Menkoperekonomian, Menkopolhukam, dan Wamenkumham melalui siaran pers Sekretariat Presiden mengumumkan bahwa Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Keberadaan Perppu Cipta Kerja disebut mencabut UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat (cacat formil) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Cipta Kerja telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum. Pernyataan ini dinilai tidak berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan 91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Cipta Kerja untuk diulang proses pembentukannya dengan memperhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna.
“Penerbitan Perppu seolah-olah siasat berkedok hukum untuk mengkhianati amanat MK demi mengakali syarat partisipasi bermakna ini,” ujar Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) M. Nur Ramadhan dalam keterangannya, Sabtu (31/12/2022).
Baca Juga:
- Terbitkan Perppu Cipta Kerja, Begini Alasan Pemerintah
- Terbitnya Perppu Cipta Kerja Dinilai Sebagai Langkah Inkonstitusional
PSHK melihat penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan publik dalam proses legislasi. Ada tiga corak utama legislasi sejak 2019 yang terus berulang hingga kini. Pertama, memposisikan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan pemerintah dalam proses legislasi. Pesan ini tergambar jelas dalam setiap dinamika proses pembentukan undang-undang, saat perwakilan pemerintah kerap melontarkan kalimat “kalau menolak RUU ini, silakan maju ke MK.”
“Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra dalam proses penyusunan, yang terjadi justru memposisikan publik sebagai lawan. Padahal rakyatlah yang akan terdampak dalam pelaksanaan suatu undang-undang (UU). Tindakan mengesampingkan partisipasi publik terlihat dari program ‘sosialisasi’ yang praktiknya adalah safari komunikasi satu arah dari pihak pemerintah, yang kemudian diklaim sebagai pemenuhan syarat partisipasi,” kritiknya.
Kedua, menempatkan pemangku kepentingan dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan, dan pembahasan produk hukum. Terlihat ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak. Contohnya bisa dilihat dari penyusunan RUU Cipta Kerja pada 2019 hingga RKUHP pada 2022. Hanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan sama dengan pemerintah yang mendapatkan kesempatan untuk didengar.