PSHK: Evaluasi Menyeluruh Mekanisme Pembentukan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja
Berita

PSHK: Evaluasi Menyeluruh Mekanisme Pembentukan Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja

Ini menunjukkan kegagalan upaya penyederhanaan regulasi yang selama ini diklaim Pemerintah sebagai tujuan awal omnibus law. Alih-alih menyederhanakan regulasi, UU Cipta Kerja justru menciptakan banyak blangko kosong berupa pelimpahan pengaturan kepada berbagai jenis peraturan pelaksana.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi penyusunan peraturan. Hol
Ilustrasi penyusunan peraturan. Hol

Pada 2 Februari 2021, Presiden Joko Widodo telah mengesahkan 49 peraturan pelaksana sebagai turunan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebanyak 45 diantaranya merupakan Peraturan Pemerintah (PP), sementara 4 lainnya dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres). Jumlah itu masih mungkin bertambah mengingat UU Cipta Kerja mengamanatkan lebih dari 450 ketentuan untuk diatur lebih lanjut dalam peraturan delegasi.

“Fakta ini bertentangan dengan misi penyederhanaan regulasi yang digaungkan Pemerintah sejak menggagas RUU Omnibus Cipta Kerja akhir 2019 lalu,” ujar Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi saat dikonfirmasi, Rabu (10/3/2021). (Baca Juga: ICEL: Pemerintah Terapkan Omnibus Law dalam PP Turunan UU Cipta Kerja)

Terlebih, 49 peraturan pelaksana yang telah disahkan tersebut memuat total 466 materi ketentuan yang perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan delegasi lainnya. Rinciannya, sebanyak 11 materi didelegasikan ke PP; 11 materi ke Perpres; 377 materi ke Peraturan Menteri (Permen); 60 materi ke peraturan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK); dan 7 materi ke Peraturan Daerah (Perda). 

Perlu dicatat pula, kata dia, perintah pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan 49 peraturan pelaksana itu tak hanya ke peraturan dengan tingkatan yang lebih rendah, tetapi juga ke peraturan yang sejajar. Hal ini terjadi pada sejumlah PP yang memuat total 11 materi untuk diatur lebih lanjut dengan PP tersendiri dan 1 Perpres yang memuat sebuah materi untuk diatur lebih lanjut dengan Perpres tersendiri.

Dia mengakui secara yuridis UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) tidak melarang delegasi pengaturan dari satu peraturan ke peraturan lain yang sejajar secara hierarkis. Hal itu dituangkan dalam ketentuan teknis pada Lampiran II Bab 2 UU PPP yang mengatur bentuk pendelegasian sejajar antar-UU dan antar-Perda.

Namun, menurutnya pendelegasian diantara peraturan yang sejajar ini merupakan kerangka berpikir masa lalu yang menunjukkan inkonsistensi Pemerintah dalam melaksanakan simplifikasi regulasi. Pendelegasian sejajar ini berpotensi melahirkan disharmoni antarperaturan dan dapat menyebabkan kerumitan baru dalam persoalan manajemen pembuatan regulasi.

Selain itu, pendelegasian ketentuan kepada Permen dan peraturan LPNK juga memiliki problematika tersendiri. Kedua jenis peraturan itu, terutama Permen, mendominasi jumlah regulasi di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. UU PPP dan berbagai peraturan turunannya belum mengatur mekanisme kontrol atas pembentukan Permen dan peraturan LPNK.

“Sehingga, pendelegasian peraturan kepada kementerian/lembaga dalam jumlah besar berpotensi melahirkan banyak regulasi yang tumpang tindih,” bebernya.

Dia melihat temuan tersebut menunjukkan kegagalan upaya penyederhanaan regulasi yang selama ini diklaim Pemerintah sebagai tujuan awal omnibus law. Alih-alih menyederhanakan regulasi, UU Cipta Kerja justru menciptakan banyak blangko kosong berupa pelimpahan pengaturan kepada berbagai jenis peraturan pelaksana. 

Untuk itu, PSHK mendesak Pemerintah agar melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses dan mekanisme pembentukan PP dan Perpres yang menjadi peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Selain itu, melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan pada level kementerian/lembaga

“Melakukan pembenahan menyeluruh atas sistem pengelolaan regulasi baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, dengan cara mendorong perubahan komprehensif UU No.15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” (Baca Juga: 49 Aturan Pelaksana UU Cipta Kerja Resmi Diundangkan, Ini Daftarnya!)

Sebelumnya, kritikan disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Raynaldo G Sembiring melihat berdasarkan penelusuran ICEL pada laman Portal Resmi UU Cipta Kerja (https://uu-ciptakerja.go.id/category/draft-rpp/), pada 3 Februari 2021 dan seterusnya terdapat berbagai rancangan PP versi terbaru yang dipublikasikan. Namun, rancangan PP yang diunggah pada 3 Februari 2021, yang notabene setelah tanggal pengundangan, justru memiliki jumlah pasal yang berbeda dengan PP yang dipublikasikan pada 21 Februari 2021.

“Selama 2-21 Februari 2021 (PP bisa diakses publik, red) di portal Kemenko di-upload beberapa RPP. Nah, RPP versi terakhir itu beberapa isinya beda dengan PP yang sudah diundangkan. Jadi secara historis saja kita nggak bisa lacak perubahannya sampai versi final,” bebernya.

Sebagai contoh Rancangan PP tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diunggah pada 3 Februari 2021 pada laman Portal Resmi UU Cipta Kerja memiliki 548 Pasal (draf ke-18). Sementara itu, pada saat dipublikasikan PP tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berjumlah 534 Pasal.

Contoh lain, Rancangan PP tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang diunggah pada 3 Februari 2021 pada laman Portal Resmi UU Cipta Kerja memiliki 300 pasal (draf ke-22), padahal saat dipublikasikan PP tentang Penyelenggaraan Kehutanan memiliki 302 pasal. Hal ini tentu membingungkan karena kedua PP tersebut diundangkan pada 2 Februari 2021.

Hal ini berarti RPP yang diunggah pada 3 Februari 2021 (yang notabene setelah tanggal pengundangan) nyatanya bukanlah rancangan yang paling terbaru. “Tentunya, proses ini sangat membingungkan masyarakat,” kata dia.

Selain itu, setelah memetakan struktur RPP dan melihat dampak pengaturan ini terhadap beberapa peraturan eksisting, ICEL melihat Pemerintah juga menggunakan metode Omnibus Law dalam penyusunan PP ini. Pada akhirnya, satu Peraturan Pemerintah kemudian berdampak terhadap revisi atau pencabutan dari beberapa PP yang saat ini berlaku.

PP dengan metode Omnibus itu menyulitkan dalam membaca dan memahaminya. Jadi kontraproduktif kalau mau mendatangkan investor. Karena investor justru mau yang sederhana. Kerumitan ini memberikan banyak celah hukum yang bisa menimbulkan multipenafsiran,” kata Raynaldo.

Seperti diketahui, Pemerintah terus menggeber diselesaikannya aturan turunan UU Cipta Kerja. Aturan turunan yang sudah diundangkan ke dalam Lembaran Negara RI awal Februari terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah dan 4 Peraturan Presiden. Jumlah 49 peraturan pelaksana tersebut menambah daftar aturan turunan yang telah diundangkan.  

Sebelumnya, sudah ada 2 PP yang ditetapkan menjadi aturan yakni PP Nomor 73 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi dan PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang Modal Awal Lembaga Pengelola Investasi. Adapun secara keseluruhan aturan turunan yang menjadi implementasi UU Cipta Kerja akan ditetapkan sebanyak 49 PP dan 5 Perpres.

Tags:

Berita Terkait