Cara itu pula yang dilakukan orang terhadap Bismar Siregar. Penyair dan sastrawan senior Taufiq Ismail salah satunya. Meskipun tidak terlalu mengenal dekat Bismar Siregar, Taufiq mengaku kagum atas sikap dan integritas sang hakim. Gaya hidup Bismar yang sederhana dan berterus terang membuat Taufiq memberi acungan jempol.
“Saya tidak kenal Pak Bismar. Cuma tahu sedikit dari berita koran dan saya tulislah puisi itu. Saya hormat pada sikap dan integritas Pak Bismar Siregar. Kesederhanaan dan gaya terus-terang beliau sangat lain dibandingkan dengan pejabat pada umumnya. Itu yang menyebabkan saya menuliskan puisi itu,” tulis Taufiq melalui pesan singkatnya kepada hukumonline.
Puisi yang dimaksud Taufiq adalah satu puisi yang sengaja ia tulis berkat kekagumannya kepada Bismar. Pria kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni tahun 1935 itu, membuat puisi berjudul “Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar”. Beginilah kalimat-kalimat puitis itu mengalir:
Lupa Aku, Nomor Telepon Hakim Agung Bismar Siregar Adu hewan, katanya Dilarang oleh etika, agama, akal waras Dan peraturan pemerintah Itu ‘kan di zaman Belanda. Kuna Adu manusia, katanya Bahkan tontonan pembantaian manusia Dibolehkan oleh etika, agama, akal waras Dan peraturan pemerintah Ini ‘kan di zaman merdeka. Pancasila Aku bingung Ini bagaimana Aku ingin bertanya Pada Pak Bismar Tapi lupa nomor teleponnya. |
Puisi untuk Bismar tak hanya ditulis oleh penyair kondang sekelas Taufiq Ismail. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ayu Novita Pramesti pernah mengenang sosok Bismar melalui syairnya. Ayu menuliskan puisinya di laman kompasiana, dua hari setelah Bismar kembali kepada Sang Pencipta.
Kepada hukumonline, Ayu bercerita puisi ini dibuat dengan spontan setelah memperoleh kabar mengenai meninggalnya Bismar. Spontanitas ini terjadi bukan karena Ayu kenal dekat dengan Bismar. Bertemu langsung pun belum pernah. Tapi ia sering membaca tulisan atau buku Bismar, selain mendengar gambaran sosok orang yang ia sebut ‘Opung’ dari orang lain. “Beliau sangat inspiratif bagi saya,” ujar Ayu kepada hukumonline melalui sambungan telepon.
Lewat puisi ini, Ayu mengucapkan selamat jalan untuk Bismar Siregar.
Selamat Jalan Pak Hakim Berhati Nurani... Tak pernah sekalipun Ku bertatap langsung denganmu Tapi aura keshalihan itu Ku rasakan Lewat tulisanmu Lewat cerita-cerita itu Pak Hakim berhati nurani Itu gelar yang pantas untukmu Demi Keadilan Berdasar pada Sang Mahaesa Itu yang kau junjung Hingga akhir hayatmu Ya Rabb aku bersaksi! Pak hakim ini orang baik Semoga kelak Kau kumpulkan Di barisan mulia Bersama para nabi Bersama orang-orang benar Bersama para syuhada' Pak hakim Semoga kita bisa bertemu Suatu saat nanti *untuk Opung Bismar Siregar, SH. |
Dalam peringatan 80 tahun Bismar Siregar, sejumlah kolega memberikan testimoni. Atas ide Irwan H. Siregar, anak Bismar Siregar, testimoni para tokoh itu akhirnya dibukukan. Seolah mengantarkan Bismar di hari tuanya, sebuah puisi Taufiq Ismail menghiasi halaman awal buku Refleksi 80 Tahun Perjalanan Hidup Seorang Hamba Allah”.
Ketika Tangan dan Kaki Berkata Akan datang hari Mulut dikunci Kata tak ada lagi Akan tiba masa Tak ada suara Dari mulut kita Berkata tangan kita Tentang apa yang dilakukannya Berkata kaki kita Kemana saja dia melangkah Tidak tau kita Bila harinya Tanggung jawab tiba Rabbana Tangan kami.. Kaki kami.. Mulut kami.. Mata hati kami.. Luruskanlah, kukuhkanlah Di jalan cahaya.. Sempurna Mohon karunia kepada kami HambaMu yang hina |
Taufiq menulis “Akan tiba masa/Tak ada suara/Dari mulut kita”. Dan masa itu telah tiba bagi Bismar. Hakim yang dikagumi Taufiq dan Ayu itu telah menyempurnakan hidupnya di alam fana ini pada 19 April 2012.