Publik Desak RUU Konvergensi Dirombak
Utama

Publik Desak RUU Konvergensi Dirombak

Kepentingan pemodal diakomodasi, hak warga negara tak disentuh.

Inu
Bacaan 2 Menit
SatuDunia mengkritik RUU Konvergensi Telematika. Foto: www.jurnalistik.net
SatuDunia mengkritik RUU Konvergensi Telematika. Foto: www.jurnalistik.net

Publik berharap draf RUU Konvergensi Telematika dirombak total oleh pemerintah. Pasalnya, substansi draf RUU tersebut dinilai lebih mengutamakan kepentingan pebisnis ketimbang menjamin hak warga negara.

 

Demikian pendapat sama yang diutarakan Project Officer Media Link, Mujtaba Hamdi dan Knowledge Manager Satu Dunia, Firdaus Cahyadi pada konferensi pers di Jakarta, Selasa (27/12).

 

Firdaus berpendapat, draf RUU yang kini masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM itu mendorong sikap konsumtif publik yang sudah menggejala. Hal ini terlihat dari draf RUU yang memposisikan warga negara sebatas konsumen telematika. “Hak konsumen dan hak warga negara jauh beda,” ungkapnya.

 

Menurutnya, hak konsumen muncul tatkala seseorang membeli atau menguasai produk telematika. Sedangkan hak warga negara sebelum menjadi konsumen telematika tidak mendapat pengakuan.

 

Tertulis pada paragraf kedua bagian penjelasan, tekanan atau dorongan untuk mewujudkan perubahan paradigma telematika dari vital dan strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan semakin besar melalui forum-forum regional dan internasional dalam bentuk tekanan untuk pembukaan pasar (open market).

 

Menurutnya, publik masih melihat bahwa telematika sebatas seberapa prestise memiliki hardware maupun software produk tertentu. Bukannya meredam atau mengalihkan persepsi salah di masyarakat itu, draf RUU malah memperkuat konsumerisme akan produk telematika.

 

Akibatnya, tutur Firdaus, dampak negatif konsumerisme itu terlihat pada akhir November 2011. Sebanyak 90 orang menjadi korban dalam antrian BlackBerry murah, tiga diantaranya mengalami patah tulang. Kemudian, awal Desember 2011, seorang remaja Christopher Melkey Tanujaya tewas karena si pembunuh mengincar smart phone BlackBerry milik korban.

 

Bahkan, berdasarkan data Forum Warga Kota (Fakta) Jakarta, pada 2010, masyarakat miskin membelanjakan Rp160 ribu per bulan per keluarga untuk membeli pulsa. Jumlah tersebut melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) 2010, sebesar Rp117.682.

 

Tak dijelaskan pula secara jelas hak warga negara terkait telematika. Semisal, hak akan infrastruktur telematika, padahal dalam satu pasal disebutkan kewajiban pemerintah untuk menyediakan layanan universal di daerah terpencil. Namun tidak disebutkan hak warga negara bila pemerintah gagal menyelenggarakan layanan universal tersebut.

 

Disebutkan Firdaus, infrastruktur telematika di Indonesia belum merata dan masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, Sumatera, dan sebagian Kalimantan, dan Sulawesi. Akibatnya, pelayanan publik melalui internet karena dinilai lebih efisien dan transparan, tak akan tersentuh oleh warga yang tidak terjangkau infrastruktur telematika. “Seperti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) secara online,” sebutnya.

 

Penyatuan Modal

Sedangkan Mujtaba menyoroti, konvergensi media bukan sekadar konvergensi teknologi (teknologi informasi, telekomunikasi, penyiaran). “Menyatu pula kepemilikan media pada pengusaha tertentu,” sebutnya.

 

Hal ini, lanjut Mujtaba, pemilik modal bakal mengatur keseluruhan rantai pasokan media. Mulai dari konten, packaging, distribusi. Hal itu menunjukkan adanya penguasaan si pengusaha melalui pelbagai platform media yang didistribusikan dalam berbagai sarana, seperti radio, portal, televisi, maupun melalui rumah produksi.

 

Pemusatan kepemilikan media ini hanya akan menempatkan publik sebagai penonton atas pertarungan opini antar satu media dan media lainnya. Hal ini sama artinya dengan menyaksikan pertarungan antar para pemiliknya. Publik juga hanya akan dihitung sebagai konsumen saja, bukan sebagai warga negara yang memiliki hak atas informasi dan komunikasi.

 

Nah, RUU Konvergensi Telematika, dinilai Mujtaba malah memberi jalan korporasi untuk semakin menjadikan informasi sebagai komoditas. Ketimbang melindungi kepentingan dan hak warga negara atas informasi.

 

Karena pertimbangan itu, Mujtaba menilai draf RUU harus dirombak total. “Regulasi konvergensi telematika harus melindungi kepentingan publik bukan korporasi,” tuturnya.

 

Sedangkan Firdaus mendesak perombakan draf RUU harus mengubah paradigma telematika bukan sekadar komoditas untuk menguasai hajat hidup orang banyak. Dia juga mengingatkan perlu revisi kebijakan yang mengikis hak warga negara di sektor telematika seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Firdaus juga menyarankan adanya kampanye bagi publik guna menghindari pemahaman bahwa produk telematika adalah alat produksi. Bukan alat konsumtif semata. 

Tags: