Publik Pertanyakan Putusan MA yang Kabulkan Gugatan Oesman Sapta
Berita

Publik Pertanyakan Putusan MA yang Kabulkan Gugatan Oesman Sapta

Putusan MA membuat perdebatan publik kembali ke fase awal Pemilu yakni tahap pencalonan anggota DPD.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Oesman Sapta Odang (tengah). Foto: RES
Oesman Sapta Odang (tengah). Foto: RES

Mahkamah Agung telah memutus uji materi terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Uji materi yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang ini buntut dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik mencalonkan diri sebagai anggota DPD dalam Pemilu 2019. 

 

Merespon putusan MK tersebut, KPU mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 untuk menetapkan mekanisme teknis tata cara pencalonan perseorangan yang hendak maju ke kursi DPD. Oesman Sapta yang saat ini merupakan ketua umum Partai Hanura yang juga hendak mencalonkan diri kembali untuk menjadi anggota DPD kemudian melayangkan uji materi Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 tersebut.

 

Sebelumnya Kuasa Hukum Oesman Sapta, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan bahwa gugatan kliennya telah dikabulkan oleh MA. Bahkan Yusril mengancam akan meneruskan gugatannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) seandainya putusan MA tersebut tidak dilaksanakan oleh KPU. “Kalau KPU masukkan (Oesman Sapta ke DCT), gugatan di PTUN kami cabut. Tapi kalau KPU tetap ngeyel ya kami lawan terus,” ujar Yusril dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/10).

 

Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan di ruang publik. Apa alasan MA mengabulkan gugatan Oesman Sapta terkait uji materi PKPU pencalonan anggota DPD tersebut? Juru bicara MA Suhadi, saat dikonfirmasi mengatakan belum mengetahui isi putusan tersebut. Informasi dikabulkannya gugatan Oesman Sapta diperoleh dari bagian manajemen perkara MA. 

 

“Kita belum terima dari manajemen perkara karena alasan yang di sana belum selesai minutasi. Hanya disampaikan bahwa itu sudah putus kemudian bunyi putusannya kabul katanya. Pasal mana kemudian bertentangan dengan UU mana belum bisa disampaikan. Nanti setelah minutasi akan kita umumkan,” terang Suhadi kepada Hukumonline, Rabu (31/10).

 

Baca:

 

Terkait pelaksanaan putusan MA tersebut, Komisioner KPU, Wahyu Setiawan kepada wartawan mengatakan bahwa KPU akan terlebih dahulu menggelar rapat pleno untuk membuat kajian terkait putusan MA tersebut. Hal ini mengingat putusan MK tentang uji materi Pasal 182 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) cukup terang benderang mengatur pengurus partai politik yang hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPD di Pemilu 2019.

 

“Oleh karena itu mempertimbangkan secara resmi bertemu dengan MK untuk meminta pertimbangan atas putusan MA. Putusan MA yang ada di media cukup mengagetkan KPU karena putusan MK sudah sangat jelas. Dan kami akan putuskan itu dalam pleno,” ujar Wahyu.

 

Sebelumnya, MK melalui putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 menyebutkan perihal larangan bagi calon anggota DPD yang melaksanakan pekerjaan lain yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas dan fungsi anggota DPD yang mana salah satunya adalah menjadi pengurus partai politik. Hal ini berdasarkan ketentuan UU Pemilu.

 

Pasal 182 huruf l UU Pemilu

Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan/atau jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Alasan mendasar lainnya adalah, MK menyebutkan kelembagaan DPD perlu diisi oleh tokoh-tokoh daerah yang merupakan representasi daerah yang tidak merupakan pengurus partai politik. Tujuannya agar kelembagaan DPD  sebagai representasi daerah bisa terpenuhi.

 

“Ini sekaligus membedakan kelembagaan DPD dengan DPR yang merupakan representasi partai politik,” ujar peneliti bidang korupsi politik Indonesian Corruption Watch, Donal Faris dalam konferensi pers Rabu (31/10).

 

Dalam pertimbangan putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 menguraikan, bahwa untuk Pemilu 2019, karena proses pendaftaran calon anggota DPD sudah dimulai, dalam hal terdapat bakal calon anggota yang kebetulan merupakan pengurus partai politik terkena dampak dari putusan ini, KPU memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk tetap sebagai calon DPD sepanjang telah menyatakan mengundurkan diri dari kepengurusan partai politik. 

 

Baca:

 

Untuk diketahui, Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 telah mengatur dua ruang lingkup untuk memastikan putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 dapat dilaksanakan. Pasal 60A ayat (3) huruf a dan huruf b, yang mensyaratkan surat pengunduran diri bernilai hukum yang tidak dapat ditarik kembali, dibubuhi materai cukup. 

 

Kemudian yang kedua, bakal calon anggota DPD juga wajib menyerahkan keputusan pimpinan partai politik sesuai dengan kewenangan berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga partai tentang pemberhentian bakal calon anggota DPD sebagai pengurus partai politik. 

 

Menurut Donal, karena surat pengunduran diri dan surat pemberhentian sebagai pengurus partai politik tersebut merupakan syarat pencalonan anggota DPD yang diputus MK sehingga keterlaluannya mutatis mutandis dan posisinya setara dengan Undang-Undang. “Tentu saja calon anggota DPD akan dinyatakan tidak memenuhi syarat jika tak mematuhi Peraturan KPU tersebut”.

 

Hingga saat ini, putusan MA belum diketahui bunyi amar putusannya. Begitu pula bagian mana yang dikabulkan, serta pasal mana dari Peraturan KPU Nomor 26 Tahun 2018 yang dibatalkan oleh MA. Sebagai catatan, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, problem putusan MA kali cukup serius berdampak terhadap DPD secara kelembagaan. 

 

Lembaga DPD yang lahir sebagai bagaikan dari semangat reformasi untuk memberikan kekuatan terhadap wakil daerah di parlemen, saat ini menjadi kerdil akibat keberadaan oknum partai politik yang merangkap sebagai anggota DPD. Tidak seharusnya representasi partai politik ikut berada dalam keanggotaan DPD.

 

Di sisi lain, putusan MA membuat perdebatan publik kembali ke fase awal Pemilu yakni tahap pencalonan anggota DPD. Momentum kampanye yang sedang berlangsung ibarat ditarik kembali ke belakang. “Dengan adanya putusan MA ini membuat kita kembali lagi ke wacana yang paling awal yakni soal tahapan pencalonan anggota DPD,” ujar Lucius.

 

Hal ini mengakibatkan terusiknya aspek kepastian hukum bagi masyarakat luas dan pemangku kepentingan. Kedua lembaga puncak kekuasaan kehakiman, MK dan MA mengeluarkan keputusan yang saling diametral. Besar harapan publik agar MA dapat mengeluarkan keputusan yang dapat memjamin terwujudnya Pemilu yang berintegritas.

Tags:

Berita Terkait