PT Lirik Tunggu Penetapan Aanmaning ke Pertamina
Berita

PT Lirik Tunggu Penetapan Aanmaning ke Pertamina

Di tengah-tengah permohonan banding, PT Lirik tengah menunggu penetapan aanmaning untuk menegur Pertamina dan Pertamina EP agar melaksanakan putusan ICC di Paris, Perancis.

Mon
Bacaan 2 Menit
PT Lirik Tunggu Penetapan Aanmaning ke Pertamina
Hukumonline

PT Lirik Petroleum tengah menunggu penetapan aanmaning (teguran) dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas pelaksanaan putusan International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, Prancis. Putusan ICC itu harus dilaksanakan PT Pertamina (Persero) dan PT Pertamina EP selaku pihak yang kalah dalam arbitrase. Kedua perusahaan dihukum membayar ganti rugi kepada PT Lirik sebesar AS$34,495 juta lantaran melanggar Enhanced Oil Recovery (EOR) Contract. Permohonan aanmaning PT Lirik sendiri diajukan awal September 2009 lalu.

 

Sebelumnya, putusan arbitrase itu di daftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 21 April 2009. Akta pendaftaran putusan arbitrase itu tercatat dalam akta No. 02/PDT/ARB-INT/2009/PN.JKT.PST. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga telah menerbitkan penetapan eksekuatur No. 4571 pada 23 April 2009.

 

Di sela-sela upaya eksekusi putusan itu, Pertamina melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ICC ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 11 Mei 2009. Yakni, Partial Award (putusan awal) ICC tanggal 22 September 2008 dan Final Award pada 27 Februari 2009. Namun permohonan ini kandas. Majelis hakim yang diketuai Sugeng Riyono menolak permohonan Pertamina.

 

Majelis hakim menilai Pertamina dan PT Lirik telah terikat EOR Contract. Namun Pertamina tak melaksanakan perjanjian dengan tidak mengabulkan permohonan komersialitas di ladang migas Molek, South Pulai dan North Pulai yang diajukan PT Lirik sesuai kontrak. Karena itu menurut ICC menilai Pertamina terbukti wanprestasi.

 

Perjanjian itu sendiri, kata majelis hakim, telah memenuhi syarat sahnya kontrak berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam klausul arbitrase, kontrak itu menunjuk ICC sebagai lembaga arbitrase yang menangani penyelesaian perselisihan. Pertamina-lah yang mengusulkan penunjukan ICC. “Pertamina tahu dengan pasti bagaimana hukum dan lembaga apa yang akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam kontrak,” kata Sugeng ketika membacakan putusan.

 

Dengan begitu, secara hukum penyelesaian perselisihan oleh ICC tidak menyingkirkan kewenangan Pertamina sebagaimana satu-satunya wakil pemerintah yang memegang kuasa pertambangan di bidang minyak dan gas (migas). Pertimbangan majelis hakim sekaligus menampik dalil gugatan Pertamina.

 

Pertamina beralasan putusan ICC cacat lantaran melanggar penegakan dan kepastian hukum. Sebab, putusan ICC menyingkirkan kewenangan bandar migas nasional itu sebagai satu-satunya kuasa pemegang pertambangan migas mewakili pemerintah. Karena itu bertentangan dengan ketertiban umum sesuai Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD’45. 

 

Menurut majelis hakim, Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 merupakan pengaturan kewenangan pemerintah berupa kebijakan yang bersifat publik. Apabila pemerintah membuat dan menandatangani suatu kontrak dengan pihak swasta, berarti pemerintah sedang melakukan perbuatan yang bersifat privat. Dengan demikian pemerintah harus tunduk pada hukum privat.

 

Kewenangan pemerintah yang bersifat publik, kata majelis, seharusnya muncul sebelum kontrak atau perjanjian dibuat dan ditandatangani. Apabila pemerintah telah menandatangani kontrak yang bersifat privat, maka antara pemerintah dengan pihak yang terikat kontrak mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang. “Perjanjian itu mengikat bagi yang membuatnya selaku Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata,” kata Sugeng.

 

Pertamina lalu mengajukan banding ke Mahkamah Agung. Memori kasasinya sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Begitupula dengan kontra memori banding dari PT Lirik. 

 

Tags:

Berita Terkait