PSHK: Setengah Hati Reformasi Regulasi, Lemah Penegakan Hukum
Berita

PSHK: Setengah Hati Reformasi Regulasi, Lemah Penegakan Hukum

PSHK menyoroti 3 aspek bidang hukum yaitu reformasi regulasi, agenda legislasi pemerintah yang dinilainya belum optimal, dan penegakan hukum sangat lemah.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS

Visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di bidang hukum lagi-lagi menjadi sorotan kalangan masyarakat sipil. Setelah pidato Jokowi bertajuk “Visi Indonesia”, belum lama ini di Sentul, Bogor, kini presiden RI dua periode ini mendapat kritikan sejumlah kalangan saat menyampaikan pidato laporan tahunan 2019 di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jum’at (16/8/2019) kemarin. Salah satunya, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).  

 

PSHK menyoroti 3 aspek dalam bidang hukum, yaitu reformasi regulasi, agenda legislasi pemerintah, dan penegakan hukum. Dari 3 aspek tersebut, hanya aspek reformasi regulasi yang memiliki pencapaian positif meskipun tidak maksimal/optimal. “Sementara dalam aspek penegakan hukum, kinerja pemerintah amat lemah dan tidak menunjukkan perkembangan positif,” ujar Direktur Riset PSHK Rizky Argama dalam keterangannya yang diterima Hukumonline, Sabtu (17/8/2019) kemarin. Baca Juga: Presiden: UU Sulitkan Masyarakat Harus Kita ‘Bongkar’    

 

Pertama, reformasi regulasi. Presiden Jokowi menyebutkan perlu ada reformasi perundang-undangan yang harus dilakukan besar-besaran agar tidak terjebak pada regulasi yang kaku, ruwet, dan rumit serta menyulitkan pelaku usaha. Namun berdasarkan catatan PSHK, sejak awal pemerintahan Jokowi pada 2014-Oktober 2018 saja, telah terbit 8.945 regulasi yang terdiri dari 107 Undang-Undang (UU); 452 Peraturan Pemerintah; 765 Peraturan Presiden; dan 7.621 Peraturan Menteri.

 

“Artinya, dari sisi teknis bisa dilihat inisiatif Presiden melakukan reformasi regulasi belum mampu diterjemahkan dengan baik oleh segenap jajaran eksekutif,” ujar Rizky.  

 

Permasalahan tumpukan regulasi di Indonesia bukan hanya soal jumlah, tapi tumpang tindih dan saling menyerobot satu sama lain seolah tanpa komando. Perlu ada intervensi dan inisiatif jelas dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini dalam bentuk pendirian badan khusus di bawah Presiden dengan mandat pembenahan regulasi yang mengedepankan visi negara hukum (lembaga legislasi pemerintahan).  

 

Selain itu, reformasi regulasi yang telah dilakukan Presiden Jokowi terkesan amat terbatas (fokus) pada sektor ekonomi, khususnya yang mendorong kemudahan berusaha dan berinvestasi. Padahal, belantara regulasi di sektor terkait kebutuhan dasar dan pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, maupun peraturan di bidang hukum pidana (RKUHP), juga sangat mendesak direformasi secara total.

 

“Dalam aspek reformasi regulasi, PSHK menilai pencapaian Presiden Jokowi cukup positif, tetapi belum maksimal.” Baca Juga: Lembaga Legislasi Diyakini Solusi Atasi Persoalan Penataan Regulasi

 

Kedua, agenda legislasi. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyebutkan capaian legislasi Pemerintah dan DPR. Perlu kita ingat penyusunan legislasi adalah agenda bersama antara Pemerintah dan DPR dan Presiden berhak mengajukan RUU ke DPR berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Rencana pengajuan UU menunjukkan arah politik legislasi yang ditentukan Presiden Jokowi sebagai agenda hukum Indonesia 5 tahun ke depan.

 

Hal ini terlihat absen dari pidato kenegaraan Presiden Jokowi. Apabila konsisten dengan agenda reformasi regulasi, seharusnya Presiden Jokowi menyebutkan revisi UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk melakukan pembenahan menyeluruh agenda legislasi pemerintah. Agenda legislasi yang diajukan Pemerintah hendaknya mencakup pula persoalan-persoalan terkait kebutuhan dasar masyarakat, pelayanan publik, dan perlindungan terhadap kelompok rentan dengan mengedepankan visi negara hukum.

 

“Dalam aspek agenda legislasi, PSHK menilai apa yang disampaikan Presiden Jokowi belum menunjukkan politik legislasi yang jelas, tegas, dan terarah,” kritiknya.

 

Ketiga, penegakan hukum. Presiden Joko Widodo menyebutkan keberhasilan penegakan hukum bukan diukur dari berapa kasus yang diangkat, tetapi juga dari potensi pelanggaran hukum yang bisa dicegah dan potensi kerugian negara yang bisa diselamatkan. Pemahaman ini menunjukkan seolah-olah aspek pencegahan bertentangan dengan penindakan.

 

Padahal, keduanya adalah bagian dari rangkaian proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Satu contoh kasus yang menjadi perhatian publik adalah kasus penyiraman air keras terhadap Penyidik KPK Novel Baswedan yang sebetulnya merupakan “tamparan keras” bagi Presiden Jokowi terkait isu pemberantasan korupsi.

 

Menurutnya, gagalnya Pemerintahan Jokowi mewujudkan proses yang memenuhi rasa keadilan bagi Novel Baswedan seolah memberikan penegasan akan inkonsistensi penegakan hukum kita apabila membandingkan dengan kasus-kasus lain yang bisa begitu mudahnya diproses sampai pengadilan.

 

Bagi PSHK, kebuntuan proses penegakan hukum dalam kasus Novel Baswedan itu jelas menambah panjang “utang negara” dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang belum selesai hingga hari ini. Seperti kasus Kerusuhan Mei 1998, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi 1 dan 2, pembunuhan aktivis HAM Munir, dan sebagainya.

 

“Dalam aspek penegakan hukum, PSHK menilai pencapaian Presiden Jokowi sangat lemah dan masih jauh dari kesan positif,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait