PRT adalah Pekerja, Bukan Pembantu
Berita

PRT adalah Pekerja, Bukan Pembantu

Berada dalam ranah hubungan kerja.

ADY
Bacaan 2 Menit

Pada kesempatan yang sama wakil presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Muhammad Hakim, mengatakan PRT punya hak yang sama dengan warga negara lain. Seperti Jaminan Sosial, penghidupan dan upah layak, kebebasan berserikat dan berorganisasi. Selaras dengan itu mengacu konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT, dijelaskan bahwa PRT selayaknya pekerja. Oleh karenanya, segala hak yang melekat pada PRT sama seperti pekerja pada umumnya. “PRT itu sama dengan pekerja. Waktu kerjanya 8 jam sehari, punya hak cuti, Jaminan Sosial dan hak khusus pekerja perempuan,” ucapnya.

Sedangkan PRT asal Yogyakarta, Jumiyem, mengatakan pada awal menjadi PRT ia belum mengetahui apa itu tindak kekerasan dan pelecehan seksual. Ia baru mengetahuinya ketika bergabung dengan organisasi PRT. Secara umum, perempuan yang disapa Jum itu mengatakan sebagian besar PRT tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Oleh karenanya tak jarang dijumpai ada PRT yang jam kerjanya sangat panjang dan mengerjakan bermacam jenis pekerjaan. Namun yang jelas, PRT menginginkan bagaimana agar mereka terlindungi.

Pasalnya, keberadaan PRT sangat penting untuk mendukung kegiatan sehari-hari yang dilakukan majikan. Jum berharap RUU Perlindungan PRT segera diterbitkan agar ada acuan bagi pihak yang berkepentingan ketika mempekerjakan PRT. “Pemerintah selama ini tidak memberi perlindungan terhadap PRT, jadi banyak kasus. Apalagi mereka (PRT,-red) yang bekerja tidak lewat pelatihan dulu, langsung dari desa,” urainya.

Perjanjian Kerja
Sementara seorang majikan asal Yogyakarta, Novita Arini, merasa lebih baik menjalin hubungan kerja dengan PRT ketika menggunakan perjanjian kerja. Dengan begitu PRT lebih terlindungi hak-haknya seperti upah dan jam kerja. Begitu pula dengan kewajiban PRT, Novita merasa lebih bagus jika tertuang dalam perjanjian kerja. Dengan begitu, hak dan kewajiban antara PRT dan majikannya dapat diketahui secara jelas. Menurutnya, keuntungan itu dirasakan selama lima tahun menjalin hubungan kerja dengan PRT. “Kedua belah pihak sama-sama menyadari hak dan kewajibannya. Jadi lebih berkelanjutan hubungan kerjanya,” tuturnya.

Soal upah, Novita mengatakan walau masih di bawah upah minimum di Yogyakarta, tapi ia menaikan upah PRT-nya tiap enam bulan sebesar 10 persen. Dari kenaikan itu, tiga bulan lalu Novita mencatat upah yang diterima PRT-nya sebesar Rp780 ribu sedangkan upah minimun di Yogyakarta tahun ini sekitar Rp.1,9 juta. Terkait waktu kerja, Novita mengatakan lewat perjanjian kerja yang disepakati bersama, PRT yang dipekerjakannya bekerja 8 jam tiap hari.

Namun, Novita mengakui kadang ia meminta tolong kepada PRT-nya untuk melakukan sesuatu di luar jam kerja. Tapi, bukan berarti jasa yang diberikan di luar jam kerja itu tidak mendapat imbalan karena Novita berupaya memneuhi kebutuhan PRT-nya dengan baik. Seperti memberi ruang tidur beserta fasilitasnya. Selain itu, Novita memberikan libur satu hari setiap 6 hari kerja. Serta cuti, seperti libur panjang di hari raya Idul Fitri sekaligus memberi kesempatan luas kepada PRT-nya pulang ke kampung halaman dan cuti lainnya untuk keperluan keluarga atau berekreasi. Dalam menjamin kesehatan PRT-nya, Novita mengaku menjamin semua biaya kesehatan yang diperlukan.

Dari pengalamannya mempekerjakan PRT dengan perjanjian kerja, Novita mengaku puas. Menurutnya, PRT layak untuk mendapat upah, jam kerja dan jaminan kesehatan yang baik. “Perjanjian kerjanya didiskusikan lebih dulu sebelum dia (PRT,-red) bekerja,” ujarnya.

Tags: