Prospek Cerah Arbitrase Meningkat di Pasar Global
Utama

Prospek Cerah Arbitrase Meningkat di Pasar Global

Solusi penyelesaian sengketa di tengah peningkatan volume dan kompleksitas bisnis internasional.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
CEO BIAMC, Naz Juman Gulinazaer saat membuka BIAMC Summit 2018, Senin (15/10). Foto: NEE
CEO BIAMC, Naz Juman Gulinazaer saat membuka BIAMC Summit 2018, Senin (15/10). Foto: NEE

Di tengah beragam spekulasi mengenai prospek arbitrase, sebuah informasi dari survei Queen Mary University of London (2018 International Arbitration Survey: The Evolution of International Arbitration) menyatakan bahwa 97% responden di kalangan pebisnis lebih menyukai arbitrase internasional sebagai cara penyelesaian sengketa. Mengacu pada data tersebut, Ida Bagus Rahmadi Supancana bersama para koleganya mantap mendirikan lembaga arbitrase berskala internasional di Indonesia Bali International Arbitration & Mediation Center (BIAMC) pada tahun 2017 lalu.

 

Setahun berdiri, kali ini BIAMC menyelenggarakan Bali Arbitration  Summit 2018 yang mengundang para pemangku kepentingan untuk membahas tantangan dan peluang di bidang penyelesaian sengketa komersial skala internasional, Senin (15/10). Kesimpulan menarik menguak bahwa arbitrase tak lagi sekadar alternatif pilihan penyelesaian sengketa komersial, namun justru pilihan yang tepat.

 

“Arbitrase dalam alternative dispute resolution saat ini bukan lagi alternative tetapi appropriate,” kata Smrithi Ramesh, Deputy Director Asian International Arbitration Centre (AIAC) di hadapan para hadirin.

 

Supancana, salah satu pendiri BIAMC yang juga Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Katolik Atmajaya, menjelaskan kepada hukumonline bahwa prospek cerah arbitrase internasional disebabkan globalisasi ekonomi yang terus menguat. Bisnis dan investasi internasional membutuhkan solusi penyelesaian sengketa yang bisa dipercaya. Kebanyakan pebisnis di tingkat internasional enggan berurusan dengan pengadilan nasional dan mengharapkan eksekusi putusan yang cepat.

 

“Investor internasional ingin mendapatkan putusan arbitrase berstandar dan berkualitas internasional,” katanya.

 

Hukumonline.com

Sumber: 2018 International Arbitration Survey: The Evolution of International Arbitration

 

Richard Hayler, Senior Managing Director dari FTI Consulting mengungkapkan hal serupa soal pertumbuhan signifikan pengguna arbitrase internasional. Menurutnya, hal ini dipengaruhi oleh volume transaksi bisnis dan investasi yang semakin meningkat dan kompleks. Di pasar global, berbagai transaksi ini tak bisa berkompromi dengan keterbatasan berbagai pengadilan nasional untuk memberikan penyelesaian cepat dan sesuai kebutuhan.

 

(Baca Juga: Simak Ulasan Seputar Arbitrase Internasional Ala Expert Lawyer)

 

Untuk menghindari itu, menggunakan arbitrase yang bisa memilih sendiri para arbiter dan prosedur bersengketa menjadi pilihan yang disukai. Ditambah lagi tingkat privasi tinggi yang bisa dijamin dalam proses arbitrase.

 

Steve Ngo, arbiter independen asal Singapura, menjelaskan bahwa prospek cerah arbitrase bahkan juga terlihat untuk pasar domestik. “Sengketa komersial akan terus bertambah, pengadilan tidak bisa bertambah,” katanya kepada hukumonline usai acara.

 

Ia mencontohkan peningkatan penggunaan arbitrase domestik yang terjadi di Hong Kong. Pengadilan tidak mampu menangani pesatnya pertambahan perkara sengketa komersial. Akhirnya arbitrase menjadi penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih kalangan pebisnis.

 

(Baca Juga: Perlu Ada Standardisasi Arbiter Indonesia)

 

Steve juga menjelaskan bahwa arbitrase pada dasarnya tidak harus menggunakan lembaga arbitrase. Arbiter dapat ditunjuk dari pihak independen oleh para pihak. Ia sendiri memiliki lisensi kompetensi sebagai arbiter independen yang dapat berpraktik tanpa melalui lembaga arbitrase.

 

Ia menyambut baik kehadiran BIAMC yang memposisikan diri sebagai lembaga arbitrase internasional. Adanya lembaga arbitrase internasional di sebuah negara dianggapnya perlu asalkan tidak sekadar berorientasi bisnis. Baginya, lembaga arbitrase internasional yang didirikan di sebuah negara harus memiliki orientasi untuk ikut menunjang industri dan perekonomian negaranya.

 

“Keterbatasan di Indonesia mungkin karena Pemerintah kurang terlibat untuk mengembangkan arbitrase, beda dengan di Singapura yang ikut mengembangkan SIAC,” katanya.

 

I Made Mangku Pastika, Gubernur ke-9 Bali yang kini menjabat Senior Advisor BIAMC menjelaskan kepada hukumonline soal peluang Bali sebagai pusat arbitrase internasional baru di dunia. Ia yakin ikon Bali sebagai tujuan wisata dan tempat mencari kenyamanan sangat tepat dikombinasikan sebagai lokasi penyelesaian sengketa komersial. Itu sebabnya BIAMC menggunakan jargon Find Resolution in Paradise.

 

“Bali menjadi tujuan pariwisata internasional, ini kami manfaatkan, suatu nilai jual. Istilah saya legal tourism. Bali itu bicara damai,” ujarnya.

 

Tags:

Berita Terkait