnya, pada tahun 2014, Ombudsman menerima 240 laporan pengaduan; tahun 2015 Ombudsman menerima 255 laporan pengaduan.

 

“Hasil temuan Ombudsman menunjukan peningkatan angka laporan terkait masalah pelayanan publik di pengadilan. Yang banyak juga berkaitan dengan pungutan liar,” ujar  Komisioner Ombudsman Ninik Rahayu dalam kesempatan yang sama. (Baca juga: Akses Terhadap Salinan Putusan dan Berkas Perkara Jadi “Area Kritis” Pungli di Pengadilan)  

 

Dia meyayangkan praktik pungutan liar masih sering terjadi di lingkungan pengadilan negeri. Padahal, Mahkamah Agung (MA) sudah cukup banyak menerbitkan berbagai peraturan dalam rangka mempermudah akses layanan pengadilan dan bertujuan memberantas praktik pungutan liar di pengadilan.

 

Ninik menyebut Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung (SK KMA) No. 46 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Publik di Pengadilan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, MA sendiri sudah berkomitmen memberantas praktik korupsi di pengadilan dan menindak tegas oknum-oknum yang melakukan praktik tersebut.

 

“Praktik ini tentu merugikan MA dan pengadilan yang berada di bawahnya. Karena itu, MA harus melakukan reform dan mengubah sistem,” saran dia.

 

Menurutnya, MA sudah memiliki itikad baik membenahi layanan pengadilan. Baginya, hal itu tidak cukup tanpa memberi ruang kepada lembaga lain (pengawasan ekstenal) untuk mengawasi selain Badan Pengawasan (Bawas) MA sendiri. “Ini agar benar-benar menghilangkan maladministrasi di pengadilan,” harapnya.

 

Menghambat akses keadilan

Peneliti MaPPI FHUI lain, Muhammad Rizaldi menilai sebagai bagian bentuk korupsi, praktik pungutan liar ini tentu menghambat akses keadilan bagi masyarakat. Hambatan ini dapat muncul disebabkan adanya biaya layanan peradilan lebih tinggi yang seharus dikeluarkan pencari keadilan. “Menurut beberapa responden, mereka menganggap apabila tidak membayar pungutan liar akan berdampak pada kualitas layanan pengadilan,” ungkapnya.  

 

Dengan begitu, menurutnya praktik pungutan liar menjadikan kualitas layanan publik pengadilan menjadi lebih buruk. Padahal, MA sendiri sudah berupaya mendorong perbaikan dan peningkatan kualitas layanan publik pengadilan dengan menerbitkan beberapa aturan internal.     

 

Ia pun menyayangkan pengadilan yang juga memiliki peran mengadili perkara korupsi justru menjadi sarang terjadinya praktik pungli (korupsi). Hal ini tentu berdampak menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

 

Karena itu, dia menyarankan MA mesti mengefektifkan fungsi direktori putusan pengadilan seluruh Indonesia. Sebab, saat ini masih banyak putusan yang tidak terpublikasi dengan baik, sempurna, dan tidak diakui keabsahan putusan yang ada di direktori tersebut. Hal ini tentu menyebabkan para pengguna layanan akses putusan harus tetap berhubungan langsung dengan aparatur pengadilan terkait.

 

Selain itu, MA harus memaksimalkan penerapan pembayaran yang terdigitalisasi/terkomputerisasi dengan sistem satu pintu. Hal ini untuk membatasi pertemuan langsung antara pemberi dan penerima layanan yang berpotensi menjadi celah pungli (korupsi).  

 

Tak kalah pentinya, MA wajib menegakkan prosedur pengawasan dan pembinaan aparatur pengadilan nonhakim secara tegas dan langsung melalui penegakan kode etik dan sanksi sebagaimana diatur PERMA No. 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung di Lingkungan MA dan Badan Peradilan di Bawahnya.

 

“MA pun perlu melibatkan pihak-pihak lain dalam upaya pembenahan pelayanan publik di Pengadilan, seperti Ombudsman RI dan KPK,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait