PSHK: Langgar Kode Etik, Ketua KPU Selayaknya Mengundurkan Diri
Terbaru

PSHK: Langgar Kode Etik, Ketua KPU Selayaknya Mengundurkan Diri

Putusan DKPP berpotensi menimbulkan keraguan atau bahkan ketakutan bagi setiap orang untuk mengadukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, karena penyelenggara pemilu yang sudah terbukti melakukan pelanggaran kode etik serius sekalipun masih dibiarkan untuk menjalankan tugas.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
 Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi.Foto: Istimewa
Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi.Foto: Istimewa

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) memberi tanggapan mengenai pelanggaran etik yang dilakukan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI), Hasyim Asy’ari. Pelanggaran etik tersebut telah diputuskan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) dalam putusan DKPP RI Nomor 35-PKE-DKPP/II/2023 dan 39-PKE-DKPP/II/2023.

DKPP memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU RI, dan menyatakan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari melanggar Pasal 6 ayat (3) huruf e dan f jo Pasal 15 huruf a, d, dan g Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum. Ketua KPU RI dinilai melanggar prinsip profesionalisme dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu, dan mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu.

Peneliti PSHK M Nur Ramadhan menilai, penjatuhan sanksi peringatan keras terakhir kepada Ketua KPU Hasyim Asy’ari menunjukkan DKPP tidak tegas dalam memutus pelanggaran kode etik yang sudah menimbulkan dampak buruk terhadap kredibilitas kelembagaan KPU.  Alih-alih menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota KPU, DKPP justru melakukan pembiaran terhadap Ketua KPU yang sudah terbukti melanggar kode etik.

“DKPP seolah tidak menyadari bahwa kredibilitas KPU dipertaruhkan dalam putusannya, yang akan berdampak pada kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu dan proses pemilu secara keseluruhan,” ungkap Ramadhan saat dikonfirmasi Hukumonline, Rabu (5/4/2023).

Baca juga:

Menurutnya, DKPP harus menyadari putusan tersebut berpotensi menimbulkan keraguan atau bahkan ketakutan bagi setiap orang untuk mengadukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Pasalnya penyelenggara pemilu yang sudah terbukti melakukan pelanggaran kode etik serius sekalipun masih dibiarkan untuk menjalankan tugas.

Baginya, saluran pengaduan yang terhambat hanya akan membangun prasangka buruk publik terhadap kinerja penyelenggara pemilu. Malahn bukan tidak mungkin berdampak pada pelaksanaan pemilu secara keseluruhan yang seharusnya memposisikan publik sebagai pemangku kepentingan utama pemegang hak suara.

Sementara itu, peneliti PSHK lainnya Alviani Sabillah menambahkan, pada duduk perkara dan pertimbangan Majelis dalam putusan DKPP ditemukan sejumlah celah dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan penyelenggara pemilu. Pertama, dari segi proses penanganan kasus pelecehan seksual, DKPP tidak memiliki skema pelindungan saksi dan korban.

Kedua, DKPP gagal menghadirkan perspektif korban dalam proses penanganan kasus maupun pertimbangan hukumnya. Ketiga, DKPP absen menghadirkan pertimbangan relasi kuasa yang acapkali berperan dalam kasus kekerasan seksual. Menurutnya, di tengah berbagai kekurangan tersebut, DKPP justru menekankan beban pembuktian kepada korban.

Dia menjelaskan, mekanisme penanganan kasus yang timpang dan minim perspektif tersebut menjadi gambaran betapa DKPP tidak mampu menciptakan ruang aman dan pelindungan bagi setiap orang yang bermaksud menyampaikan pengaduan atas dugaan pelanggaran etik perilaku penyelenggara pemilu. DKPP seharusnya mampu menciptakan proses yang adil dalam memeriksa dan memutus aduan serta laporan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara pemilu.

Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi, menyampaikan proses pemeriksaan dan putusan DKPP sudah menunjukkan dengan jelas betapa Ketua KPU terbukti melakukan pelanggaran kode etik berupa tindakan tidak profesional. Yakni, dengan mendahulukan kepentingan pribadi di atas kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta mencoreng kredibilitas kelembagaan KPU RI karena terkait dengan konflik kepentingan.

“Oleh karena itu, terlepas dari sanksi yang sudah dijatuhkan DKPP, sebagai ketua lembaga negara yang sudah diangkat sumpah atas nama Tuhan Yang Maha Esa, dan menyatakan akan mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas kepentingan pribadi, Ketua KPU sudah selayaknya untuk mengundurkan diri dari keanggotaan KPU,” katanya.

Atas dasar itulah PSHK mendesak DKPP untuk lebih tegas dan tidak ragu menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap sebagai anggota, sepanjang terdapat penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran kode etik. Terutama yang berkaitan dengan tindakan sengaja mendahulukan kepentingan pribadi dan terkait dengan konflik kepentingan dengan perannya sebagai penyelenggara pemilu.

Kemudian, PSHK mendesak DKPP untuk membuat mekanisme pelindungan terhadap korban dan/atau pengadu yang terkait dengan dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Lalu, DKPP juga diminta untuk menyiapkan mekanisme pemeriksaan terhadap korban dan/atau pengaadu agar dapat memberikan informasi secara bebas, aman, dan tanpa tekanan dan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari untuk segera mengundurkan diri dari keanggotaan KPU RI.

Tags:

Berita Terkait